
November Kelabu, Harga Minyak Amblas 22% Lebih
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 December 2018 14:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Di sepanjang bulan November, harga minyak light sweet dan brent kontrak berjangka kompak amblas 22% lebih secara point-to-point. Pelemahan bulanan itu menjadi yang terburuk dalam lebih dari 10 tahun terakhir.
Harga si emas hitam tertekan oleh kondisi pasar yang cenderung oversupply. Pasokan minyak mentah dunia membanjir, sementara permintaan diperkirakan lesu akibat perlambatan ekonomi global.
Pertengahan pekan ini, Departemen Energi AS (Energy Information Administration/EIA) melaporkan cadangan minyak AS naik 3,6 juta barel menjadi 450 juta barel dalam sepekan hingga tanggal 23 November. Cadangan minyak Negeri Adidaya terus naik dalam 10 pekan beruntun.
Tidak hanya itu, produksi minyak mentah mingguan di AS juga masih stabil di rekor tertinggi sepanjang sejarah Negeri Paman Sam, yakni sebesar 11,7 juta barel/hari.
Dari Arab Saudi, produksi minyak Negeri Padang Pasir pada November mencapai 11,1 juta-11,3 juta barel/hari. Capaian itu merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Saudi.
Kemudian dari Russia, produksi minyak mentah telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kini tiga produsen minyak terbesar dunia tersebut sama-sama mencetak rekor produksi tertinggi. Jelas hal tersebut merupakan sinyal bahwa pasokan minyak mentah dunia memang sedang membanjir.
Di saat pasokan sedang berlebihan, permintaan malah diramal lemah akibat perlambatan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Dalam proyeksi terbarunya, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahkan menyatakan bahwa "pertumbuhan perdagangan kemungkinan besar akan melambat lebih jauh pada kuartal IV-2018, dengan tingkat pertumbuhan terlambat sejak Oktober 2016," seperti dilansir dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Meski demikian, di sepanjang pekan ini sejatinya tekanan bagi harga minyak agak mereda.
Dalam sepekan terakhir, harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) masih tercatat menguat 1% secara point-to-point. Sebaliknya, brent masih melemah 0,15% di periode yang sama.
Capaian itu jauh lebih baik dibandingkan performa mingguan dalam sepekan hingga tanggal 23 November. Kala itu, harga brent amblas nyaris 12% dalam sepekan terakhir.
Sepekan ini, harga minyak mendapatkan suntikan energi dari aura pemangkasan produksi minyak oleh negara-negara produsen. Rusia, sebagai produsen terbesar kedua di dunia, kini memberi sinyal untuk bergabung dalam aksi pengurangan produksi.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak akan mengadakan pertemuan dengan produsen minyak di Negeri Beruang Merah, sebelum bertolak ke Austria untuk menghadiri pertemuan tahunan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada 6 Desember mendatang.
“Gagasan pada pertemuan itu adalah Rusia perlu mengurangi (produksi). Pertanyaan kuncinya adalah seberapa cepat dan seberapa banyak,” ucap salah seorang sumber yang familiar dengan pertemuan di Rusia itu, seperti dikutip dari Reuters.
Kemudian, dari pekembangan teranyar, Novak juga dikabarkan akan bertemu dengan perwakilan Arab Saudi di sela-sela pertemuan G20 di Argentina pada 30 November-1 Desember. Kantor berita RIA melaporkan bahwa tujuan pertemuan itu adalah untuk mendiskusikan pemangkasan produksi pada 2019, seperti dilansir dari Reuters.
Dengan sinyal bergabungnya Rusia dalam kesepakatan pemangkasan produksi OPEC, kini pelaku pasar semakin yakin bahwa OPEC dan mitra produsen non-OPEC akan merealisasikan pemangkasan sebesar 1-1,4 juta barel/hari pada pertemuan tahunan OPEC pekan depan.
Dengan adanya pemangkasan produksi, maka risiko oversupply setidaknya bisa dimitigasi. Hal ini lantas memberikan energi positif bagi harga sang emas hitam hari ini.
Tidak hanya itu, pelaku pasar cenderung optimis menanti hasil pertemuan G20. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan menyelesaikan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow, mengutip Reuters.
Komentar Kudlow mengindikasikan masih ada harapan bahwa Presiden AS Donald Trump melunak dan bisa sepaham dengan China untuk mengakhiri perang dagang. Hal ini menjadi sentimen positif bahwa permintaan minyak mentah global bisa pulih ke depannya.
Sayangnya, optimisme investor terhadap hasil pertemuan G20 agak memudar di akhir pekan. Berbicara di hadapan reporter sebelum meninggalkan Gedung Putih untuk terbang ke Argentina, Trump mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China sudah dekat namun dirinya tak yakin menginginkan hal tersebut terjadi.
"Saya rasa kami sangat dekat untuk melakukan sesuatu (kesepakatan) dengan China tetapi saya tidak tahu apakah saya ingin melakukannya," papar Trump pada hari Kamis (29/11/2018).
"Karena apa yang kita nikmati sekarang adalah miliaran dolar mengalir ke AS dalam bentuk tarif dan pajak," dirinya menambahkan lebih lanjut.
Perkembangan G20 yang kurang positif ini kemudian membuat investor kembali khawatir terhadap hasil pertemuan Xi Jinping-Trump. Jangan-jangan ikhtiar perdamaian dagang bisa pupus lagi, seperti yang sudah-sudah. Alhasil, harga minyak pun tertekan cukup signifikan di akhir pekan ini, sehingga membatasi penguatan harga minyak dalam sepekan.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/prm) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Harga si emas hitam tertekan oleh kondisi pasar yang cenderung oversupply. Pasokan minyak mentah dunia membanjir, sementara permintaan diperkirakan lesu akibat perlambatan ekonomi global.
Tidak hanya itu, produksi minyak mentah mingguan di AS juga masih stabil di rekor tertinggi sepanjang sejarah Negeri Paman Sam, yakni sebesar 11,7 juta barel/hari.
Dari Arab Saudi, produksi minyak Negeri Padang Pasir pada November mencapai 11,1 juta-11,3 juta barel/hari. Capaian itu merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Saudi.
Kemudian dari Russia, produksi minyak mentah telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.
Kini tiga produsen minyak terbesar dunia tersebut sama-sama mencetak rekor produksi tertinggi. Jelas hal tersebut merupakan sinyal bahwa pasokan minyak mentah dunia memang sedang membanjir.
Di saat pasokan sedang berlebihan, permintaan malah diramal lemah akibat perlambatan ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Dalam proyeksi terbarunya, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahkan menyatakan bahwa "pertumbuhan perdagangan kemungkinan besar akan melambat lebih jauh pada kuartal IV-2018, dengan tingkat pertumbuhan terlambat sejak Oktober 2016," seperti dilansir dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Meski demikian, di sepanjang pekan ini sejatinya tekanan bagi harga minyak agak mereda.
Dalam sepekan terakhir, harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) masih tercatat menguat 1% secara point-to-point. Sebaliknya, brent masih melemah 0,15% di periode yang sama.
Capaian itu jauh lebih baik dibandingkan performa mingguan dalam sepekan hingga tanggal 23 November. Kala itu, harga brent amblas nyaris 12% dalam sepekan terakhir.
Sepekan ini, harga minyak mendapatkan suntikan energi dari aura pemangkasan produksi minyak oleh negara-negara produsen. Rusia, sebagai produsen terbesar kedua di dunia, kini memberi sinyal untuk bergabung dalam aksi pengurangan produksi.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak akan mengadakan pertemuan dengan produsen minyak di Negeri Beruang Merah, sebelum bertolak ke Austria untuk menghadiri pertemuan tahunan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada 6 Desember mendatang.
“Gagasan pada pertemuan itu adalah Rusia perlu mengurangi (produksi). Pertanyaan kuncinya adalah seberapa cepat dan seberapa banyak,” ucap salah seorang sumber yang familiar dengan pertemuan di Rusia itu, seperti dikutip dari Reuters.
Kemudian, dari pekembangan teranyar, Novak juga dikabarkan akan bertemu dengan perwakilan Arab Saudi di sela-sela pertemuan G20 di Argentina pada 30 November-1 Desember. Kantor berita RIA melaporkan bahwa tujuan pertemuan itu adalah untuk mendiskusikan pemangkasan produksi pada 2019, seperti dilansir dari Reuters.
Dengan sinyal bergabungnya Rusia dalam kesepakatan pemangkasan produksi OPEC, kini pelaku pasar semakin yakin bahwa OPEC dan mitra produsen non-OPEC akan merealisasikan pemangkasan sebesar 1-1,4 juta barel/hari pada pertemuan tahunan OPEC pekan depan.
Dengan adanya pemangkasan produksi, maka risiko oversupply setidaknya bisa dimitigasi. Hal ini lantas memberikan energi positif bagi harga sang emas hitam hari ini.
Tidak hanya itu, pelaku pasar cenderung optimis menanti hasil pertemuan G20. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan menyelesaikan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.
"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow, mengutip Reuters.
Komentar Kudlow mengindikasikan masih ada harapan bahwa Presiden AS Donald Trump melunak dan bisa sepaham dengan China untuk mengakhiri perang dagang. Hal ini menjadi sentimen positif bahwa permintaan minyak mentah global bisa pulih ke depannya.
Sayangnya, optimisme investor terhadap hasil pertemuan G20 agak memudar di akhir pekan. Berbicara di hadapan reporter sebelum meninggalkan Gedung Putih untuk terbang ke Argentina, Trump mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China sudah dekat namun dirinya tak yakin menginginkan hal tersebut terjadi.
"Saya rasa kami sangat dekat untuk melakukan sesuatu (kesepakatan) dengan China tetapi saya tidak tahu apakah saya ingin melakukannya," papar Trump pada hari Kamis (29/11/2018).
"Karena apa yang kita nikmati sekarang adalah miliaran dolar mengalir ke AS dalam bentuk tarif dan pajak," dirinya menambahkan lebih lanjut.
Perkembangan G20 yang kurang positif ini kemudian membuat investor kembali khawatir terhadap hasil pertemuan Xi Jinping-Trump. Jangan-jangan ikhtiar perdamaian dagang bisa pupus lagi, seperti yang sudah-sudah. Alhasil, harga minyak pun tertekan cukup signifikan di akhir pekan ini, sehingga membatasi penguatan harga minyak dalam sepekan.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/prm) Next Article Harga Minyak Sentuh Level Tertinggi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular