
Anomali Pergerakan Saham Tambang dan Agro
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
23 November 2018 13:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) bergerak seperti melawan arah arus atau seperti ada anomali. Paling mencolok adalah pada perdagangan dua sektor saham, pertambangan dan agribisnis, di mana harga saham dari kedua sektor tersebut terkoreksi saat harga minyak, batu bara, dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mengalami penurunan.
Indeks sektor pertambangan pada sesi I naik 0,99%, padahal harga minyak dunia dan batu baru sedang mengalami koreksi. Secara year to date kinerja indeks sektor pertambangan naik 8,19%.
Pada perdagangan hari ini Jumat (23/11/2018) hingga pukul 10.12 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Januari 2019 turun 1,47% ke level US$ 61,68/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis Light Sweet kontrak Januari 2019 amblas 2,76% ke level US$ 53,12/barel.
Harga minyak kembali terjun bebas pasca kemarin juga tertekan cukup signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Kamis (22/11/2018), harga Brent yang menjadi acuan di Eropa jeblok 1,39%. Dengan hari ini lanjut melemah dalam, harga minyak Benua Biru tersebut jatuh ke level terendahnya sejak awal Desember 2017.
Sementara, perdagangan minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) diliburkan kemarin menyusul perayaan Thanksgiving. Namun, dengan pergerakannya hari ini, harga Light Sweet kembali mendekati level terendahnya sejak akhir Oktober 2017.
Sentimen negatif masih membayangi pergerakan harga sang emas hitam pada hari ini, utamanya datang dari pasokan minyak mentah di pasar global yang masih cenderung oversupply. Selain itu, kemesraan Arab Saudi-AS pun masih menjadi pemberat pergerakan harga.
Demikian pula harga batu bara Newcastle turun tipis 0,05% ke US$ 102,4/ Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Kamis (22/11/2018). Harga batu bara masih bergerak belum jauh dari level terendahnya dalam 6 bulan terakhir.
Sejumlah sentimen negatif memang masih 'menghantui' harga komoditas ini. Dari mulai tingkat konsumsi China yang lemah hingga pemangkasan impor China. Meski demikian, masih naiknya impor batu bara China dan India secara mingguan masih menahan kejatuhan harga kemarin.
Meski sudah memasuki musim dingin, tingkat konsumsi batu bara masih cukup lemah di China. Mengutip China Coal Transport & Distribution, konsumsi batu bara di China bagian tengah dan selatan masih cukup lambat.
Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi. Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 5 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,59% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,06 juta ton.
Demikian pula dengan saham sektor agribisnis juga mengalami penguatan. Di mana harga indeks sektor ini naik 1,54% yang ditopang kenaikan harga saham-saham produsen CPO. Secara year to date indeks sektor agribisnis terkoreksi 11,21%.
2018 nampaknya menjadi tahun yang suram bagi komoditas minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Bagaimana tidak, harga CPO kontrak acuan di Bursa Derivatif Malaysia sudah amblas nyaris 20% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD).
Sempat menembus level MYR 2.600/ton pada awal Januari 2018, harga CPO kini harus susah payah bertahan di atas level MYR 2.000/ton. Pekan lalu, harga CPO malah sempat tergelincir ke bawah level MYR 2.000/ton, untuk pertama kalinya sejak awal September 2015.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Eropa tak ingin hitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Sayangnya, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
Hingga penutupan sesi I Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah tipis 0,06% ke level Rp 5.987,19. Kedua sektor ini menjadi penahan laju pelemahan IHSG.
[Gambas:Video CNBC]
(hps/wed) Next Article Saham Migas dan Batu Bara Babak Belur Diobral Investor
Indeks sektor pertambangan pada sesi I naik 0,99%, padahal harga minyak dunia dan batu baru sedang mengalami koreksi. Secara year to date kinerja indeks sektor pertambangan naik 8,19%.
Pada perdagangan hari ini Jumat (23/11/2018) hingga pukul 10.12 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Januari 2019 turun 1,47% ke level US$ 61,68/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis Light Sweet kontrak Januari 2019 amblas 2,76% ke level US$ 53,12/barel.
Harga minyak kembali terjun bebas pasca kemarin juga tertekan cukup signifikan. Pada penutupan perdagangan hari Kamis (22/11/2018), harga Brent yang menjadi acuan di Eropa jeblok 1,39%. Dengan hari ini lanjut melemah dalam, harga minyak Benua Biru tersebut jatuh ke level terendahnya sejak awal Desember 2017.
Sementara, perdagangan minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) diliburkan kemarin menyusul perayaan Thanksgiving. Namun, dengan pergerakannya hari ini, harga Light Sweet kembali mendekati level terendahnya sejak akhir Oktober 2017.
Sentimen negatif masih membayangi pergerakan harga sang emas hitam pada hari ini, utamanya datang dari pasokan minyak mentah di pasar global yang masih cenderung oversupply. Selain itu, kemesraan Arab Saudi-AS pun masih menjadi pemberat pergerakan harga.
Demikian pula harga batu bara Newcastle turun tipis 0,05% ke US$ 102,4/ Metrik Ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Kamis (22/11/2018). Harga batu bara masih bergerak belum jauh dari level terendahnya dalam 6 bulan terakhir.
Sejumlah sentimen negatif memang masih 'menghantui' harga komoditas ini. Dari mulai tingkat konsumsi China yang lemah hingga pemangkasan impor China. Meski demikian, masih naiknya impor batu bara China dan India secara mingguan masih menahan kejatuhan harga kemarin.
Meski sudah memasuki musim dingin, tingkat konsumsi batu bara masih cukup lemah di China. Mengutip China Coal Transport & Distribution, konsumsi batu bara di China bagian tengah dan selatan masih cukup lambat.
Hal ini dipertegas dengan stok batu bara yang memang masih berada di level yang tinggi. Menurut data China Coal Resource, stok batu bara pada 6 pembangkit listrik utama China meningkat dalam 5 pekan secara berturut-turut, ke level tertingginya sejak Januari 2015. Teranyar, stoknya meningkat 0,59% secara mingguan (week-to-week/WtW) ke level 17,06 juta ton.
Demikian pula dengan saham sektor agribisnis juga mengalami penguatan. Di mana harga indeks sektor ini naik 1,54% yang ditopang kenaikan harga saham-saham produsen CPO. Secara year to date indeks sektor agribisnis terkoreksi 11,21%.
2018 nampaknya menjadi tahun yang suram bagi komoditas minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Bagaimana tidak, harga CPO kontrak acuan di Bursa Derivatif Malaysia sudah amblas nyaris 20% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD).
Sempat menembus level MYR 2.600/ton pada awal Januari 2018, harga CPO kini harus susah payah bertahan di atas level MYR 2.000/ton. Pekan lalu, harga CPO malah sempat tergelincir ke bawah level MYR 2.000/ton, untuk pertama kalinya sejak awal September 2015.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Eropa tak ingin hitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Sayangnya, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
Hingga penutupan sesi I Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah tipis 0,06% ke level Rp 5.987,19. Kedua sektor ini menjadi penahan laju pelemahan IHSG.
[Gambas:Video CNBC]
(hps/wed) Next Article Saham Migas dan Batu Bara Babak Belur Diobral Investor
Most Popular