Newsletter

Cermati Pengumuman Suku Bunga Acuan

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 October 2018 05:45
Cermati Pengumuman Suku Bunga Acuan
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatatkan penguatan tipis pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama menguat sangat terbatas. 

Kemarin, IHSG ditutup naik 0,05%. IHSG tidak mampu mencetak prestasi seperti indeks saham Asia lainnya yang menguat lebih tajam. Nikkei 225 menguat 0,37%, Shanghai Composite meoket 4,09%, Hang Seng lompat 2,32%, Kospi naik 0,25%, dan Straits Times bertambah 0,51%. 

Sentimen positif dari China menjadi pendorong bursa saham Benua Kuning. Pemerintah China berencana memotong tarif pajak pada tahun depan, langkah untuk mendorong kinerja perekonomian domestik. Nilai pemotongan tarif pajak ini diperkirakan mencapai 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.  

Sebagai catatan, PDB nominal China pada akhir 2018 diperkirakan sebesar US$ 13,2 triliiun (Rp 200.595 triliun). Satu persen dari angka itu adalah US$ 132 miliar (Rp 2.005 triliun). Wow. 

Ma Jun, Penasihat Bank Sentral China (PBoC) menyatakan stimulus pajak ini akan berdampak lebih besar ketimbang yang dilakukan AS. Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memberlakukan pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi orang pribadi dan badan usaha. Hasilnya sangat impresif, membuat perekonomian Negeri Paman Sam semakin kuat sehingga memaksa The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sejak awal tahun. 

Sentimen ini sukses menjadi pendorong laju bursa Shanghai dan Hong Kong, yang kemudian menular ke bursa saham Asia lainnya. Termasuk IHSG, meski hanya berakhir dengan penguatan tipis. 

Kinerja keuangan BMRI yang tak juga direspons positif membuat bursa saham dalam negeri tak bisa menguat terlalu banyak. Pada perdagangan kemarin, harga saham BMRI ditutup flat di Rp 6.450.  

Sepanjang kuartal-III 2018, bank pimpinan Kartika Wirjoatmodjo ini membukukan pendapatan bunga bersih/Net Interest Income (NII) sebesar Rp 13,9 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun Refinitiv yaitu Rp 13,6 triliun. Sementara itu, laba bersih tercatat sebesar Rp 5,9 triliun, di atas estimasi Rp 5,3 triliun.  

Ada kemungkinan, kenaikan harga saham BMRI yang sangat pesat tahun lalu membuat valuasinya berada di level yang relatif tinggi sehingga walaupun kinerja keuangannya positif, sahamnya tak menjadi buruan investor. Sepanjang tahun lalu, harga saham BMRI sudah meroket 38,2%. 


Sementara rupiah ditutup menguat 0,03% di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang mampu menguat. Mata uang lainnya tersapu gelombang penguatan dolar AS. 


Investor belum bisa jauh-jauh berpisah dari dolar AS. Sebab, awan hitam masih bergelayut di atas perekonomian global.

Jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom menyatakan aura pesimisme kini semakin nyata.
 Dari 44 negara yang dicakup dalam survei, perlambatan ekonomi diperkirakan terjadi di 18 negara. Sementara proyeksi untuk 23 negara lainnya tidak berubah dan hanya tiga negara yang diramal mengalami perbaikan ekonomi. 

Kondisi ini cukup jauh dibandingkan survei serupa pada awal tahun di mana 70% negara yang disurvei diperkirakan mengalami perbaikan ekonomi. Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia adalah perang dagang AS vs China. Kedua adalah keketatan likuiditas global dan ketiga adalah kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam. 

Berbagai risiko itu membuat pelaku pasar masih enggan mengambil risiko di instrumen berisiko di negara berkembang. Rupiah masih bisa menguat karena masih ada aliran dana di pasar obligasi negara. Maklum, harga instrumen ini sudah 'terbanting' sehingga masih menarik minat investor. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif di perdagangan perdana pekan ini. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,5%, S&P 500 melemah 0,43%, tetapi Nasdaq Composite bertambah 0,48%. 

Saham-saham energi jadi pemberat beban Wall Street. Indeks sektor energi di S&P 500 anjlok 1,09%.  

Emiten penyedia jasa migas Halliburton amblas 3,04% karena proyeksi yang suram. Pada kuartal IV-2018, perseroan memperkirakan laba per saham (Earnings per Share/EPS) adalah US$ 37-40 sen. Di bawah konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu US$ 49 sen, dan di bawah pencapaian kuartal III-2018 yaitu US$ 50 sen. 

Saham pesaing Halliburton Schlumberger NV, juga jatuh 2,84%. Sama seperti Halliburton, Schlumberger juga melihat ada tantangan pada kuartal IV-2018. 

"Pasar Amerika Utara berubah cukup cepat. Beberapa pelanggan utama tidak lagi menggunakan fracturing fleet hidrolik pada akhir tahun ini," kata Paal Kibsgaard, CEO Schlumberger. 

Selain itu, pelaku pasar di juga semakin konservatif bin hati-hati karena AS sudah semakin dekat ke pemilu sela yang akan berlangsung pada 6 November. Investor memilih wait and see, melihat dan menunggu ke mana arah politik Negeri Paman Sam. 

"Investor melihat saat ini banyak angin yang menerjang. Situasinya akan tetap seperti ini setidaknya sampai pemilihan sela. Akan sulit untuk melihat kenaikan, arahnya lebih ke melemah," tegas Alan Lancz, Presiden Alan B Lancz & Associates Inc, sebuah firma konsultan investasi yang berbasis di Ohio, seperti dikutip Reuters. 

Namun Nasdaq masih bisa finis di jalur hijau karena penguatan saham-saham teknologi. Investor tengah bersemangat menantikan rilis kinerja keuangan raksasa-raksasa teknologi yang diumumkan pekan ini yaitu Amazon dan Alphabet (induk usaha Google). Saham Amazon melesat 1,43% sementara Alphabet naik 0,56%. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang meski variatif tetapi cenderung merah. Virus koreksi Wall Street bisa saja menular sampai ke Asia, tidak terkecuali Indonesia. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang sepertinya mulai bangkit setelah kemarin seharian nyungsep. Dollar Index, yang menakar posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, menguat 0,34% pada pukul 04:37 WIB. 

Investor kembali berburu dolar AS setelah melihat ada risiko di Inggris. Seperti biasa, proses perceraian Inggris dari Uni Eropa (Brexit) masih berliku.

Isu yang masih mengganjal masih seputar wilayah kepabeanan di Irlandia Utara. Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan, sebagian besar poin Brexit sudah disepakati tetapi ada satu yang paling mengganjal yaitu masalah wilayah kepabeanan itu.

Uni Eopa ingin Irlandia Utara tetap masuk wilayah kepabeanan mereka, sementara Inggris meminta tidak ada pemeriksaan pabean. May pun mengusulkan dua opsi yaitu penerapan masa transisi dan pembentukan pabean ganda Inggris-Uni Eropa. 

Dengan waktu yang tersisa 5 bulan sebelum Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa, masih ada hambatan yang belum terselesaikan. Jika tidak ada kesepakatan alias no deal, Inggris harus bersiap dengan konsekuensi sulit berdagang dengan negara lain di Eropa Kontinental. 

Deadlock proses Brexit ini menciptakan ketidakpastian bagi pelaku pasar. Oleh karena itu, investor lagi-lagi dipaksa bermain aman dengan mengoleksi dolar AS. Mata uang ini menjadi semakin kuat dan bukan kabar gembira buat rupiah dan IHSG. 


Sentimen ketiga, masih terkait geopolitik global, adalah ketegangan hubungan AS- Arab Saudi. Ketegangan ini adalah buntut dari tewasnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). 

Riyadh mengklaim bahwa Khashoggi meninggal dunia setelah terlibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15. Namun Trump tidak mempercayai alasan itu. 

"Saya tidak puas dengan apa yang saya dengar. Saya tidak ingin kehilangan investasi di sana, tetapi kami akan mengusut kasus ini sampai tuntas," tegas Trump kepada wartawan di Gedung Putih, mengutip Reuters. 

Investasi yang dimaksud Trump adalah penjualan senjata. Tahun lalu, Arab Saudi berkomitmen membeli senjata dari AS senilai US$ 110 miliar. 

Media-media di Turki memberitakan bahwa aparat memiliki bukti rekaman audio kala Khasshogi disiksa di kantor konsulat. Bahkan ada dugaan Khasshogi dimutilasi di sana. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dikabarkan akan memberikan penjelasan dalam waktu dekat. 

"Kami akan sangat berhati-hati agar tidak ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Kebenaran akan terungkap. Kita semua menghadapi situasi yang sudah direncanakan dan kemudian coba ditutupi. Ini adalah kasus pembunuhan yang rumit," tutur Omer Celik, Juru Bicara Partai AK yang dipimpin Erdogan. 

Tidak hanya AS, negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Belanda, sampai Inggris juga mendesak Arab Saudi untuk segera menuntaskan kasus ini. Arab Saudi pun berjanji tidak akan membalas tekanan ini dengan memblokade pasokan minyak kepada negara-negara Barat. Kebijakan embargo ini pernah dilakukan pada 1973 karena dukungan Barat kepada Israel dalam perang melawan Mesir. 

"Tidak ada niat sampai ke sana. Sudah beberapa dekade ini kami menggunakan minyak sebagai instrumen ekonomi dan terpisah dari unsur politik," tegas Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters. 

Meski sampai saat ini Arab Saudi cukup kooperatif, tetapi tekanan demi tekanan bisa saja membuat kesabaran mereka habis. Jika itu itu terjadi, maka situasi di Timur Tengah menjadi tidak kondusif dan tentu saja mempengaruhi harga minyak dunia. Apalagi kalau sampai jatuh sanksi dari negara-negara Barat, situasi akan menjadi kian pelik. 

Pada saat seperti ini, tentu investor kembali memilih bermain aman. Lagi-lagi dolar AS bakal mendapat keuntungan. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Pelaku pasar memperkirakan Perry Warjiyo dan sejawat akan mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 5,75%.


Inflasi domestik yang terkendali dan penurunan harga minyak menjadi alasan mengapa BI belum perlu menaikkan suku bunga acuan. Aliran modal masih masuk ke Indonesia (terutama di pasar obligasi) sehingga tekanan terhadap rupiah belum bertambah. 

Namun tetap ada suara agar BI menyesuaikan suku bunga acuan karena ke depan tekanan terhadap rupiah tetap tinggi. Harga minyak berpotensi naik menyusul kian dekatnya sanksi AS kepada Iran, yang dijawadwalkan berlaku 4 November. Artinya defisit neraca migas Indonesia berpotensi membengkak dan menekan rupiah karena tingginya kebutuhan impor. 

Kemudian The Federal Reserve/The Fed kemungkinan besar akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin pada 19 Desember adalah 78,8%. 

Oleh karena itu, sebagian pelaku pasar menilai BI perlu ahead the curve dan mencuri start dengan menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini. Dengan begitu, rupiah punya amunisi lebih untuk menghadapi tantangan ke depan. 

Apakah BI akan menahan atau menaikkan suku bunga bisa terjawab siang ini. Pelaku pasar hanya perlu menunggu dan kemudian mencerna hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Pengumuman BI 7 Day Reverse Repo Rate (14:00 WIB).
  • Rilis pembacaan akhir data inflasi zona Eropa (Eurozone) periode Februari 2018 (17:00). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (September 2018)US$ 114.8 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular