
Harga CPO Turun 15% di Tahun 2018, Terparah Dalam 6 Tahun!
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 December 2018 19:12

Ketiga, berkecamuknya perang dagang AS-China. Isu ini menjadi salah satu topik yang paling ramai dibicarakan pada tahun ini. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Produk agrikultur AS yang paling terdampak dari tarif balasan Negeri Panda adalah kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.
Kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga kedelai dan produk turunannya.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga minyak kedelai (salah satu produk turunan kedelai) kontrak acuan di Chicago Board of Trade (CBoT) anjlok hingga 16% lebih di sepanjang tahun 2018.
Seperti diketahui, harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia. Harga si emas hitam kini menuju pelemahan yang cukup signifikan di tahun ini. Di sepanjang tahun 2018, harga minyak jenis brent menuju koreksi di kisaran 19% secara point-to-point. Di periode yang sama, harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) juga siap melemah di kisaran 24%.
Adapun pelemahan tahunan ini merupakan yang terparah sejak tahun 2015. 3 tahun lalu, harga brent jatuh nyari 35% secara tahunan, sedangkan harga light sweet juga jeblok nyaris 31%.
Sentimen kondisi pasar yang oversupply sukses "menghancurkan" harga minyak di tahun ini. Dari sisi permintaan, pembelian komoditas minyak mentah dunia diperkirakan lesu akibat perlambatan ekonomi global.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Di saat permintaan diekspektasikan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,47 juta barel/hari pada bulan September 2018. Capaian itu sekaligus merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.
Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,41 juta barel ber hari pada bulan Oktober 2018. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/gus)
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga kedelai dan produk turunannya.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga minyak kedelai (salah satu produk turunan kedelai) kontrak acuan di Chicago Board of Trade (CBoT) anjlok hingga 16% lebih di sepanjang tahun 2018.
Seperti diketahui, harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia. Harga si emas hitam kini menuju pelemahan yang cukup signifikan di tahun ini. Di sepanjang tahun 2018, harga minyak jenis brent menuju koreksi di kisaran 19% secara point-to-point. Di periode yang sama, harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) juga siap melemah di kisaran 24%.
Adapun pelemahan tahunan ini merupakan yang terparah sejak tahun 2015. 3 tahun lalu, harga brent jatuh nyari 35% secara tahunan, sedangkan harga light sweet juga jeblok nyaris 31%.
Sentimen kondisi pasar yang oversupply sukses "menghancurkan" harga minyak di tahun ini. Dari sisi permintaan, pembelian komoditas minyak mentah dunia diperkirakan lesu akibat perlambatan ekonomi global.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Di saat permintaan diekspektasikan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,47 juta barel/hari pada bulan September 2018. Capaian itu sekaligus merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.
Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,41 juta barel ber hari pada bulan Oktober 2018. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular