
Newsletter
Potensi Resesi di AS Tekan Bursa Asia Kemarin, Hari Ini?
Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 December 2018 06:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri sama-sama ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Dibuka terkoreksi 0,9%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menipiskan kekalahannya menjadi 0,32% ke level 6.133,12 pada akhir perdagangan.
Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah 0,74% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot, menutup perdagangan kemarin di level Rp 14.390/US$.
Performa IHSG senada dengan bursa saham kawasan Asia lainnya yang juga terkoreksi. Namun, pelemahan IHSG menjadi yang paling tipis, menempatkannya sebagai indeks saham dengan performa terbaik di kawasan.
Indeks Nikkei turun 0,53%, indeks Shanghai turun 0,61%, indeks Hang Seng turun 1,62%, indeks Strait Times turun 0,37%, indeks Kospi turun 0,62%, indeks KLCI (Malaysia) turun 0,4%, indeks PSEi (Filipina) turun 0,95%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 0,8%.
Berbanding terbalik dengan IHSG, performa rupiah justru menjadi yang terburuk di Benua Kuning kemarin. Memang, hampir semua mata uang Asia juga tunduk di hadapan dolar AS, namun pelemahan rupiah menjadi yang paling dalam.
Hingga pukul 16.08 WIB kemarin, yuan China melemah 0,43%, yen Jepang melemah 0,18%, won Korea Selatan melemah 0,16%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,19%, dolar Singapura terdepresiasi 0,18%, dan dolar Taiwan melemah 0,04%.
Hanya baht Thailand dan rupee India yang masih perkasa terhadap greenback, masing-masing menguat tipis 0,09% dan 0,06%.
Tekanan yang paling signifikan bagi pasar keuangan kawasan Asia datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah AS.
Pada penutupan perdagangan hari Selasa (4/12/2018), yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di level 2,811% dan tenor 3 tahun berada di level 2,819%, lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,799%.
Fenomena yang disebut dengan yield curve inversion ini mengindikasikan adanya tekanan yang signifikan dalam perekonomian AS dalam waktu dekat, sehingga investor meminta yield lebih tinggi untuk obligasi bertenor pendek.
"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan menglami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Risiko ini sukses membuat pelaku pasar meninggalkan instrumen berisiko dan mengalikan dananya ke greenback yang merupakan safe haven.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah 0,74% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot, menutup perdagangan kemarin di level Rp 14.390/US$.
Performa IHSG senada dengan bursa saham kawasan Asia lainnya yang juga terkoreksi. Namun, pelemahan IHSG menjadi yang paling tipis, menempatkannya sebagai indeks saham dengan performa terbaik di kawasan.
Indeks Nikkei turun 0,53%, indeks Shanghai turun 0,61%, indeks Hang Seng turun 1,62%, indeks Strait Times turun 0,37%, indeks Kospi turun 0,62%, indeks KLCI (Malaysia) turun 0,4%, indeks PSEi (Filipina) turun 0,95%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 0,8%.
Berbanding terbalik dengan IHSG, performa rupiah justru menjadi yang terburuk di Benua Kuning kemarin. Memang, hampir semua mata uang Asia juga tunduk di hadapan dolar AS, namun pelemahan rupiah menjadi yang paling dalam.
Hingga pukul 16.08 WIB kemarin, yuan China melemah 0,43%, yen Jepang melemah 0,18%, won Korea Selatan melemah 0,16%, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,19%, dolar Singapura terdepresiasi 0,18%, dan dolar Taiwan melemah 0,04%.
Hanya baht Thailand dan rupee India yang masih perkasa terhadap greenback, masing-masing menguat tipis 0,09% dan 0,06%.
Tekanan yang paling signifikan bagi pasar keuangan kawasan Asia datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah AS.
Pada penutupan perdagangan hari Selasa (4/12/2018), yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di level 2,811% dan tenor 3 tahun berada di level 2,819%, lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,799%.
Fenomena yang disebut dengan yield curve inversion ini mengindikasikan adanya tekanan yang signifikan dalam perekonomian AS dalam waktu dekat, sehingga investor meminta yield lebih tinggi untuk obligasi bertenor pendek.
"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan menglami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Risiko ini sukses membuat pelaku pasar meninggalkan instrumen berisiko dan mengalikan dananya ke greenback yang merupakan safe haven.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular