Terdepresiasi 0,03% Sepekan Lalu, Rupiah Paling Lemah di Asia

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 December 2018 12:10
Terdepresiasi 0,03% Sepekan Lalu, Rupiah Paling Lemah di Asia
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas dolar AS di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta
Jakarta, CNBC IndonesiaNilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di sepanjang pekan lalu. Tidak hanya sekedar melemah, mata uang tanah air menjadi yang paling kerdil di Asia.

Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 0,03% terhadap dolar AS secara point-to-point. Pelemahan harian sebesar 0,14% selepas libur hari raya Natal jadi faktor yang membuat rupiah mencetak performa mingguan negatif.



Berbeda dengan rupiah, seluruh mata uang utama Asia  mampu perkasa di hadapan greenback. Penguatan mingguan paling besar dicatatkan won Korea Selatan, yang terapresiasi sebesar 1,06%. Capaian itu disusul oleh yen Jepang yang menguat hingga 0,85%.

Sebagai satu-satunya mata uang Benua Kuning yang membukukan performa mingguan negatif, rupiah pun menyandang status sebagai mata uang Asia terlemah di sepanjang pekan lalu.



Sejatinya, dolar AS memang sedang loyo di sepanjang pekan ini. Dalam sepekan, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia) melemah sebesar 0,57% secara point-to-point. Lesunya dolar AS kemudian dimanfaatkan oleh seluruh mata uang Asia (kecuali rupiah) untuk membukukan performa mingguan positif.

Lemahnya data-data ekonomi Negeri Paman Sam menjadi pendorong utama pelemahan greenback. Pekan lalu, pembacaan akhir data pertumbuhan ekonomi AS kuartal III-2018 menunjukkan angka 3,4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih lambat dibandingkan pembacaan sebelumnya yaitu 3,5%.

Lebih lanjut, pendapatan masyarakat AS tercatat hanya tumbuh 0,2% month-to-month (MtM) pada November, di bawah ekspektasi yaitu tumbuh 0,3% MtM. Kemudian, pemesanan barang modal inti (mengeluarkan komponen pesawat terbang dan keperluan militer) turun 0,6% MtM pada November, performa negatif ketiga dalam 4 bulan terakhir.

Teranyar, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS versi The Conference Board periode Desember diumumkan di level 128,1 turun 8,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan Ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2015. IKK periode Desember juga jauh di bawah konsensus yang sebesar 133,7, seperti dilansir dari Forex Factory.

Pada akhirnya, terdapat keraguan bahwa The Federal Reserve/The Fed masih akan mengeksekusi rencanannya untuk mengerek suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun depan.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 28 Desember 2018 siang ini, terdapat 78,5% kemungkinan bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan sama sekali pada tahun depan, naik drastis dari posisi sepekan sebelumnya yang sebesar 47,9%.

Munculnya potensi bahwa suku bunga acuan AS tidak akan naik di tahun depan, membuat dolar AS jadi tidak punya energi untuk bisa menguat. Seperti diketahui, di sepanjang tahun ini Dollar Index mampu menguat hingga 4,6% ditopang Federal Funds Rate yang naik hingga 100 basis poin (bps).

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



 
Meski demikian, sejatinya kepercayaan diri investor masih berada di level yang tidak tinggi-tinggi amat. Pasalnya, masih ada risiko besar yang menghantui ekonomi dunia.

Pertama, potensi eskalasi tensi dagang antara AS-China. Hal ini dipicu oleh rencana presiden AS Donald Trump untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.

Kebijakan eksekutif tersebut dapat diterbitkan secepatnya pada bulan Januari, dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.

Bila kebijakan tersebut benar-benar direalisasikan, maka damai dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar tersebut akan sulit untuk dibayangkan.

Keduapenutupan sebagian layanan pemerintahan AS (government shutdown) belum juga berakhir.

Government shutdown ini dipicu karena permintaan Trump untuk menggunakan anggaran sebesar US$ 5 milyar demi membangun tembok di perbatasan Meksiko, ditentang oleh sebagian besar anggota partai Demokrat (bahkan beberapa anggota partai Republik) di dalam parlemen. 

Belum ada tanda-tanda government shutdown yang membuat 800.000 PNS AS tidak digaji ini akan berakhir dalam waktu dekat. Senat dan dan DPR yang tergabung dalam Kongres AS bertemu hanya beberapa menit jelan akhir pekan ini, tetapi tidak mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri penutupan sebagian pemerintah federal. Kongres AS hanya menunda pertemuan mereka sampai minggu depan.

Ketiga, sentimen dari pelemahan ekonomi dunia pada tahun 2019 terus membayangi. The Fed memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan hanya tumbuh 2,3%, menurun dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3%. 

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019. 

Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%. 
 

Teranyar, Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB),  juga mengumumkan prediksinya mengenai perekonomian global untuk tahun depan. Dalam buletin ekonomi regulernya yang dilansir dari Reuters, ECB menyampaikan bahwa perekonomian global akan melambat di 2019 dan akan bergerak stabil setelahnya. ECB juga memperkirakan inflasi akan terus meningkat.

Akibat sejumlah risiko tersebut, pelaku pasar pun belum benar-benar memasang posisi risk-off. Malahan, sebenarnya posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 dan Franc Swiss menguat masing-masing sebesar 2,01% dan 1,1% di sepanjang pekan lalu.

Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya membatasi penguatan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah yang akhirnya melemah di sepanjang pekan lalu

(BERLANJUT KE HALAMAN 3) 

Dari dalam negeri, risiko defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang masih tertekan di kuartal IV-2018 juga nampaknya masih menjadi "hantu" yang membebani rupiah. 

Pada kuartal terakhir tahun ini, CAD diproyeksikan masih akan berada di atas level 3%. Hal ini diungkapkan langsung oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo kemarin.

"Neraca pembayaran kuartal IV-2018 surplus sekitar US$ 4 miliar, meskipun CAD masih tinggi sekitar 3% dari PDB di triwulan IV," ungkap Perry, Jumat (28/12/2018).

Perkiraan Perry masuk akal mengingat defisit neraca perdagangan RI di bulan Oktober dan November 2018 jebol habis-habisan. Di bulan Oktober defisit neraca dagang sebesar US$ 1,77 miliar, sementara di November defisitnya mencapai US$ 2,05 miliar. Defisit di bulan lalu bahkan merupakan yang terburuk dalam 5 tahun terakhir.

Dengan demikian, tahun 2018 mungkin akan menjadi tahun pertama CAD menembus level 3% setelah terakhir kali terjadi pada tahun 2014 (3,09%).



Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan pos yang sangat penting bagi pelaku pasar modal, bahkan bisa dibilang lebih penting dari neraca pembayaran. Pasalnya, pos transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa yang lebih mampu menopang nilai tukar rupiah dalam jangka panjang karena tidak mudah berubah seperti arus modal portofolio.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular