
Dear Traders, Cermati Sentimen Ini untuk Pekan Depan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 December 2018 15:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu bisa berjalan variatif bagi pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mampu perkasa, tetapi harga obligasi pemerintah mampu menguat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru melemah.
Sepanjang pekan ini, IHSG menguat 0,71% secara point-to-point. Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif di mana indeks Nikkei 225 menguat 0,24%, Hang Seng bertambah 0,12%, Shanghai Composite minus 0,47%, Kospi berkurang 0,31%, Straits Times anjlok 1,09%, dan KLCI (Malaysia) amblas 1,1%.
Oleh karena itu, IHSG bisa dibilang menjadi yang terbaik di Asia pada pekan lalu. Performa yang cukup membangggakan.
Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik tipis 2,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya permintaan atau malah terjadi tekanan jual.
Seperti harga obligasi, rupiah juga mengalami koreksi. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point. Rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dari rupee India.
Lalu bagaimana dengan pekan depan? Sentimen apa saja yang bisa mempengaruhi pasar keuangan Indonesia?
Dua Data Penting dari Dalam Negeri
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua rilis data penting yang patut menjadi perhatian pelaku pasar. Pertama adalah rilis data perdagangan internasional pada esok hari, Senin (17/12/2018).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
Data kedua adalah rilis suku bunga acuan atau Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo Rate pada 20 Desember. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Perry Warjiyo dan kolega masih akan mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%.
Sebelumnya, Perry telah memberi isyarat bahwa kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate pada November sudah cukup memadai. Oleh karena itu, ada kemungkinan BI akan menutup 2018 tanpa kenaikan suku bunga acuan.
Bila BI benar-benar menahan suku bunga acuan, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Sebab apresiasi rupiah selama November yang mencapai 5,45% sedikit banyak disebabkan oleh kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi di Indonesia, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Akibatnya, permintaan terhadap rupiah meningkat dan membuat nilainya naik alias menguat.
Namun jika BI tidak menaikkan suku bunga acuan, maka berinvestasi di Indonesia menjadi kurang pemanis. Minat terhadap aset-aset berbasis rupiah akan berkurang, sehingga mata uang Tanah Air berpotensi melanjutkan pelemahan.
Ini yang Dinanti: Rapat FOMC
Sementara dari luar negeri, sentimen utama yang akan sangat mewarnai pasar adalah hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed yaitu Federal Open Market Committee (FOMC) yang diumumkan pada 19 Desember waktu setempat atau 20 Desember dini hari waktu Indonesia.
Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps menjadi 2,25-2,5%.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acun sebesar 25 bps adalah 76,6%. Naik dibandingkan seminggu sebelumnya yaitu 72,3%.
Dalam jangka pendek, kenaikan suku bunga acuan (jika dieksekusi) akan menjadi suntikan tenaga yang ampuh bagi dolar AS. Oleh karena itu, berbagai mata uang lain (termasuk rupiah) bisa melemah di hadapan greenback.
Namun suntikan energi ini diperkirakan tidak bertahan lama. Sebab kenaikan suku bunga acuan di AS pada Desember sudah lama diantisipasi oleh pasar. Sudah priced-in, sudah masuk perhitungan, sehingga tidak ada kejutan yang berarti.
Selain itu, pelaku pasar juga mulai meneropong kebijakan moneter AS untuk 2019. Ada kemungkinan The Fed tidak akan agresif seperti tahun ini, karena ada potensi perlambatan di perekonomian Negeri Paman Sam.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% pada 2019. Dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) akhir 2017 sepertinya sudah mereda pada akhir 2018 dan semakin pudar pada 2019.
Hasilnya adalah perlambatan ekonomi karena konsumsi rumah tangga dan korporasi kembali ke mode normal, nitro sudah habis.
Selain itu, laju inflasi di AS juga sudah searah dengan target The Fed. Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE), preferensi The Fed dalam mengukur inflasi, sudah beberapa kali menyentuh target 2%.
Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah mengecil.
Pelaku pasar pun memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuan dua kali sepanjang 2019. Lebih sedikit dari proyeksi sebelumnya yaitu setidaknya tiga kali.
Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati. Ini membuka ruang bagi rupiah untuk kembali menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pergerakan IHSG dan Rupiah Jelang Akhir Pekan
Sepanjang pekan ini, IHSG menguat 0,71% secara point-to-point. Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif di mana indeks Nikkei 225 menguat 0,24%, Hang Seng bertambah 0,12%, Shanghai Composite minus 0,47%, Kospi berkurang 0,31%, Straits Times anjlok 1,09%, dan KLCI (Malaysia) amblas 1,1%.
Oleh karena itu, IHSG bisa dibilang menjadi yang terbaik di Asia pada pekan lalu. Performa yang cukup membangggakan.
Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik tipis 2,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya permintaan atau malah terjadi tekanan jual.
Seperti harga obligasi, rupiah juga mengalami koreksi. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point. Rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia, hanya lebih baik dari rupee India.
Lalu bagaimana dengan pekan depan? Sentimen apa saja yang bisa mempengaruhi pasar keuangan Indonesia?
Dua Data Penting dari Dalam Negeri
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua rilis data penting yang patut menjadi perhatian pelaku pasar. Pertama adalah rilis data perdagangan internasional pada esok hari, Senin (17/12/2018).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
Data kedua adalah rilis suku bunga acuan atau Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo Rate pada 20 Desember. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Perry Warjiyo dan kolega masih akan mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%.
Sebelumnya, Perry telah memberi isyarat bahwa kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate pada November sudah cukup memadai. Oleh karena itu, ada kemungkinan BI akan menutup 2018 tanpa kenaikan suku bunga acuan.
Bila BI benar-benar menahan suku bunga acuan, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Sebab apresiasi rupiah selama November yang mencapai 5,45% sedikit banyak disebabkan oleh kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongkrak imbalan investasi di Indonesia, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Akibatnya, permintaan terhadap rupiah meningkat dan membuat nilainya naik alias menguat.
Namun jika BI tidak menaikkan suku bunga acuan, maka berinvestasi di Indonesia menjadi kurang pemanis. Minat terhadap aset-aset berbasis rupiah akan berkurang, sehingga mata uang Tanah Air berpotensi melanjutkan pelemahan.
Ini yang Dinanti: Rapat FOMC
Sementara dari luar negeri, sentimen utama yang akan sangat mewarnai pasar adalah hasil rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed yaitu Federal Open Market Committee (FOMC) yang diumumkan pada 19 Desember waktu setempat atau 20 Desember dini hari waktu Indonesia.
Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps menjadi 2,25-2,5%.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acun sebesar 25 bps adalah 76,6%. Naik dibandingkan seminggu sebelumnya yaitu 72,3%.
Dalam jangka pendek, kenaikan suku bunga acuan (jika dieksekusi) akan menjadi suntikan tenaga yang ampuh bagi dolar AS. Oleh karena itu, berbagai mata uang lain (termasuk rupiah) bisa melemah di hadapan greenback.
Namun suntikan energi ini diperkirakan tidak bertahan lama. Sebab kenaikan suku bunga acuan di AS pada Desember sudah lama diantisipasi oleh pasar. Sudah priced-in, sudah masuk perhitungan, sehingga tidak ada kejutan yang berarti.
Selain itu, pelaku pasar juga mulai meneropong kebijakan moneter AS untuk 2019. Ada kemungkinan The Fed tidak akan agresif seperti tahun ini, karena ada potensi perlambatan di perekonomian Negeri Paman Sam.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% pada 2019. Dampak pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) akhir 2017 sepertinya sudah mereda pada akhir 2018 dan semakin pudar pada 2019.
Hasilnya adalah perlambatan ekonomi karena konsumsi rumah tangga dan korporasi kembali ke mode normal, nitro sudah habis.
Selain itu, laju inflasi di AS juga sudah searah dengan target The Fed. Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE), preferensi The Fed dalam mengukur inflasi, sudah beberapa kali menyentuh target 2%.
Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah mengecil.
Pelaku pasar pun memperkirakan The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuan dua kali sepanjang 2019. Lebih sedikit dari proyeksi sebelumnya yaitu setidaknya tiga kali.
Sehingga dalam jangka menengah-panjang, dolar AS akan lebih sedikit diminati. Ini membuka ruang bagi rupiah untuk kembali menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Pergerakan IHSG dan Rupiah Jelang Akhir Pekan
Most Popular