
Natal Berakhir, Tapi Pelemahan Harga Minyak Masih Berlanjut
Muhamad Taufan, CNBC Indonesia
26 December 2018 12:39

Jakarta, CNBC Indonesia- Siang ini (26/12/2018) hingga pukul 11:54 WIB, harga minyak jenis lightsweet (WTI) sedikit bernasib baik. Setelah terjerumus ke level US$ 42,53/barel yang merupakan titik terendahnya sejak Juni 2017 pada penutupan perdagangan hari Senin (24/12/2018), harga minyak jenis ini menunjukkan sedikit rebound sebesar 0,47% ke level US$ 42,73/ barel.
Fenomena rebound pada harga minyak WTI ini diprediksi karena harganya yang memang sudah terlalu rendah, menyebabkan adanya aksi beli dari para investor. Namun memang belum bisa menutupi pelemahan yang sebesar 6,71% pada perdagangan kemarin.
Namun lain hal dengan saudaranya, harga minyak jenis Brent yang masih menunjukkan pola pelemahan sebesar 0,29% ke level US$ 50,32/barel. Padahal harga minyak jenis ini sudah menyentuh harga terendahnya sejak Agustus 2017 pada sesi perdagangan kemarin yang ditutup melemah sebesar 6,22%.
Tren pelemahan harga minyak ini salah satunya disebabkan karena adanya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi dunia yang diprediksi masih akan terjadi hingga akhir 2019 mendatang. Pengumuman Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada Rabu (19/12/2018) lalu menaikan suku bunga sebesar 25 bps ke kisaran 2,25% - 2,5%, mengkonfirmasi pengetatan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang berdampak pada perlambatan ekonomi AS tetap berlanjut hingga akhir tahun depan.
Sebagai informasi, The Fed diprediksi masih akan menaikkan suku bunga dua kali (50 bps) lagi hingga tahun depan. The Fed memprediksi ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
Perlambatan ekonomi AS sudah tentu akan membuat perekonomian dunia ikut terpengaruh, mengingat saat ini AS masih menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Benar saja, Ogranisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Selain itu, pada Senin (24/12/2018) pemerintah AS mengumumkan penutupan sebagian layanan pemerintahannya (goverment shutdown) hingga waktu yang belum ditentukan.
New York Times mengabarkan bahwa goverment shutdown ini membuat 800.000 pegawai negeri sipil AS belum digaji. Gonjang-ganjing politik AS yang tidak pasti ini turut membuat investor ragu untuk melakukan aksi beli yang berdampak pada pelemahan harga minyak.
Namun demikian, setidaknya masih ada hal baik yang menjadi energi positif untuk harga minyak. Pada hari Kamis (20/12/2018) pekan lalu, produsen Centennial Resource Development beserta dua rivalnya Diamondback Energy dan Parsley Energy, sepakat untuk membatalkan rencana penambahan sumur pengeboran di tahun depan. Hal ini dilakukan untuk merevisi target produksi pada tahun 2020 seperti dilansir dari Reuters.
Angin segar sedikit juga berhembus dari timur tengah. Pada hari Minggu (23/12/2018) OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan siap untuk melakukan pertemuan khusus, dan akan melakukan apapun yang diperlukan, jika pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari tidak mampu menyeimbangkan pasar di tahun depan. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei pada pertemuan Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak di Kuwait, seperti dilansir dari Reuters.
"Bagaimana jika pemangkasan 1,2 juta barel tidak cukup? Saya memberitahu anda bahwa jika (pemangkasan) itu tidak cukup, kita akan bertemu dan melihat apa yang cukup, dan kita akan melakukannya," tegas Mazrouei.
"Rencana (pemangkasan produksi) dikaji dengan baik, tetapi jika itu tidak ampuh, kita selalu punya kekuatan di OPEC untuk mengadakan pertemuan luar biasa," tambah Mazrouei.
Dengan adanya sentimen positif ini, pasar dapat sedikit lega. Pasalnya, kemungkinan akan terciptanya keseimbangan pasar minyak masih belum hilang sepenuhnya.
(gus) Next Article Produksi OPEC Bertambah, Harga Minyak Tertekan
Fenomena rebound pada harga minyak WTI ini diprediksi karena harganya yang memang sudah terlalu rendah, menyebabkan adanya aksi beli dari para investor. Namun memang belum bisa menutupi pelemahan yang sebesar 6,71% pada perdagangan kemarin.
Namun lain hal dengan saudaranya, harga minyak jenis Brent yang masih menunjukkan pola pelemahan sebesar 0,29% ke level US$ 50,32/barel. Padahal harga minyak jenis ini sudah menyentuh harga terendahnya sejak Agustus 2017 pada sesi perdagangan kemarin yang ditutup melemah sebesar 6,22%.
![]() |
Tren pelemahan harga minyak ini salah satunya disebabkan karena adanya kekhawatiran akan perlambatan ekonomi dunia yang diprediksi masih akan terjadi hingga akhir 2019 mendatang. Pengumuman Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada Rabu (19/12/2018) lalu menaikan suku bunga sebesar 25 bps ke kisaran 2,25% - 2,5%, mengkonfirmasi pengetatan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang berdampak pada perlambatan ekonomi AS tetap berlanjut hingga akhir tahun depan.
Sebagai informasi, The Fed diprediksi masih akan menaikkan suku bunga dua kali (50 bps) lagi hingga tahun depan. The Fed memprediksi ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
Perlambatan ekonomi AS sudah tentu akan membuat perekonomian dunia ikut terpengaruh, mengingat saat ini AS masih menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Benar saja, Ogranisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Selain itu, pada Senin (24/12/2018) pemerintah AS mengumumkan penutupan sebagian layanan pemerintahannya (goverment shutdown) hingga waktu yang belum ditentukan.
New York Times mengabarkan bahwa goverment shutdown ini membuat 800.000 pegawai negeri sipil AS belum digaji. Gonjang-ganjing politik AS yang tidak pasti ini turut membuat investor ragu untuk melakukan aksi beli yang berdampak pada pelemahan harga minyak.
Namun demikian, setidaknya masih ada hal baik yang menjadi energi positif untuk harga minyak. Pada hari Kamis (20/12/2018) pekan lalu, produsen Centennial Resource Development beserta dua rivalnya Diamondback Energy dan Parsley Energy, sepakat untuk membatalkan rencana penambahan sumur pengeboran di tahun depan. Hal ini dilakukan untuk merevisi target produksi pada tahun 2020 seperti dilansir dari Reuters.
Angin segar sedikit juga berhembus dari timur tengah. Pada hari Minggu (23/12/2018) OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan siap untuk melakukan pertemuan khusus, dan akan melakukan apapun yang diperlukan, jika pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari tidak mampu menyeimbangkan pasar di tahun depan. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei pada pertemuan Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak di Kuwait, seperti dilansir dari Reuters.
"Bagaimana jika pemangkasan 1,2 juta barel tidak cukup? Saya memberitahu anda bahwa jika (pemangkasan) itu tidak cukup, kita akan bertemu dan melihat apa yang cukup, dan kita akan melakukannya," tegas Mazrouei.
"Rencana (pemangkasan produksi) dikaji dengan baik, tetapi jika itu tidak ampuh, kita selalu punya kekuatan di OPEC untuk mengadakan pertemuan luar biasa," tambah Mazrouei.
Dengan adanya sentimen positif ini, pasar dapat sedikit lega. Pasalnya, kemungkinan akan terciptanya keseimbangan pasar minyak masih belum hilang sepenuhnya.
(gus) Next Article Produksi OPEC Bertambah, Harga Minyak Tertekan
Most Popular