
Gara-Gara RI Bebaskan Pungutan Ekspor, Harga CPO Amblas 3,5%
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 November 2018 08:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) kontrak Februari 2019 di Bursa Derivatif Malaysia anjlok 3,52% ke MYR 1.972/ton pada penutupan perdagangan hari Senin (26/11/2018). Penurunan harian sebesar itu merupakan yang pertama kalinya sejak pertengahan Februari tahun lalu.
Dengan pergerakan itu, harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia ini kembali jatuh ke level di bawah MYR 2.000/ton, hingga menyentuh titik terendahnya dalam lebih dari 3 tahun terakhir, atau sejak akhir Agustus 2015.
Sejak awal perdagangan, pergerakan harga CPO memang sudah cenderung loyo. Sejumlah sentimen negatif masih menghantui, utamanya datang dari lesunya permintaan global, amblasnya harga minyak mentah dunia, serta koreksi harga minyak kedelai.
BACA: Meski Ada B10 di Malaysia, Harga CPO Loyo di Awal Pekan
Akan tetapi, pelemahan harga CPO semakin menjadi-jadi pasca pemerintah Indonesia menetapkan pungutan ekspor CPO menjadi US$ 0/ton, jelang penutupan perdagangan kemarin.
Memasuki perdagangan sesi 2 kemarin (setelah istirahat siang), harga CPO memang sudah melemah di kisaran 1%. Pelemahan harga lantas semakin parah, yakni mencapai 2%, di rentang satu jam sebelum penutupan perdagangan.
Sejatinya, faktor fundamental amat tidak mendukung. Ekspor produk minyak kelapa sawit Malaysia dilaporkan turun 2,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 1,04 juta ton pada periode 1-25 November, berdasarkan survei kargo yang dilakukan Intertek Testing Services.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran belum mampu pulih pasca melemah sebesar 14,1% MtM pada bulan Oktober. Lesunya permintaan ini lantas mengonfirmasi kekhawatiran pelaku pasar akan permintaan yang loyo pada menjelang akhir tahun 2018.
Stok minyak kedelai di India (importir CPO terbesar dunia) sedang tinggi-tingginya, sehingga mengurangi permintaan CPO. Sedangkan, permintaan dari Eropa dan China juga berkurang karena berlangsungnya musim dingin. Sebagai catatan, minyak kelapa sawit akan memadat pada cuaca yang dingin.
Di saat ekspor lesu, produksi minyak kelapa sawit Malaysia malah diekspektasikan melambung pada dua bulan terakhir tahun ini mengikuti pola musimannya. Alhasil, stok minyak kelapa sawit di Malaysia pun diekspektasikan akan kembali melambung. Padahal, pada bulan lalu stok sudah meningkat 7,6% MtM ke 2,72 juta ton.
Tekanan bagi harga CPO juga datang dari amblasnya harga minyak mentah dunia. Pada penutupan perdagangan hari Jumat (23/11/2018), harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) ambrol nyaris 8%, sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa amblas 6% lebih.
Penurunan harga minyak mentah memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia turun, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
Tidak hanya dari harga minyak mentah, harga CPO pun dipengaruhi oleh koreksi harga minyak kedelai. Mengutip Refinitiv, harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) tercatat turun 0,58% pada pedagangan hari kemarin (hingga pukul 17.00 WIB). Pada akhir pekan lalu, harganya juga melemah 0,54%.
Seperti diketahui, harga CPO juga dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga kedelai turun, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut melemah.
Kebijakan Pungutan Ekspor CPO RI Makin Tekan Harga CPO
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, seperti itulah pergerakan harga CPO kemarin. Pada penghujung perdagangan muncul sentimen negatif lainnya yang sukses menyeret harga CPO jatuh semakin dalam ke jurang kehancuran.
Hanya dalam waktu setengah jam, pelemahan harga CPO melebar dari semula 2,1% (pada pukul 16.30 WIB) menjadi 3,52% pada saat penutupan perdagangan (17.00 WIB).
Sentimen negatif itu yang membebani harga CPO di ujung perdagangan tersebut datang dari kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan pungutan ekspor CPO menjadi US$ 0 per ton alias dinolkan, menyusul harga komoditas ini yang merosot.
Dalam konferensi pers hari ini, Senin (26/11/2018), Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, "Kami membahas pergerakan harga yang menurun dengan sangat cepat pada seminggu terakhir. Padahal 8-9 hari yang lalu masih bertahan cukup lama di kisaran 530 US$/Ton."
BACA: Darmin: Keadaan Mendesak, Pungutan Ekspor CPO Dinolkan
Darmin menuturkan, kondisi saat ini membutuhkan emergency measure untuk membantu harga di level petani. Adapun, mekanisme pungutan ekspor yang diputuskan oleh Komite Pengarah BPDP-KS adalah sebagai berikut:
Apabila menggunakan rata-rata di bulan November 2018 saja (hingga tanggal 23 November 2018), harga CPO memang berada di MYR 2047,53/ton. Atau jika dikonversi ke dolar Amerika Serikat (AS), harganya sekitar US$ 488,96/ton. Sudah berada di bawah level US$ 500/ton, yang artinya pungutan ekspor CPO dan turunannya memang akan digratiskan.
Selama ini, adanya pungutan ekspor di Indonesia telah membantu harga CPO made in Malaysia lebih kompetitif. Dengan adanya "pembebasan" pungutan ekspor di RI, produsen CPO di tanah air pun bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan, atau minimal setara, dibandingkan dengan produsen di Malaysia.
Alhasil, situasi ini membuat ekspor CPO Malaysia akan semakin tertekan. Mau tidak mau, harga CPO kontrak acuan di Bursa Malaysia pun tenggelam semakin dalam pada perdagangan kemarin.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/hps) Next Article Senyum Bos CPO Kembali Lebar, Ada yang Bangkit Dari Kubur
Dengan pergerakan itu, harga komoditas unggulan agrikultur Malaysia dan Indonesia ini kembali jatuh ke level di bawah MYR 2.000/ton, hingga menyentuh titik terendahnya dalam lebih dari 3 tahun terakhir, atau sejak akhir Agustus 2015.
Sejak awal perdagangan, pergerakan harga CPO memang sudah cenderung loyo. Sejumlah sentimen negatif masih menghantui, utamanya datang dari lesunya permintaan global, amblasnya harga minyak mentah dunia, serta koreksi harga minyak kedelai.
Akan tetapi, pelemahan harga CPO semakin menjadi-jadi pasca pemerintah Indonesia menetapkan pungutan ekspor CPO menjadi US$ 0/ton, jelang penutupan perdagangan kemarin.
Memasuki perdagangan sesi 2 kemarin (setelah istirahat siang), harga CPO memang sudah melemah di kisaran 1%. Pelemahan harga lantas semakin parah, yakni mencapai 2%, di rentang satu jam sebelum penutupan perdagangan.
Sejatinya, faktor fundamental amat tidak mendukung. Ekspor produk minyak kelapa sawit Malaysia dilaporkan turun 2,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 1,04 juta ton pada periode 1-25 November, berdasarkan survei kargo yang dilakukan Intertek Testing Services.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Negeri Jiran belum mampu pulih pasca melemah sebesar 14,1% MtM pada bulan Oktober. Lesunya permintaan ini lantas mengonfirmasi kekhawatiran pelaku pasar akan permintaan yang loyo pada menjelang akhir tahun 2018.
Stok minyak kedelai di India (importir CPO terbesar dunia) sedang tinggi-tingginya, sehingga mengurangi permintaan CPO. Sedangkan, permintaan dari Eropa dan China juga berkurang karena berlangsungnya musim dingin. Sebagai catatan, minyak kelapa sawit akan memadat pada cuaca yang dingin.
Di saat ekspor lesu, produksi minyak kelapa sawit Malaysia malah diekspektasikan melambung pada dua bulan terakhir tahun ini mengikuti pola musimannya. Alhasil, stok minyak kelapa sawit di Malaysia pun diekspektasikan akan kembali melambung. Padahal, pada bulan lalu stok sudah meningkat 7,6% MtM ke 2,72 juta ton.
Tekanan bagi harga CPO juga datang dari amblasnya harga minyak mentah dunia. Pada penutupan perdagangan hari Jumat (23/11/2018), harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) ambrol nyaris 8%, sedangkan harga brent yang menjadi acuan di Eropa amblas 6% lebih.
Penurunan harga minyak mentah memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia turun, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
Tidak hanya dari harga minyak mentah, harga CPO pun dipengaruhi oleh koreksi harga minyak kedelai. Mengutip Refinitiv, harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) tercatat turun 0,58% pada pedagangan hari kemarin (hingga pukul 17.00 WIB). Pada akhir pekan lalu, harganya juga melemah 0,54%.
Seperti diketahui, harga CPO juga dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga kedelai turun, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut melemah.
Kebijakan Pungutan Ekspor CPO RI Makin Tekan Harga CPO
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, seperti itulah pergerakan harga CPO kemarin. Pada penghujung perdagangan muncul sentimen negatif lainnya yang sukses menyeret harga CPO jatuh semakin dalam ke jurang kehancuran.
Hanya dalam waktu setengah jam, pelemahan harga CPO melebar dari semula 2,1% (pada pukul 16.30 WIB) menjadi 3,52% pada saat penutupan perdagangan (17.00 WIB).
Sentimen negatif itu yang membebani harga CPO di ujung perdagangan tersebut datang dari kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan pungutan ekspor CPO menjadi US$ 0 per ton alias dinolkan, menyusul harga komoditas ini yang merosot.
Dalam konferensi pers hari ini, Senin (26/11/2018), Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, "Kami membahas pergerakan harga yang menurun dengan sangat cepat pada seminggu terakhir. Padahal 8-9 hari yang lalu masih bertahan cukup lama di kisaran 530 US$/Ton."
BACA: Darmin: Keadaan Mendesak, Pungutan Ekspor CPO Dinolkan
Darmin menuturkan, kondisi saat ini membutuhkan emergency measure untuk membantu harga di level petani. Adapun, mekanisme pungutan ekspor yang diputuskan oleh Komite Pengarah BPDP-KS adalah sebagai berikut:
Apabila menggunakan rata-rata di bulan November 2018 saja (hingga tanggal 23 November 2018), harga CPO memang berada di MYR 2047,53/ton. Atau jika dikonversi ke dolar Amerika Serikat (AS), harganya sekitar US$ 488,96/ton. Sudah berada di bawah level US$ 500/ton, yang artinya pungutan ekspor CPO dan turunannya memang akan digratiskan.
Selama ini, adanya pungutan ekspor di Indonesia telah membantu harga CPO made in Malaysia lebih kompetitif. Dengan adanya "pembebasan" pungutan ekspor di RI, produsen CPO di tanah air pun bisa berada di posisi yang lebih menguntungkan, atau minimal setara, dibandingkan dengan produsen di Malaysia.
Alhasil, situasi ini membuat ekspor CPO Malaysia akan semakin tertekan. Mau tidak mau, harga CPO kontrak acuan di Bursa Malaysia pun tenggelam semakin dalam pada perdagangan kemarin.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/hps) Next Article Senyum Bos CPO Kembali Lebar, Ada yang Bangkit Dari Kubur
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular