
Boy Thohir Fokus Bisnis Pembangkit Sebelum Masuk DME
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
18 December 2018 15:42

Jakarta, CNBC Indonesia- Sejak tiga tahun lalu, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) rupanya telah melakukan kajian untuk mengembangkan konversi batubara ke gas. Menurutnya untuk mengonversi tersebut, memang dibutuhkan teknologi yang mumpuni.
"Teknologi dulu. Itu menurut saya maju lah ya. Salah satu yang cukup advance dalam teknologi nilai tambah itu memang Tiongkok. Kami sendiri sudah bicara dengan Xen Hua Energy, mereka bisa mengonversi coal to liquid, coal to gas, coal to amonia dan coal to DME (dimethylether)," ujar Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir kepada media ketika dijumpai di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Namun, lanjut Boy, sapaan Garibaldi, perusahaan belum akan mengembangkan produksi batubara untuk DME dalam waktu dekat. Pasalnya, saat ini Adaro masih fokus pada batubara untuk pasokan listrik.
"Kenapa? Karena kami masih punya banyak proyek yang harus diselesaikan, ada proyek Batang yang selesai 2020, dan proyek Kalsel yang mudah-mudahan selesai tahun depan. Kami pelajari DME sekarang, tapi bertahaplah pengerjaannya. Kan perlu siapkan capex juga," tutur Boy.
Ia mengakui, memang pengembangan proyek DME membutuhkan teknologi yang canggih dan mahal. Apalagi, masyarakat belum familiar dengan DME dibandingkan Elpiji. Menurutnya, saat ini Elpiji lebih kompetitif karena mendapat subsidi dari pemerintah. Jika tidak ada subsidi, lanjut Boy, DME tentu lebih kompetitif dibandingkan Elpiji.
Lalu, apakah pengembangan proyek DME ini butuh insentif agar menarik bagi produsen batubara?
Boy menilai, tidak perlu ada insentif. Sebab, berkaca dari PLTS, yang tadinya sangat mahal investasinya, tetapi lambat laun menjadi makin murah.
"Nah, saya rasa nanti nih, yang namanya DME, teknolgi mahal misalnya, tapi makin lama makin murah dan pasar siap, pasokan ada, maka suatu saat nanti kita bisa reduce impor LPG untuk ini," pungkas Boy.
Adapun, sebelumnya, PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menjalin kerja sama dengan Air Products and Chemicals Inc, perusahaan berbasis di Amerika Serikat. Kerja sama itu dalam rangka meningkatkan nilai tambah batu bara Indonesia.
Penandatanganan kerja sama yang dilaksanakan di Allentown, AS, Rabu (7/11/2018). Kerja sama meliputi pengembangan gasifikasi batubara di Mulut Tambang Batubara Peranap, Riau untuk menjadi dimethylether (DME) dan syntheticnatural gas (SNG).
Dengan kerja sama itu, maka pabrik gasifikasi di Peranap diharapkan dapat mulai beroperasi pada 2022. Kapasitas pabrik yang akan didirikan memiliki kapasitas 400 ribu ton DME per tahun dan 50 mmscfd SNG.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menegaskan, kerja sama Pertamina dengan Bukit Asam serta Air Products adalah langkah strategis bagi semua pihak. Tujuannya untuk meningkatkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional, melalui pemanfaatan DME dan SNG.
"Sekitar 70% LPG masih diimpor, tahun 2017 Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 7 juta ton LPG. Pabrik gasifikasi batubara ini adalah proyek yang sangat strategis secara nasional," ujar Nicke melalui keterangan resminya, Kamis (8/11/2018).
"Pertamina dan PTBA merupakan dua perusahaan BUMN besar di Tanah Air. Sejalan dengan hal tersebut, kerja sama ini mencerminkan pemanfaatan energi dari dalam negeri untuk masyarakat Indonesia," lanjutnya.
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengungkapkan, hilirisasi yang dilakukan PTBA diperkuat dengan sumber daya batubara sebesar 8,3 miliar ton dan cadangan batubara sebesar 3,3 miliar ton.
Chairman, President & CEO Air Products Seifi Ghasemi mengatakan, sebagai pemilik teknologi gas industri seperti syngas dan DME, perusahaan berkomitmen dan mendukung penuh program hilirisasi batubara tersebut.
(gus) Next Article China Batasi Impor, Boy Thohir: Tidak Berdampak ke Adaro
"Teknologi dulu. Itu menurut saya maju lah ya. Salah satu yang cukup advance dalam teknologi nilai tambah itu memang Tiongkok. Kami sendiri sudah bicara dengan Xen Hua Energy, mereka bisa mengonversi coal to liquid, coal to gas, coal to amonia dan coal to DME (dimethylether)," ujar Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir kepada media ketika dijumpai di Jakarta, Selasa (18/12/2018).
"Kenapa? Karena kami masih punya banyak proyek yang harus diselesaikan, ada proyek Batang yang selesai 2020, dan proyek Kalsel yang mudah-mudahan selesai tahun depan. Kami pelajari DME sekarang, tapi bertahaplah pengerjaannya. Kan perlu siapkan capex juga," tutur Boy.
Ia mengakui, memang pengembangan proyek DME membutuhkan teknologi yang canggih dan mahal. Apalagi, masyarakat belum familiar dengan DME dibandingkan Elpiji. Menurutnya, saat ini Elpiji lebih kompetitif karena mendapat subsidi dari pemerintah. Jika tidak ada subsidi, lanjut Boy, DME tentu lebih kompetitif dibandingkan Elpiji.
Lalu, apakah pengembangan proyek DME ini butuh insentif agar menarik bagi produsen batubara?
Boy menilai, tidak perlu ada insentif. Sebab, berkaca dari PLTS, yang tadinya sangat mahal investasinya, tetapi lambat laun menjadi makin murah.
"Nah, saya rasa nanti nih, yang namanya DME, teknolgi mahal misalnya, tapi makin lama makin murah dan pasar siap, pasokan ada, maka suatu saat nanti kita bisa reduce impor LPG untuk ini," pungkas Boy.
Adapun, sebelumnya, PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah menjalin kerja sama dengan Air Products and Chemicals Inc, perusahaan berbasis di Amerika Serikat. Kerja sama itu dalam rangka meningkatkan nilai tambah batu bara Indonesia.
Penandatanganan kerja sama yang dilaksanakan di Allentown, AS, Rabu (7/11/2018). Kerja sama meliputi pengembangan gasifikasi batubara di Mulut Tambang Batubara Peranap, Riau untuk menjadi dimethylether (DME) dan syntheticnatural gas (SNG).
Dengan kerja sama itu, maka pabrik gasifikasi di Peranap diharapkan dapat mulai beroperasi pada 2022. Kapasitas pabrik yang akan didirikan memiliki kapasitas 400 ribu ton DME per tahun dan 50 mmscfd SNG.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menegaskan, kerja sama Pertamina dengan Bukit Asam serta Air Products adalah langkah strategis bagi semua pihak. Tujuannya untuk meningkatkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional, melalui pemanfaatan DME dan SNG.
"Sekitar 70% LPG masih diimpor, tahun 2017 Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 7 juta ton LPG. Pabrik gasifikasi batubara ini adalah proyek yang sangat strategis secara nasional," ujar Nicke melalui keterangan resminya, Kamis (8/11/2018).
"Pertamina dan PTBA merupakan dua perusahaan BUMN besar di Tanah Air. Sejalan dengan hal tersebut, kerja sama ini mencerminkan pemanfaatan energi dari dalam negeri untuk masyarakat Indonesia," lanjutnya.
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengungkapkan, hilirisasi yang dilakukan PTBA diperkuat dengan sumber daya batubara sebesar 8,3 miliar ton dan cadangan batubara sebesar 3,3 miliar ton.
Chairman, President & CEO Air Products Seifi Ghasemi mengatakan, sebagai pemilik teknologi gas industri seperti syngas dan DME, perusahaan berkomitmen dan mendukung penuh program hilirisasi batubara tersebut.
(gus) Next Article China Batasi Impor, Boy Thohir: Tidak Berdampak ke Adaro
Most Popular