
Ada Peluang Bunga The Fed Tak Naik, Bursa Saham Asia Menguat
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 November 2018 17:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia ditutup di zona hijau untuk mengawali pekan ini: indeks Nikkei naik 0,65%, indeks Shanghai naik 0,91%, indeks Hang Seng naik 0,72%, dan indeks Kospi naik 0,39%.
Memudarnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh Federal Reserve selaku bank sentral AS pada penghujung tahun ini memotori penguatan bursa saham Benua Kuning.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 18 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 67,2%, lebih rendah dari posisi tanggal 16 November 2018 yang sebesar 68,9%.
Jika dibandingkan dengan posisi satu minggu sebelumnya, nilainya turun lebih jauh. Sepekan yang lalu, probabilitasnya berada di level 75,8%.
Ada tiga hal utama yang membuat pelaku pasar tak yakin bahwa perekonomian AS masih 'sepanas' periode-periode sebelumnya, sehingga suku bunga acuan tak perlu dikerek pada Desember nanti. Pertama, komentar dari Gubernur Federal Reserve Jerome Powell.
Dalam sesi tanya jawab dalam sebuah acara di Dallas pada 14 November lalu, Powell mengakui bahwa perekonomian global tidak bertumbuhan dengan laju yang sama pada tahun sebelumnya. Ia menambahkan bahwa laju pertumbuhan ekonomian global secara perlahan melambat, walaupun itu bukan merupakan perlambatan yang parah.
Kedua, komentar dari Wakil Gubenur The Fed yang baru, Richard Clarida. Menurut Clarida, suku bunga acuan di AS sudah semakin mendekati titik netral, di mana suku bunga tidak lagi mendorong laju perekonomian maupun mengeremnya.
Lebih lanjut, dirinya menambahkan bahwa kenaikan suku bunga berikutnya sebaiknya lebih mengacu kepada data (data dependent) karena saat ini Federal Funds Rate (FFR) sudah semakin dekat ke target 2,5-3,5% yang disebut netral.
"Kami sudah dalam titik di mana harus benar-benar data dependent. Suku bunga kebijakan yang netral adalah sesuatu yang masuk akal," tutur Clarida.
Ketiga, data ekonomi terbaru yang dirilis di Negeri Paman Sam menunjukkan adanya kontraksi dari sisi produksi. Pada hari Jumat (16/11/2018), data pertumbuhan produksi industri periode Oktober 2018 diumumkan melemah sebesar 0,1% MoM, meleset dari konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,2% MoM, seperti dikutip dari Forex Factory.
Data produksi industri menghitung total perubahan output yang dihasilkan oleh industri manufaktur, pertambangan, dan utilitas. Data ini merupakan leading indicator dari perekonomian AS. Jika produksi dalam suatu periode mengalami kontraksi, maka kemungkinan besar tingkat konsumsi rumah tangga di periode berikutnya akan tertekan, mengingat konsumsi akan dipenuhi oleh produksi pada periode sebelumnya.
Di AS, konsumsi rumah tangga membentuk sekitar 70% dari total nilai perekonomian. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan melandai sehingga the Fed tak perlu repot-repot melakukan pengetatan.
Dengan perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif, tentu menjadi kabar baik jika The Fed menunda kenaikan suku bunga acuan pada bulan depan.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang baru saja berakhir gagal menghasilkan sebuah komunike untuk kali pertama dalam sejarah.
"Anda tahun dua raksasa (negara) di dalam ruangan," jawab Perdana Menteri Papua New Guinea Peter O'Neill ketika ditanya mana diantara 21 negara anggota APEC yang tidak bisa memberikan persetujuan, seperti dilansir dari Reuters.
O'Neill yang menjadi Ketua dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa permasalahan utama adalah terkait dimasukkannya World Trade Organization (WTO) dan kemungkinan reformasinya ke dalam deklarasi dari para pimpinan negara-negara anggota.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Alert! Bursa Saham Eropa 'Kebakaran'...
Memudarnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh Federal Reserve selaku bank sentral AS pada penghujung tahun ini memotori penguatan bursa saham Benua Kuning.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 18 November 2018, kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bps pada bulan Desember adalah sebesar 67,2%, lebih rendah dari posisi tanggal 16 November 2018 yang sebesar 68,9%.
Ada tiga hal utama yang membuat pelaku pasar tak yakin bahwa perekonomian AS masih 'sepanas' periode-periode sebelumnya, sehingga suku bunga acuan tak perlu dikerek pada Desember nanti. Pertama, komentar dari Gubernur Federal Reserve Jerome Powell.
Dalam sesi tanya jawab dalam sebuah acara di Dallas pada 14 November lalu, Powell mengakui bahwa perekonomian global tidak bertumbuhan dengan laju yang sama pada tahun sebelumnya. Ia menambahkan bahwa laju pertumbuhan ekonomian global secara perlahan melambat, walaupun itu bukan merupakan perlambatan yang parah.
Kedua, komentar dari Wakil Gubenur The Fed yang baru, Richard Clarida. Menurut Clarida, suku bunga acuan di AS sudah semakin mendekati titik netral, di mana suku bunga tidak lagi mendorong laju perekonomian maupun mengeremnya.
Lebih lanjut, dirinya menambahkan bahwa kenaikan suku bunga berikutnya sebaiknya lebih mengacu kepada data (data dependent) karena saat ini Federal Funds Rate (FFR) sudah semakin dekat ke target 2,5-3,5% yang disebut netral.
![]() |
Ketiga, data ekonomi terbaru yang dirilis di Negeri Paman Sam menunjukkan adanya kontraksi dari sisi produksi. Pada hari Jumat (16/11/2018), data pertumbuhan produksi industri periode Oktober 2018 diumumkan melemah sebesar 0,1% MoM, meleset dari konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 0,2% MoM, seperti dikutip dari Forex Factory.
Data produksi industri menghitung total perubahan output yang dihasilkan oleh industri manufaktur, pertambangan, dan utilitas. Data ini merupakan leading indicator dari perekonomian AS. Jika produksi dalam suatu periode mengalami kontraksi, maka kemungkinan besar tingkat konsumsi rumah tangga di periode berikutnya akan tertekan, mengingat konsumsi akan dipenuhi oleh produksi pada periode sebelumnya.
Di AS, konsumsi rumah tangga membentuk sekitar 70% dari total nilai perekonomian. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi dan inflasi akan melandai sehingga the Fed tak perlu repot-repot melakukan pengetatan.
Dengan perkembangan perang dagang AS-China yang tak positif, tentu menjadi kabar baik jika The Fed menunda kenaikan suku bunga acuan pada bulan depan.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang baru saja berakhir gagal menghasilkan sebuah komunike untuk kali pertama dalam sejarah.
"Anda tahun dua raksasa (negara) di dalam ruangan," jawab Perdana Menteri Papua New Guinea Peter O'Neill ketika ditanya mana diantara 21 negara anggota APEC yang tidak bisa memberikan persetujuan, seperti dilansir dari Reuters.
O'Neill yang menjadi Ketua dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa permasalahan utama adalah terkait dimasukkannya World Trade Organization (WTO) dan kemungkinan reformasinya ke dalam deklarasi dari para pimpinan negara-negara anggota.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Alert! Bursa Saham Eropa 'Kebakaran'...
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular