Newsletter

Dolar AS Tak Lagi Jadi Safe Haven?

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 December 2018 05:27
Dolar AS Tak Lagi Jadi <i>Safe Haven</i>?
Ilustrasi Dolar AS (REUTERS / Daniel Munoz)
Jkaarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menutup perdagangan kemarin dengan mengecewakan. Meski demikian, ada yang patut disyukuri dari pergerakan pasar keuangan dalam negeri kemarin. 

Mengawali hari dengan pelemahan 0,5% dan sempat anjlok 1,04%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru hanya ditutup melemah 0,46%. Performa IHSG senada dengan bursa saham utama Asia yang juga melemah. Indeks Nikkei 225 anjlok 2,84%, Shanghai Composite turun 0,52%, Hang Seng terkoreksi 0,94%, Strait Times minus 0,26%, dan Kospi berkurang 0,9%.  


Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Meski berakhir melemah, dan seharian nongkrong di zona merah, sebenarnya depresiasi rupiah turun lumayan drastis. Sebelumnya, rupiah sempat melemah di kisaran 0,5%. 

Dengan pelemahan depresiasi 0,21%, rupiah jadi mata uang terlemah di Benua Kuning. Dalam hal melemah di hadapan dolar AS, tidak ada yang separah rupiah. 


Pelaku pasar dibuat gamang oleh keputusan The Federal Reserve/The Fed yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke ke 2,25-2,5% atau median 2,375%. Kenaikan suku bunga acuan lantas menjadi energi positif bagi dolar AS, setidaknya dalam jangka pendek.  

Sebagai tambahan, The Fed juga memperkirakan ada perlambatan ekonomi di Negeri Paman Sam. Untuk tahun ini, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 3% dan tahun depan melambat ke 2,3%.  

AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi AS melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.  Potensi perlambatan ekonomi global membuat pelaku pasar ketar-ketir dan memilih bermain aman. Arus modal pun memihak ke dolar AS yang berstatus sebagai safe haven (yang kemudian patut dipertanyakan), apalagi ada energi dari kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.  

Meski demikian, peruntungan pasar keuangan Asia justru membaik selepas tengah hari. Dolar AS kehabisan bensin karena meski The Fed menaikkan suku bunga, tetapi investor ternyata lebih melihat ke depan (forward looking). 

Dalam rapat kemarin, The Fed menurunkan target suku bunga acuan pada akhir 2019 dari awalnya di median 3,1% menjadi 2,8%. Artinya, suku bunga acuan kemungkinan naik setidaknya dua kali tahun depan, lebih sedikit dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.  

Oleh karena itu, sepertinya dolar AS tidak akan sesangar tahun ini. Sejak awal tahun ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang dunia) menguat 5,27%. Keperkasaan dolar AS ditopang oleh kenaikan suku bunga acuan yang mencapai 100 bps.  

Saat laju kenaikan suku bunga acuan berkurang setengahnya dari empat kali menjadi dua kali, maka dampaknya terhadap dolar AS kemungkinan akan signifikan. Kejayaan dolar AS akan sulit terulang tahun depan. Pelaku pasar pun akhirnya memilih melepas dolar AS. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sepertinya ketegangan di pasar keuangan Indonesia belum selesai, karena pagi ini tersiar kabar buruk dari Wall Street. Tiga indeks utama lagi-lagi jatuh, di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,99%, S&P 500 amblas 1,6%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,63%. 

Namun kejatuhan bursa saham New York lebih disebabkan isu domestik. Pertama, investor (anehnya) masih meratapi langkah The Fed yang akan melanjutkan normalisasi neraca.

Sejak krisis keuangan global sedekade lalu, The Fed memang rajin membeli surat-surat berharga sebagai bentuk stimulus kepada perekonomian (quantitative easing). Sekarang ekonomi AS sudah jauh lebih baik, sehingga The Fed ingin merampingkan neracanya yang begitu gemuk akibat banyaknya koleksi surat berharga. 

Sebenarnya normalisasi neraca The Fed pun bukan sesuatu yang baru, sudah dilakukan sejak tahun lalu. Namun entah mengapa investor cemas ketika Gubernur The  Fed Jerome 'Jay' Powell kembali menegaskan akan melepas kepemilikan The Fed di berbagai surat berharga secara bertahap. 

"Pengetatan sepertinya datang lebih cepat. Pasar saham AS pun melakukan re-pricing," ujar Joe Saluzzi, Co-Manager di The Trading yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Investor menilai kala The Fed melepas kepemilikan surat-surat berharga, maka efeknya akan hampir sama dengan menaikkan suku bunga acuan yaitu menyedot likuiditas. Artinya, ke depan likuiditas akan masih cenderung ketat sehingga sepertinya perlambatan ekonomi akan sulit dihindari. 

Faktor kedua adalah risiko penutupan pemerintahan (government shutdown) di AS karena mentoknya pembahasan anggaran tahun fiskal 2019. Sebenarnya sudah ada kesepakatan antara Partai Republik dan Partai Republik bahwa akan ada anggaran sementara yang bisa digunakan sembari pemerintah dan Kongres membahas anggaran yang tetap. 

Namun, Preisden AS Donald Trump ogah menandatangani anggaran sementara tersebut. Trump ngambek karena anggaran itu tidak memasukkan pos pengamanan perbatasan sebesar US$ 5 miliar. Salah satu bentuk pengamanan tersebut adalah pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko. 

"Kami ingin pemerintah tidak tutup. Namun kami juga ingin ada kesepakatan mengenai perlindungan perbatasan" tegas Ketua House of Representative dari Parta Republik Paul Ryan, mengutip Reuters. 

Trump (lagi-lagi) mengoceh di Twitter. Dalam unggahannya, eks taipan properti itu mengatakan Partai Demokrat terlalu mempolitisasi sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh Negeri Adidaya. 

"Demokrat, yang sebenarnya tahu bahwa tembok sangat penting untuk pengamanan perbatasan, mempolitisasi negara ini. Saya tidak akan menandatangani legislasi mereka, termasuk infrastruktur, kecuali menyertakan pengamanan perbatasan yang sempurna. AS menang!" cuit Trump. 

Gaduh politik di Washington ini membuat pelaku pasar gusar. Investor pun memilih bermain aman dengan melepas aset-aset berisiko seperti saham.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya adalah kejatuhan Wall Street. Meski lebih disebabkan faktor domestik, koreksi Wall Street yang mencapai kisaran 1% tentu bisa membuat pasar keuangan Asia gentar dan kemungkinan mendorong investor untuk bermain aman. 

Faktor kedua adalah perkembangan nilai tukar dolar AS, yang sepertinya semakin terpuruk. Pada pukul 04:19 WIB, Dollar Index menunjukkan pelemahan sebesar 0,67%. Dollar Index berada di 96,385, menjauh dari level 97. 

The Fed yang kurang hawkish, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, membuat dolar AS menjadi kurang seksi dalam jangka menengah-panjang. Selain itu, risiko resesi di AS juga semakin hari kian nyata, yang terbaca dari perkembangan pasar obligasi. 

Pada pukul 04:24 WIB, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun berada di 2,6706% atau berselisih 13,06 bps dengan tenor 10 tahun. Pada 19 Desember, selisih yield dua instrumen ini sempat menipis ke 12,2 bps. 

Padahal dalam kondisi normal, jarak antara keduanya begitu lebar. Misalnya pada 20 Juni, selisih yield ada di 36,6 bps. 

Perbandingan yield tenor 2 dan 10 tahun kerap kali menjadi indikator untuk melihat pertanda awal terjadinya resesi. Jika yield tenor 2 tahun mempersempit jarak dengan yang 10 tahun, apalagi kalau berhasil melampaui, maka itu disebut inverted.  

Inverted yield merupakan tanda-tanda awal dari resesi, yang biasanya terjadi sekitar setahun sesudahnya. Sebab, investor melihat risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang, sehingga meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk tenor jangka pendek. 

Data domestik di AS juga kurang mendukung keperkasaan greenback. Jumlah warga yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran meningkat 8.000 orang menjadi 214.000 dalam sepekan hingga 15 Desember. Padahal pekan sebelumnya jumlah klaim turun ke 206.000, nyaris menyentuh menyentuh level terendah dalam 49 tahun terakhir.  

Rilis data tenaga kerja AS ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja Negeri Paman Sam mulai bergejolak. Sebagai informasi, penciptaan lapangan kerja non-pertanian AS juga hanya bertambah 155.000 pada November, turun dari bulan sebelumnya yaitu 237.000. 

Perkembangan ini membuat dolar AS perlahan kehilangan status sebagai safe haven. Kini investor memburu safe haven lainnya untuk menyelamatkan diri, salah satunya ke yen Jepang. Sejak awal pekan ini, yen menguat 1,9% di hadapan dolar AS. 

Tekanan yang dihadapi dolar AS membuat peluang rupiah untuk menguat menjadi terbuka. Kemarin, rupiah mampu menipiskan pelemahan meski belum bisa keluar dari zona merah. Siapa tahu hari ini rupiah bisa lebih beruntung dengan mencatatkan apresiasi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah harga minyak yang masih melanjutkan tren negatif. Pada pukul 04:43 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 4,33% sedangkan light sweet jatuh 2,12%. Harga brent menyentuh titik terendah sejak September 2017. 

Hantu kelebihan pasokan (oversupply) masih bergentayangan. Sebab, permintaan diperkirakan melandai seiring perlambatan ekonomi global. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini di 3,7% dan melambat ke 3,5% pada 2019. 

Saat ekonomi melambat, permintaan energi tentu akan lebih sedikit. Akibatnya, harga minyak mengalami koreksi. 

Bagi rupiah, ini lagi-lagi menjadi sentimen positif. Penurunan harga minyak akan mengurangi beban di neraca migas, dan kemudian bisa menekan defisit transaksi berjalan (current account). Dengan begitu, rupiah bisa lebih punya pijakan untuk menguat,. 

Sentimen keempat adalah Bank Sentral Inggris (BoE) yang menahan suku bunga acuan di 0,75%. Perlambatan ekonomi di Negeri Ratu Elizabeth membuat Mark Carney dan kolega belum mengeksekusi pengetatan kebijakan moneter. 

Laju inflasi di Inggris melambat sejak Agustus, dari 2,7% year-on-year (YoY) menjadi 2,3% YoY pada November. BoE juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 hanya 0,2%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,3%. 

"Ketidakpastian Brexit telah meningkat tinggi sejak pertemuan komite terakhir. Ketidakpastian ini membebani pasar finansial," ujar anggota Monetary Policy Committee (MPC) dalam ringkasan rapat BoE. 

Sentimen kelima adalah dari perkembangan hubungan AS-China. Ada kabar yang kurang sedap, di mana Kementerian Kehakiman AS (DOJ) mengumumkan tuntutan kepada dua warga negara China, Zhu Hua dan Zhang Shilong, terkait usaha peretasan untuk mencuri rahasia teknologi dan hak kekayaan intelektual dari sejumlah perusahaan dan instansi pemerintahan AS. Lebih parahnya lagi, AS juga mendakwa bahwa dua orang tersangka tersebut memiliki keterkaitan dengan pemerintah China.  

"China akan sulit untuk berpura-pura bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas kejadian ini," tegas Wakil Jaksa Agung Rod Rosenstein dalam jumpa pers, seperti dikutip dari CNBC International. 

Kejadian ini bisa jadi penghalang besar bagi negosiasi dagang Washington-Beijing yang sebenarnya sedang berlangsung. Terlebih, sebelumnya negosiasi tersebut sudah cukup terancam oleh kasus penangkapan CFO Huawei Meng Wanzhou.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pemesanan barang tahan lama AS periode November 2018 (20:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi AS kuartal III-2018 (20:30 WIB).
  • Rilis data indeks Personal Consumption Expenditure (PCE) AS periode November 2018 (22:00 WIB).
  • Rilis data revisi sentimen konsumen University of Michigan periode Desember 2018 (22:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Malacca Trust Wuwungan Insurance Tbk (MTWI)RUPSLB10:00
PT Hotel Mandarine Regency Tbk (HOME)RUPSLB11:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (November 2018 YoY)3,23%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2,19% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (November 2018)US$ 117,21 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular