
Terdepresiasi 0,03% Sepekan Lalu, Rupiah Paling Lemah di Asia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 December 2018 12:10

Meski demikian, sejatinya kepercayaan diri investor masih berada di level yang tidak tinggi-tinggi amat. Pasalnya, masih ada risiko besar yang menghantui ekonomi dunia.
Pertama, potensi eskalasi tensi dagang antara AS-China. Hal ini dipicu oleh rencana presiden AS Donald Trump untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.
Kebijakan eksekutif tersebut dapat diterbitkan secepatnya pada bulan Januari, dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.
Bila kebijakan tersebut benar-benar direalisasikan, maka damai dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar tersebut akan sulit untuk dibayangkan.
Kedua, penutupan sebagian layanan pemerintahan AS (government shutdown) belum juga berakhir.
Government shutdown ini dipicu karena permintaan Trump untuk menggunakan anggaran sebesar US$ 5 milyar demi membangun tembok di perbatasan Meksiko, ditentang oleh sebagian besar anggota partai Demokrat (bahkan beberapa anggota partai Republik) di dalam parlemen.
Pertama, potensi eskalasi tensi dagang antara AS-China. Hal ini dipicu oleh rencana presiden AS Donald Trump untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.
Kebijakan eksekutif tersebut dapat diterbitkan secepatnya pada bulan Januari, dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.
Kedua, penutupan sebagian layanan pemerintahan AS (government shutdown) belum juga berakhir.
Government shutdown ini dipicu karena permintaan Trump untuk menggunakan anggaran sebesar US$ 5 milyar demi membangun tembok di perbatasan Meksiko, ditentang oleh sebagian besar anggota partai Demokrat (bahkan beberapa anggota partai Republik) di dalam parlemen.
Belum ada tanda-tanda government shutdown yang membuat 800.000 PNS AS tidak digaji ini akan berakhir dalam waktu dekat. Senat dan dan DPR yang tergabung dalam Kongres AS bertemu hanya beberapa menit jelan akhir pekan ini, tetapi tidak mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri penutupan sebagian pemerintah federal. Kongres AS hanya menunda pertemuan mereka sampai minggu depan.
Ketiga, sentimen dari pelemahan ekonomi dunia pada tahun 2019 terus membayangi. The Fed memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan hanya tumbuh 2,3%, menurun dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3%.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Teranyar, Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), juga mengumumkan prediksinya mengenai perekonomian global untuk tahun depan. Dalam buletin ekonomi regulernya yang dilansir dari Reuters, ECB menyampaikan bahwa perekonomian global akan melambat di 2019 dan akan bergerak stabil setelahnya. ECB juga memperkirakan inflasi akan terus meningkat.
Akibat sejumlah risiko tersebut, pelaku pasar pun belum benar-benar memasang posisi risk-off. Malahan, sebenarnya posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 dan Franc Swiss menguat masing-masing sebesar 2,01% dan 1,1% di sepanjang pekan lalu.
Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya membatasi penguatan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah yang akhirnya melemah di sepanjang pekan lalu
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(RHG/RHG)
Ketiga, sentimen dari pelemahan ekonomi dunia pada tahun 2019 terus membayangi. The Fed memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan hanya tumbuh 2,3%, menurun dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3%.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Teranyar, Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), juga mengumumkan prediksinya mengenai perekonomian global untuk tahun depan. Dalam buletin ekonomi regulernya yang dilansir dari Reuters, ECB menyampaikan bahwa perekonomian global akan melambat di 2019 dan akan bergerak stabil setelahnya. ECB juga memperkirakan inflasi akan terus meningkat.
Akibat sejumlah risiko tersebut, pelaku pasar pun belum benar-benar memasang posisi risk-off. Malahan, sebenarnya posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 dan Franc Swiss menguat masing-masing sebesar 2,01% dan 1,1% di sepanjang pekan lalu.
Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya membatasi penguatan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah yang akhirnya melemah di sepanjang pekan lalu
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Pages
Most Popular