
Luka CAD dan Pelemahan Rupiah, Siap-siap Bunga Acuan Naik!
Wahyu Daniel, CNBC Indonesia
24 October 2018 10:15

Jakarta, CNBC Indonesia - "Bank Indonesia (BI) tone-nya tetap hawkish, meski menahan suku bunga."
Demikian pernyataan Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara semalam, saat menjelaskan soal hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate di 5,75%.
Mirza yang dalam 5 tahun jabatannya terus mengawal ketat nilai tukar rupiah yang trennya terus menurun ini memaparkan soal kondisi perekonomian global. Kondisi tersebut yang menjadi pertimbangan BI menahan suku bunga acuannya di bulan ini.
Dia mengatakan, meski BI menahan suku bunga acuannya bulan ini, bukan berarti ke depan bunga acuan tidak akan naik. Apalagi kondisi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal III-2018 diperkirakan bakal dalam kisaran 3-3,5%. Lebih tinggi dari kuartal II-2018 yang mencapai 3% dan kuartal I-2018 yang sebesar 2,16%.
Bila sampai akhir tahun CAD masih tinggi, tidak terbuka kemungkinan suku bunga acuan BI akan naik lagi. Kenaikan suku bunga acuan diharapkan bisa membuat Indonesia menarik di mata investor dan mau menanamkan uangnya di dalam negeri, sehingga CAD bisa ditekan.
Apalagi bank sentral AS, yaitu Federal Reserve (The Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuannya satu kali lagi di tahun ini.
"Sepertinya The Fed Desember akan menaikkan sekali, di 2019 sebanyak tiga kali, dan 2020 juga diperkirakan akan menaikkan satu kali," kata Mirza.
Soal CAD, Mirza menjelaskan, investor di pasar keuangan tidak menyukai negara yang transaksi berjalannya defisit. Karena itu, negara yang mengalami defisit transaksi berjalan cenderung melemah nilai mata uangnya.
"Di 2019, CAD kami perkirakan di kisaran 2,5%. Ini karena ada usaha pemerintah menekannya, seperti meningkatkan sektor pariwisata dan program B20," ujar Mirza.
Kondisi Ekonomi Terkini
Soal kondisi ekonomi Indonesia terkini, Mirza mengatakan, banyak negara yang pertumbuhan ekonominya melambat. "Hanya Amerika Serikat yang pertumbuhan ekonominya naik. China melambat, Eropa dan Jepang juga melambat. Demikian juga dengan banyak negara emerging market," papar Mirza.
Namun BI melihat, banyak yang memprediksi di 2019 dan 2020, pertumbuhan ekonomi AS akan lebih rendah. Meski bisa saja prediksi tersebut salah.
Untuk Indonesia, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2018 melambat ke 5,1%.
Mirza mengatakan, ekonomi kuartal III-2018 melemah pertumbuhannya karena turunnya harga sejumlah komoditas ekspor, seperti batu bara, nikel, tembaga, dan CPO.
Harga batu bara Indonesia turun karena permintaan dari China untuk batu bara kalori rendah asal Indonesia turun. Sementara harga nikel terkoreksi karena peningkatan pasokan dari Filipina dan Indonesia.
Lalu harga tembaga turun karena melambatnya permintaan China dan sentimen negatif perang dagang AS-China. Sementara harga CPO turun karena penghapusan bea ekspor CPO Malaysia sejak September 2018 dan proyeksi produksi soybean yang meningkat di 2019.
Melihat kondisi ini, Mirza mengatakan, BI berharap akan ada usaha yang serius di dalam negeri untuk bisa menekan CAD sehingga nilai mata uang rupiah bakal lebih kuat lagi ke depan.
(wed/dru) Next Article Live Report! Pengumuman Suku Bunga Acuan BI Juli 2019
Demikian pernyataan Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara semalam, saat menjelaskan soal hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate di 5,75%.
Mirza yang dalam 5 tahun jabatannya terus mengawal ketat nilai tukar rupiah yang trennya terus menurun ini memaparkan soal kondisi perekonomian global. Kondisi tersebut yang menjadi pertimbangan BI menahan suku bunga acuannya di bulan ini.
Bila sampai akhir tahun CAD masih tinggi, tidak terbuka kemungkinan suku bunga acuan BI akan naik lagi. Kenaikan suku bunga acuan diharapkan bisa membuat Indonesia menarik di mata investor dan mau menanamkan uangnya di dalam negeri, sehingga CAD bisa ditekan.
Apalagi bank sentral AS, yaitu Federal Reserve (The Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuannya satu kali lagi di tahun ini.
"Sepertinya The Fed Desember akan menaikkan sekali, di 2019 sebanyak tiga kali, dan 2020 juga diperkirakan akan menaikkan satu kali," kata Mirza.
Soal CAD, Mirza menjelaskan, investor di pasar keuangan tidak menyukai negara yang transaksi berjalannya defisit. Karena itu, negara yang mengalami defisit transaksi berjalan cenderung melemah nilai mata uangnya.
"Di 2019, CAD kami perkirakan di kisaran 2,5%. Ini karena ada usaha pemerintah menekannya, seperti meningkatkan sektor pariwisata dan program B20," ujar Mirza.
Kondisi Ekonomi Terkini
Soal kondisi ekonomi Indonesia terkini, Mirza mengatakan, banyak negara yang pertumbuhan ekonominya melambat. "Hanya Amerika Serikat yang pertumbuhan ekonominya naik. China melambat, Eropa dan Jepang juga melambat. Demikian juga dengan banyak negara emerging market," papar Mirza.
Namun BI melihat, banyak yang memprediksi di 2019 dan 2020, pertumbuhan ekonomi AS akan lebih rendah. Meski bisa saja prediksi tersebut salah.
Untuk Indonesia, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2018 melambat ke 5,1%.
Mirza mengatakan, ekonomi kuartal III-2018 melemah pertumbuhannya karena turunnya harga sejumlah komoditas ekspor, seperti batu bara, nikel, tembaga, dan CPO.
Harga batu bara Indonesia turun karena permintaan dari China untuk batu bara kalori rendah asal Indonesia turun. Sementara harga nikel terkoreksi karena peningkatan pasokan dari Filipina dan Indonesia.
Lalu harga tembaga turun karena melambatnya permintaan China dan sentimen negatif perang dagang AS-China. Sementara harga CPO turun karena penghapusan bea ekspor CPO Malaysia sejak September 2018 dan proyeksi produksi soybean yang meningkat di 2019.
Melihat kondisi ini, Mirza mengatakan, BI berharap akan ada usaha yang serius di dalam negeri untuk bisa menekan CAD sehingga nilai mata uang rupiah bakal lebih kuat lagi ke depan.
(wed/dru) Next Article Live Report! Pengumuman Suku Bunga Acuan BI Juli 2019
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular