Sempat Anjlok 1,04% & IHSG Ditutup Turun 0,46%, Kenapa?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 December 2018 17:02
Sempat Anjlok 1,04% & IHSG Ditutup Turun 0,46%, Kenapa?
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali hari dengan pelemahan sebesar 0,5% dan sempat anjlok 1,04%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru hanya ditutup melemah 0,46% pada akhir perdagangan ke level 6.147,88.

Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga diperdagangkan di zona merah: indeks Nikkei turun 2,84%, indeks Shanghai turun 0,52%, indeks Hang Seng turun 0,94%, indeks Strait Times turun 0,53%, dan indeks Kospi turun 0,9%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 9,85 triliun dengan volume sebanyak 11,2 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 388.313 kali.

Pelaku pasar dibuat tak bisa bersantai mendekati akhir pekan. Pasalnya, tanda-tanda terjadinya resesi di AS kian keras digaungkan oleh pasar obligasi AS.

Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.

Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.

Namun, konfirmasi datangnya resesi tak cukup mengandalkan spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Konfirmasi biasanya datang dari spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun.

Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.

Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -37 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya menipis dari posisi kemarin (19/12/2018) yang sebesar -38 bps atau semakin mengarah ke inversi.

Jika dibandingkan dengan posisi awal November yang sebesar -82 bps, situasinya tentu sangat mengkhawatirkan. Aksi jual di kawasan regional juga terjadi seiring dengan keputusan The Federal Reserve selaku bank sentral AS untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps.

Lebih lanjut, The Fed memproyeksikan kenaikan sebanyak 2 kali (50 bps) pada tahun depan, turun dari proyeksi sebelumnya yang sebanyak 3 kali (75 bps).

The Fed nampaknya masih keras kepala. Pasalnya, pelaku pasar sebenarnya mengharapkan bahwa The Fed akan lebih berani dalam mengerem normalisasinya. Hingga Rabu sore (19/12/2018), berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures, probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% (tidak ada kenaikan suku bunga acuan) pada tahun 2019 adalah sebesar 46,7%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 23,9%.

The Fed masih akan agresif dalam menaikkan tingkat suku bunga acuan terlepas dari diturunkannya proyeksi pertumbuhan ekonomi. Untuk tahun ini, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan sebesar 3%, turun 10 bps dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,1%. Untuk tahun 2019, angkanya diproyeksikan melandai ke level 2,3%, juga lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 2,5%.

Ditengah perang dagang dengan China yang belum benar-benar usai, normalisasi yang kelewat agresif dikhawatirkan akan memukul perekonomian AS lebih dalam dari yang diproyeksikan The Fed.

Apalagi, The Fed masih akan terus mengurangi besaran dari neracanya, yang berarti suntikan likuiditas ke pasar akan berkurang.

"Saya rasa pengurangan di neraca berlangsung mulus dan sesuai dengan tujuan awalnya. Saya tidak akan mengubah itu," tegas Powell dalam konferensi pers, mengutip Reuters.

Sebagai informasi, sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu, The Fed rajin membeli surat-surat berharga untuk memberikan stimulus kepada perekonomian AS (quantitative easing). Sektor jasa keuangan (-1,12%) memimpin pelemahan IHSG. Sektor jasa keuangan anjlok seiring dengan aksi jual atas saham-saham bank BUKU 4: PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 3,37%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 2,2%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 1,68%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 0,54%, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 0,29%.

Pelemahan rupiah membuat saham-saham bank BUKU 4 dilego investor. Hingga sore hari, rupiah melemah sebesar 0,21% di pasar spot ke level Rp 14.465/dolar AS. Dolar AS mendapatkan momentum melawan rupiah seiring dengan sikap The Fed yang keras kepala.

Normalisasi suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun depan akan membuat imbal hasil instrumen investasi pendapatan tetap disana terkerek naik, sehingga dolar AS menjadi lebih menarik ketimbang rupiah.

Pelemahan rupiah tentu memantik kekhawatiran bahwa rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) dari bank-bank di tanah air akan terkerek naik. Belum lagi jika pelemahan rupiah terjadi dalam jangka waktu yang relatif panjang. Aktivitas ekonomi bisa lesu sehingga menekan permintaan kredit.

Investor asing terpantau cukup gencar melepas saham-saham bank BUKU 4. BBCA dijual bersih senilai Rp 338,6 miliar, BMRI Rp 62,5 miliar, dan BBRI Rp 10,3 miliar.

Secara total, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 450,7 miliar di pasar saham Indonesia. Ditengah-tengah gempuran aksi jual, Bank Indonesia (BI) datang untuk menyelamatkan wajah IHSG. Pada siang hari, BI mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan ditahan di level 6%, sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.

"Rapat Dewan Gubernur BI pada 19-20 Desember 2018 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day RR di 6%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (20/12/2018).

Selepas pengumuman tersebut, IHSG berangsur-angsur naik dan akhirnya hanya ditutup melemah 0,46% ke level 6.147,88.

Keputusan bank sentral berhasil memperbaiki posisi rupiah. Pada perdagangan hari ini, rupiah sempat melemah hingga 0,55% ke level Rp 14.515/dolar AS. Keputusan BI berhasil membawa rupiah hanya ditutup melemah 0,21%.

Dengan tak dinaikannya suku bunga acuan, maka tekanan lebih lanjut terhadap perekonomian Indonesia bisa dihindari, sehingga rupiah bisa memperbaiki posisinya.

Sepanjang tahun ini, BI sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps. Kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut justru bisa membuat rupiah melemah lebih dalam karena bertambahnya tekanan terhadap perekonomian Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular