
Tahun Baru, Harga Minyak Masih Lanjut Melemah
Muhamad Taufan, CNBC Indonesia
02 January 2019 12:20

Jakarta, CNBC Indonesia- Hari pertama perdagangan tahun 2019, harga minyak di pasar berjangka relatif stabil.
Hingga hari ini (2/1/2019) pukul 11:45 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret 2019 mengalami sedikit pelemahan sebesar 1,15% ke posisi 53,18 US$/barel dari perdagangan sesi sebelumnya (31/12/2018) yang ditutup di posisi 53,8 US$/barel.
Harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Februari 2019 pun bernasib serupa, melemah sebesar 1,04% ke level 44,94 US$/barel, setelah sebelumnya ditutup 53,8 US$/barel pada perdagangan akhir tahun 2018.
Konsensus yang dihimpun oleh Reuters memprediksi harga minyak akan berada di bawah US$ 70/barel sepanjang 2019. Kombinasi antara surplus produksi minyak dan perlambatan ekonomi dunia merupakan faktor utama yang mebuat pasar terus dihantui awan kelabu.
Bagaimana tidak, AS, Arab Saudi, dan Rusia negara produsen minyak terbesar dunia terus mencatatkan peningkatan produksinya selepas tengah tahun 2018. Bahkan, pada bulan September 2018 AS resmi menjadi 'raja minyak' dengan kapasitas produksi terbesar di dunia, yakni 11,47 juta barel/hari. Mengalahkan Arab Saudi dan Rusia yang masing-masing sebesar 10,52 juta barel/hari dan 10,96 juta barel/hari pada September 2018.
Dikala produksi 'kebanjiran', permintaan justru malah lesu. Perlambatan ekonomi yang menjadi dalangnya memang berkorelasi positif dengan permintaan minyak. Sebab, perlambatan ekonomi membuat permintaan energi juga ikut melambat.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Terlebih, rilis data ekonomi China hari ini seakan mengkonfirmasi perlambatan ekonomi yang kian nyata. Purchasing Manager's Indeks (PMI) Manufaktur Caixin mencatatkan penurunan ke posisi 49,7 di bulan Desember 2018, padahal pada bulan November 2018 masih berada di level 50,2.
Turunnya PMI Manufaktur Caixin merupakan gambaran atas menurunnya kegiatan di sektor manufaktur negeri Tirai Bambu. Hal ini tentu berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak dunia, terutama jenis Brent, mengingat China merupakan importir minyak terbesar di dunia.
Ketidakpastian masih akan terus membayangi komoditas emas hitam ini di 2019 menurut para analis yang dilansir dari Reuters. Tambahan sentimen gatif juga datang dari perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, Brexit, dan konflik timur tengah yang masih kuat mempengaruhi pasar.
(gus) Next Article Natal Berakhir, Tapi Pelemahan Harga Minyak Masih Berlanjut
Hingga hari ini (2/1/2019) pukul 11:45 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret 2019 mengalami sedikit pelemahan sebesar 1,15% ke posisi 53,18 US$/barel dari perdagangan sesi sebelumnya (31/12/2018) yang ditutup di posisi 53,8 US$/barel.
Harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontrak Februari 2019 pun bernasib serupa, melemah sebesar 1,04% ke level 44,94 US$/barel, setelah sebelumnya ditutup 53,8 US$/barel pada perdagangan akhir tahun 2018.
![]() |
Konsensus yang dihimpun oleh Reuters memprediksi harga minyak akan berada di bawah US$ 70/barel sepanjang 2019. Kombinasi antara surplus produksi minyak dan perlambatan ekonomi dunia merupakan faktor utama yang mebuat pasar terus dihantui awan kelabu.
Bagaimana tidak, AS, Arab Saudi, dan Rusia negara produsen minyak terbesar dunia terus mencatatkan peningkatan produksinya selepas tengah tahun 2018. Bahkan, pada bulan September 2018 AS resmi menjadi 'raja minyak' dengan kapasitas produksi terbesar di dunia, yakni 11,47 juta barel/hari. Mengalahkan Arab Saudi dan Rusia yang masing-masing sebesar 10,52 juta barel/hari dan 10,96 juta barel/hari pada September 2018.
Dikala produksi 'kebanjiran', permintaan justru malah lesu. Perlambatan ekonomi yang menjadi dalangnya memang berkorelasi positif dengan permintaan minyak. Sebab, perlambatan ekonomi membuat permintaan energi juga ikut melambat.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%.
Terlebih, rilis data ekonomi China hari ini seakan mengkonfirmasi perlambatan ekonomi yang kian nyata. Purchasing Manager's Indeks (PMI) Manufaktur Caixin mencatatkan penurunan ke posisi 49,7 di bulan Desember 2018, padahal pada bulan November 2018 masih berada di level 50,2.
Turunnya PMI Manufaktur Caixin merupakan gambaran atas menurunnya kegiatan di sektor manufaktur negeri Tirai Bambu. Hal ini tentu berpengaruh signifikan terhadap permintaan minyak dunia, terutama jenis Brent, mengingat China merupakan importir minyak terbesar di dunia.
Ketidakpastian masih akan terus membayangi komoditas emas hitam ini di 2019 menurut para analis yang dilansir dari Reuters. Tambahan sentimen gatif juga datang dari perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, Brexit, dan konflik timur tengah yang masih kuat mempengaruhi pasar.
(gus) Next Article Natal Berakhir, Tapi Pelemahan Harga Minyak Masih Berlanjut
Most Popular