Harga CPO Turun 15% di Tahun 2018, Terparah Dalam 6 Tahun!

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 December 2018 19:12
Harga CPO Turun 15% di Tahun 2018, Terparah Dalam 6 Tahun!
Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan terakhir tahun 2018, harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) kontrak Maret 2019 turun tipis 0,09% ke MYR 2.119/ton. 



Harga CPO hari ini tertekan oleh sentimen penguatan ringgit Malaysia. Mata uang Negeri Jiran menguat 0,48% hingga pukul 17.30 WIB hari ini. Ringgit bahkan sudah terapresiasi 4 hari berturut-turut, dan kini menyentuh titik tertingginya dalam 3 bulan terakhir. 

Penguatan ringgit memang cenderung menekan harga CPO. Pasalnya, apresiasi ringgit akan membuat harga CPO (yang diperdagangkan dengan denominasi ringgit) menjadi relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang asing. Alhasil, permintaan CPO pun diekspektasikan akan menurun.

Lantas bagaimana performa harga CPO di sepanjang tahun ini? 
Tahun 2018 nampaknya menjadi tahun yang suram bagi komoditas agrikultur unggulan Indonesia dan Malaysia ini. Bagaimana tidak, harga CPO kontrak berjangka di Bursa Malaysia amblas 15,34% di sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD).

Pelemahan tahunan sebesar itu menjadi yang terparah sejak tahun 2012. Kala itu, harga CPO amblas hingga 23% lebih. 



Sejak awal tahun, berbagai sentimen negatif memang menghantam harga CPO secara bertubi-tubi. Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasikannya satu per satu dalam tulisan ini.

Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga dikerek naik dari 40% menjadi 54%.

Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan (bulan April 2018), ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (month-to-month/MtM). Catatan bulan Mei 2018 malah lebih parah lagi, dimana ekspornya anjlok nyaris 75% secara MtM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/YoY).



Volume ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India baru pulih pada bulan September 2018 dan November 2018. Itupun didukung oleh pajak ekspor CPO Malaysia yang diturunkan menjadi 0% dalam beberapa bulan terakhir tahun ini plus adanya festival Dhiwali di India.

Penurunan ekspor juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.


Kedua, Eropa tak ingin hitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.

Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).

Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.

Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.

Sayangnya, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Ketigaberkecamuknya perang dagang AS-China. Isu ini menjadi salah satu topik yang paling ramai dibicarakan pada tahun ini. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.

Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.

Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.

Produk agrikultur AS yang paling terdampak dari tarif balasan Negeri Panda adalah kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.

Kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga kedelai dan produk turunannya.

Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga minyak kedelai (salah satu produk turunan kedelai) kontrak acuan di Chicago Board of Trade (CBoT) anjlok hingga 16% lebih di sepanjang tahun 2018.

Seperti diketahui, harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.

Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia. Harga si emas hitam kini menuju pelemahan yang cukup signifikan di tahun ini. Di sepanjang tahun 2018, harga minyak jenis brent menuju koreksi di kisaran 19% secara point-to-point. Di periode yang sama, harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) juga siap melemah di kisaran 24%.

Adapun pelemahan tahunan ini merupakan yang terparah sejak tahun 2015. 3 tahun lalu, harga brent jatuh nyari 35% secara tahunan, sedangkan harga light sweet juga jeblok nyaris 31%.



Sentimen kondisi pasar yang oversupply sukses "menghancurkan" harga minyak di tahun ini. Dari sisi permintaan, pembelian komoditas minyak mentah dunia diperkirakan lesu akibat perlambatan ekonomi global.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. 

Di saat permintaan diekspektasikan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,47 juta barel/hari pada bulan September 2018. Capaian itu sekaligus merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.

Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari. 

Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,41 juta barel ber hari pada bulan Oktober 2018. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet. 

Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuelBiofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

Kelima, faktor terakhir datang dari faktor fundamental. Stok Malaysia dan Indonesia, dua top produsen CPO dunia, terus mengalami peningkatan pada tahun ini.

Malaysian Palm Oil Board (MPOB) merilis bahwa stok minyak kelapa sawit Malaysia naik 10,5% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 3,01 juta ton pada November. Capaian itu merupakan level tertinggi dalam 18 tahun terakhir. Secara historis, stok minyak kelapa sawit Negeri Jiran telah meningkat selama 6 bulan berturut-turut.

Hal senada juga disampaikan oleh GAPKI. Pada Oktober 2018, stok akhir minyak kelapa sawit Indonesia tercatat naik sebesar 30,47% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke 4,41 juta ton. Sebelumnya, pada bulan Juli 2018, stok minyak kelapa sawit RI mencapai rekor 4,9 juta ton, naik 5 bulan berturut-turut sejak bulan Maret 2018.




Peningkatan stok yang signifikan di kedua negara produsen utama ini tak lepas dari melambungnya produksi. GAPKI melaporkan tingkat produksi minyak kelapa sawit RI meningkat 2,04% MtM pada bulan Oktober 2018 ke angka 4,51 juta ton. Capaian itu merupakan yang tertinggi di tahun ini.

Sedangkan, produksi CPO di Malaysia juga bertambah 4 bulan berturut-turut hingga bulan Oktober 2018, menjadi 1,96 juta ton. Memang pada bulan November produksinya sedikit mengendur menjadi 1,84 juta ton, namun angka ini masih merupakan salah satu yang tertinggi di tahun ini.

Di saat produksi diekspektasikan melambung, permintaan malah cenderung lesu. Ekspor minyak kelapa sawit Malaysia turun dua bulan berturut-turut pada bulan Oktober dan November 2018, masing-masing sebesar 2,47% MtM dan 13,29% MtM.

Selain bea impor yang dikenakan India, stok minyak kedelai domestik yang melambung juga menjadi penghambat permintaan di Negeri Bollywood. 

Mengutip Reuters, produksi kedelai di India bahkan diramal meningkat 20% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka 10 juta ton pada periode Oktober 2018-Oktober 2019. Kemudian, jumlah lahan di India yang ditanami kedelai juga diekspektasikan meningkat menjadi 11,1 juta hektar di periode yang sama, dari sebelumnya 10,2 juta hektar.

Sementara, permintaan dari top importir lainnya di Bumi Belahan Utara (BBU) juga melambat jelang akhir tahun. Pasalnya, minyak kelapa sawit memang cenderung memadat pada musim dingin.


Melihat fundamental yang buruk seperti ini, wajar jika harga CPO terpuruk di beberapa bulan terakhir tahun ini. Kesimpulannya, tahun 2018 memang menjadi tahun yang suram bagi CPO.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular