Internasional
Perang Dagang Akan Makin Keras Hantam China di 2019
Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
27 December 2018 14:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak pengenaan bea masuk oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap perekonomian China sejauh ini hanya bersifat psikologis dalam perang perdagangan yang masih berlangsung, kata para analis.
Namun, hal itu mungkin akan berubah pada tahun depan dan berpotensi menghambat pertumbuhan Negeri Tirai Bambu.
Ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia meningkat pada tahun ini, ketika AS di bawah Presiden Donald Trump mengenakan bea impor terhadap barang-barang China senilai US$250 miliar, dua pertiga dari defisit barang bilateral pada tahun 2017.
Beijing menanggapinya dengan menjatuhkan pungutan impornya sendiri senilai US$110 miliar terhadap produk AS.
"Dengan tarif itu, kita belum melihat dampak langsungnya, tetapi kita akan melihatnya tahun depan," kata Tom Rafferty, ekonom utama untuk China di The Economist Intelligence Unit, dilansir dari CNBC International, Kamis (27/12/2018).
"Risiko di sini [China] akan melambat cukup jelas di 2019," katanya. "Permintaan global akan bergeser ke bawah satu atau dua tingkat."
Manufaktur dan ekspor telah membantu mendorong China naik dengan cepat untuk menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia. Namun, tantangan semakin tinggi karena apa yang disebut pertumbuhan global yang disinkronkan tampaknya akan mengalami penurunan.
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China telah turun ke laju paling lambat dalam lebih dari dua dekade, dan Beijing sedang mencoba untuk menggeser motor perekonomiannya ke sektor konsumsi, sambil mengurangi ketergantungan pada utang untuk mendorong pertumbuhan.
Sementara itu, kekhawatiran terkait perdagangan menambah ketidakpastian domestik yang sudah memukul sentimen konsumen.
Secara teori, bea masuk menaikkan harga bagi konsumen AS dan mengurangi permintaan untuk produk buatan China, memukul ekonomi yang sudah melambat. Namun, surplus perdagangan China terhadap AS mencapai rekor pada bulan November.
"China berjalan cukup baik karena ekspor, karena frontloading," kata Zhu Ning, profesor keuangan di Universitas Tsinghua dan wakil direktur Institut Penelitian Keuangan Nasional Cina.
Seperti beberapa ahli lain yang berbicara dengan CNBC untuk hal ini, Zhu mengatakan dia memperkirakan ketegangan perdagangan akan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap ekonomi Cina di tahun depan, terutama melalui perlambatan ekspor.
Perekonomian sudah menunjukkan tanda-tanda melemah. Setelah pertumbuhan ekspor dari tahun-ke-tahun yang kuat sebesar 14,4% pada bulan September dan 15,6% di Oktober, pertumbuhan turun menjadi 5,4%di November, menurut angka resmi yang diakses melalui basis data Wind Info.
"Tahun depan, kita akan melihat ekspor melambat ke pertumbuhan yang rendah, satu digit," kata Larry Hu, kepala ekonomi China di Macquarie Group. Dia mengharapkan AS dan China akan mencapai kesepakatan, dan bahwa perlambatan di pasar properti Cina akan memiliki dampak yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan bea masuk.
(prm) Next Article Awas, Dampak Terburuk Perang Dagang AS-China Belum Tiba
Namun, hal itu mungkin akan berubah pada tahun depan dan berpotensi menghambat pertumbuhan Negeri Tirai Bambu.
Beijing menanggapinya dengan menjatuhkan pungutan impornya sendiri senilai US$110 miliar terhadap produk AS.
"Dengan tarif itu, kita belum melihat dampak langsungnya, tetapi kita akan melihatnya tahun depan," kata Tom Rafferty, ekonom utama untuk China di The Economist Intelligence Unit, dilansir dari CNBC International, Kamis (27/12/2018).
"Risiko di sini [China] akan melambat cukup jelas di 2019," katanya. "Permintaan global akan bergeser ke bawah satu atau dua tingkat."
Manufaktur dan ekspor telah membantu mendorong China naik dengan cepat untuk menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia. Namun, tantangan semakin tinggi karena apa yang disebut pertumbuhan global yang disinkronkan tampaknya akan mengalami penurunan.
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China telah turun ke laju paling lambat dalam lebih dari dua dekade, dan Beijing sedang mencoba untuk menggeser motor perekonomiannya ke sektor konsumsi, sambil mengurangi ketergantungan pada utang untuk mendorong pertumbuhan.
Sementara itu, kekhawatiran terkait perdagangan menambah ketidakpastian domestik yang sudah memukul sentimen konsumen.
Secara teori, bea masuk menaikkan harga bagi konsumen AS dan mengurangi permintaan untuk produk buatan China, memukul ekonomi yang sudah melambat. Namun, surplus perdagangan China terhadap AS mencapai rekor pada bulan November.
"China berjalan cukup baik karena ekspor, karena frontloading," kata Zhu Ning, profesor keuangan di Universitas Tsinghua dan wakil direktur Institut Penelitian Keuangan Nasional Cina.
Seperti beberapa ahli lain yang berbicara dengan CNBC untuk hal ini, Zhu mengatakan dia memperkirakan ketegangan perdagangan akan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap ekonomi Cina di tahun depan, terutama melalui perlambatan ekspor.
Perekonomian sudah menunjukkan tanda-tanda melemah. Setelah pertumbuhan ekspor dari tahun-ke-tahun yang kuat sebesar 14,4% pada bulan September dan 15,6% di Oktober, pertumbuhan turun menjadi 5,4%di November, menurut angka resmi yang diakses melalui basis data Wind Info.
"Tahun depan, kita akan melihat ekspor melambat ke pertumbuhan yang rendah, satu digit," kata Larry Hu, kepala ekonomi China di Macquarie Group. Dia mengharapkan AS dan China akan mencapai kesepakatan, dan bahwa perlambatan di pasar properti Cina akan memiliki dampak yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan bea masuk.
(prm) Next Article Awas, Dampak Terburuk Perang Dagang AS-China Belum Tiba
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular