Harga Minyak Bangkit dari Rekor Terendah, Tapi Masih Rentan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 November 2018 10:40
Harga Minyak Bangkit dari Rekor Terendah, Tapi Masih Rentan
Jakarta, CNBC IndonesiaPada perdagangan hari ini Kamis (29/11/2018) hingga pukul 09.32 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 naik 0,34% ke level US$ 58,96/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Januari 2019 menguat 0,64% ke level US$ 50,61/barel.

Harga minyak mampu merangkak naik pasca kemarin kembali anjlok ke level terendahnya dalam 1 tahun lebih, atau sejak Oktober 2017.

Pada penutupan perdagangan hari Rabu (28/11/2018), harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) amblas 2,46%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa melemah 2,41%.

Pelemahan kemarin didorong oleh meningkatnya cadangan minyak mentah di Negeri Paman Sam. Situasi ini kembali menjadi sinyal bahwa pasokan minyak dunia memang sedang membanjir.

Adapun pada hari ini, naiknya harga minyak mentah nampaknya disokong oleh faktor technical rebound. Selain itu, pelaku pasar nampaknya masih berharap ada kabar baik dari pertemuan G20 serta Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang akan datang.



Di sepanjang bulan November 2018, harga minyak mentah sudah jatuh di kisaran 22%. Sedangkan, di sepanjang tahun (year-to-date/YTD), harga minyak brent dan light sweet sudah amblas masing-masing sebesar 12,13% dan 16,77%.

Mengingat harga sang emas hitam yang sudah amat murah, pelaku pasar pun terdorong untuk melakukan aksi beli. Apalagi harga minyak sudah berada di level terendahnya sejak Oktober 2017. Alhasil, harga minyak mengalami technical rebound pada hari ini.

Selain itu, sebenarnya ada justifikasi cukup kuat untuk aksi beli investor. Pelaku pasar nampaknya masih berharap pertemuan tahunan OPEC di Austria pada 6 Desember mendatang akan membuahkan hasil yang positif.

Optimisme investor berasal dari Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih yang menyatakan tidak akan sendirian memangkas produksi minyak untuk menstabilkan pasar. Falih mengklaim bahwa sinyal dari anggota OPEC lainnya seperti Irak, Nigeria, dan Libya cukup positif untuk hal tersebut, mengingat semuanya punya urgensi untuk mengembalikan stabilitas pasar minyak.

"Kita akan melakukan apapun yang dibutuhkan, tapi jika hanya kita beraksi bersama-sama sebagai grup berisi 25 anggota. Arab Saudi tidak dapat melakukannya sendirian," ucap Falih kepada wartawan, seperti dikutip dari Reuters.

"Setiap orang berharap untuk mencapai kesepakatan yang membawa stabilitas kembali ke pasar. Saya pikir semua tahu bahwa membiarkan pasar bergerak sendiri tanpa kejelasan dan keputusan kolektif untuk menyeimbangkan pasar, tidaklah akan membantu apa-apa," tambah Falih.

Presiden Rusia Vladimir Putin juga menyampaikan bahwa akan terus berkomunikasi dengan OPEC dan akan bekerja sama jika dibutuhkan. "Kita berkomunikasi dengan OPEC dan siap untuk melanjutkan upaya (pemangkasan produksi) bersama jika dibutuhkan," ucap Putin, seperti dikutip dari Reuters.

Sebelumnya, pada pertemuan tersebut OPEC dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.

Nampaknya OPEC dan Rusia mulai gelisah terhadap kondisi pasar yang kelebihan pasokan, dan akan melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar. Hal ini kemudian dipandang pelaku pasar sebagai "juru selamat" yang mampu mengangkat harga minyak dari jurang keterpurukan. Sentimen ini kemudian menjadi penyokong harga minyak pada hari ini.

Selain itu, pelaku pasar juga berharap pada hasil pertemuan G20 di Buenos Aires pada 30 November dan 1 Desember. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan membicarakan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.

Perkembangan teranyar, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menyatakan bahwa optimisme merebak jelang pertemuan Trump-Xi di Argentina. Ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan.

"Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu," kata Kudlow, mengutip Reuters.

Pernyataan Kudlow melegakan pelaku pasar. Masih ada harapan Trump melunak dan bisa sepaham dengan China untuk mengakhiri perang dagang. Hal ini menjadi sentimen positif bahwa permintaan minyak mentah global bisa pulih ke depannya.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Meski demikian, fundamental harga minyak mentah sejatinya masih cukup rentan. Kemarin, US Energy Information Administration melaporkan cadangan minyak AS naik 3,6 juta barel menjadi 450 juta barel pada pekan lalu. Cadangan minyak Negeri Adidaya terus naik dalam 10 pekan beruntun.

Stabilnya kenaikan cadangan minyak mentah AS sebagian memang disebabkan oleh perawatan kilang minyak secara berkala. Meski demikian, produksi domestik juga melambung ke rekor 11,7 juta barel/hari.

Sebelumnya, produksi minyak Saudi pada November mencapai 11,1-11,3 juta barel/hari. Capaian itu merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Padang Pasir.

Dari Russia, produksi minyak mentah telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.

Kini tiga produsen minyak terbesar dunia itu sama-sama mencetak rekor produksi tertinggi. Jelas hal tersebut merupakan sinyal bahwa pasokan minyak mentah dunia memang sedang membanjir.

Kemudian, tidak sedikit pula pelaku pasar yang nampaknya masih meragukan aksi OPEC dan mitranya untuk memangkas produksi. Risiko terbesar datang dari kemesraan AS dengan Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC). Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump bahkan memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi. “Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!”

Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC akhirnya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global.

Kemudian, sejauh ini Iran, Nigeria, dan Rusia, juga sebenarnya juga belum memberikan sinyal yang benar-benar positif untuk bergabung dalam kesepakatan pemangkasan produksi.

Seperti dilansir dari Reuters kemarin, Menteri Energi Nigeria Emmanuel Ibe Kachikwu menyatakan bahwa terlalu cepat untuk Nigeria dalam berpartisipasi dalam pemangkasan produksi, walapun juga menambahkan bahwa ada “kehendak absolut” dari OPEC untuk menstabilisasi pasar.

Selain itu, dalam pernyataan tambahannya kemarin, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan akan “puas” dengan harga minyak mentah US$ 60/barel. Padahal, sebelumnya Putin menyampaikan bahwa Negeri Beruang Merah berharap harga di kisaran US$ 70/barel. Artinya, meski Rusia mau bekerja sama, nampaknya pemangkasan produksinya tidak akan terlalu signifikan.

Fundamental yang masih buruk plus masih adanya aura pesimisme terkait pemangkasan produksi di lantas membatasi penguatan harga minyak pada hari ini. (TIM RISET CNBC INDONESIA)    
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular