- Pasca membukukan penguatan selama 8 hari berturut-turut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkapar pada perdagangan hari ini.
Dari sejak perdagangan dibuka pagi tadi, tak sekalipun IHSG menyentuh zona hijau. Hingga akhir sesi 1, indeks melemah 1,45%, sementara pada akhir sesi 2, pelemahan melebar menjadi 1,72% ke level 5.874,15.
Anjloknya IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga berguguran: indeks Nikkei melemah 1,05%, indeks Shanghai melemah 1,39%, indeks Hang Seng melemah 2,39%, indeks Strait Times melemah 0,64%, dan indeks Kospi melemah 0,31%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,16 triliun dengan volume sebanyak 9,4 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 362.280 kali.
Sentimen negatif dari dalam dan luar negeri mengeroyok IHSG pada hari ini.
Dari sisi eksternal, tekanan datang dari hasil pertemuan the Federal Reserve yang diumumkan pada dini hari tadi. Walaupun tingkat suku bunga acuan tak diubah, the Fed memberi sinyal bahwa rencana normalisasi pada bulan Desember akan dieksekusi.
"Komite menilai bahwa kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Risiko dalam perekonomian masih seimbang," tulis pernyataan FOMC.
Padahal, the Fed sendiri mengakui bahwa laju investasi mulai melambat setelah melesat kencang sejak awal tahun. Hal ini mengindikasikan potensi perlambatan ekonomi di masa depan.
Jika suku bunga acuan tetap dinaikkan sementara nantinya laju perekonomian AS melambat, maka perlambatan yang terjadi bisa kian parah dan memukul perekonomian dunia.
Masih dari sisi eksternal, hasil dari midterm elections di AS membebani laju bursa saham Asia. Kini, posisi mayoritas di House of Representatives dipegang oleh Demokrat setelah sebelumnya dipegang oleh Republik, sementara Republik mempertahankan posisi mayoritasnya di Senate.
Dengan House of Representatives dikuasai oleh Demokrat, kebijakan-kebijakan pro pertumbuhan ekonomi seperti pemotongan tingkat pajak memang akan menjadi sulit untuk diloloskan. Sebagai informasi, sekitar 2 minggu menjelang midterm elections, Presiden AS Donald Trump menebar wacana untuk memangkas pajak penghasilan individu kelas menengah sebesar 10%.
Lebih lanjut, jika Trump berusaha mendongkrak perekonomian melalui belanja secara jor-joran, langkah ini kemungkinan besar juga akan dijegal oleh Demokrat. Pasalnya, defisit anggaran di Negeri Paman Sam sudah begitu tinggi. Pada tahun fiskal 2018, defisit anggaran di AS tercatat sebesar US$ 729 miliar, naik 17% dari posisi tahun fiskal 2017 dan merupakan yang terbesar sejak 2012.
(HALAMAN SELANJUTNYA)
Dari dalam negeri, penantian menjelang pengumuman data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal-III 2018 oleh Bank Indonesia (BI) membuat pelaku pasar grogi.
Pelaku pasar akan mencermati pos transaksi berjalan/current account. Pos transaksi berjalan sangatlah penting bagi pelaku pasar modal, bahkan bisa dibilang lebih penting dari NPI. Pasalnya, pos transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa yang lebih mampu menopang nilai tukar rupiah dalam jangka panjang karena tidak mudah berubah seperti arus modal portofolio.
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatatkan defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemungkinan besar, defisit pada kuartal III-2018 akan lebih dalam, seiring dengan defisit neraca perdagangan yang lebih dalam.
Sepanjang kuartal III-2018, neraca perdagangan mencatatkan defisit US$ 2,72 miliar. Pada kuartal-II 2018, defisitnya adalah sebesar US$ 1,37 miliar.
Bahkan, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sempat mengindikasikan bahwa CAD kuartal-III 2018 akan membengkak cukup signifikan dari capaian kuartal-II 2018.
"Kan masih ada Juli sama Agustus 2018. Yang memang masih tinggi. Utamanya di Migas. Kemarin defisit besar di migas. Apakah B20, kenaikan harga BBM. Di Kuartal III-2018 masih wajar kalau di atas 3%. Tapi perkiraan kami di Kuartal III-2018 tidak akan lebih dari 3,5%," papar Perry di Gedung BI, Jumat (26/10/2018).
Hingga sore hari, rupiah melemah sebesar 1% di pasar spot ke level Rp 14.680/dolar AS.
Seiring dengan pelemahan rupiah, saham-saham bank BUKU IV dilepas oleh investor: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) anjlok 3,67%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 3,19%, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) melemah 1,64%.
Indeks sektor jasa keuangan melemah sebesar 1,31%, menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar kedua bagi IHSG setelah barang konsumsi (-5,08%).
(HALAMAN SELANJUTNYA)
Terakhir, aturan baru dari Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait dengan penghitungan bobot saham-saham penghuni 2 indeks penting yakni LQ45 dan IDX30 membuat saham-saham barang konsumsi dilepas.
Mulai Februari 2019, BEI akan menggunakan metode free float adjusted index untuk menentukan bobot dari setiap saham penghuni indeks LQ45 dan IDX30. Definisi yang digunakan BEI terkait dengan free float adalah total saham scripless yang dimiliki oleh investor dengan kepemilikan kurang dari 5%.
Pada intinya, saham dengan free float yang rendah akan cenderung memiliki bobot yang rendah dalam indeks LQ45 dan IDX30. Sebaliknya, saham dengan free float yang tinggi akan cenderung memiliki bobot yang tinggi.
PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-10,29%) dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-4,67%) merupakan 2 saham yang terimbas secara signifikan dari implementasi aturan ini nantinya. Saat ini, HMSP memiliki bobot sebesar 11,12% dalam indeks IDX30. Nantinya, bobot HMSP akan anjlok menjadi hanya 2,36%.
Sementara itu, UNVR memiliki bobot sebesar 8,45% dalam indeks IDX30. Nantinya, bobot UNVR akan anjlok menjadi hanya 3,43%.