
Newsletter
Cermati Pengumuman Suku Bunga Acuan
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 October 2018 05:45

Sentimen ketiga, masih terkait geopolitik global, adalah ketegangan hubungan AS- Arab Saudi. Ketegangan ini adalah buntut dari tewasnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).
Riyadh mengklaim bahwa Khashoggi meninggal dunia setelah terlibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15. Namun Trump tidak mempercayai alasan itu.
"Saya tidak puas dengan apa yang saya dengar. Saya tidak ingin kehilangan investasi di sana, tetapi kami akan mengusut kasus ini sampai tuntas," tegas Trump kepada wartawan di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Investasi yang dimaksud Trump adalah penjualan senjata. Tahun lalu, Arab Saudi berkomitmen membeli senjata dari AS senilai US$ 110 miliar.
Media-media di Turki memberitakan bahwa aparat memiliki bukti rekaman audio kala Khasshogi disiksa di kantor konsulat. Bahkan ada dugaan Khasshogi dimutilasi di sana. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dikabarkan akan memberikan penjelasan dalam waktu dekat.
"Kami akan sangat berhati-hati agar tidak ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Kebenaran akan terungkap. Kita semua menghadapi situasi yang sudah direncanakan dan kemudian coba ditutupi. Ini adalah kasus pembunuhan yang rumit," tutur Omer Celik, Juru Bicara Partai AK yang dipimpin Erdogan.
Tidak hanya AS, negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Belanda, sampai Inggris juga mendesak Arab Saudi untuk segera menuntaskan kasus ini. Arab Saudi pun berjanji tidak akan membalas tekanan ini dengan memblokade pasokan minyak kepada negara-negara Barat. Kebijakan embargo ini pernah dilakukan pada 1973 karena dukungan Barat kepada Israel dalam perang melawan Mesir.
"Tidak ada niat sampai ke sana. Sudah beberapa dekade ini kami menggunakan minyak sebagai instrumen ekonomi dan terpisah dari unsur politik," tegas Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Meski sampai saat ini Arab Saudi cukup kooperatif, tetapi tekanan demi tekanan bisa saja membuat kesabaran mereka habis. Jika itu itu terjadi, maka situasi di Timur Tengah menjadi tidak kondusif dan tentu saja mempengaruhi harga minyak dunia. Apalagi kalau sampai jatuh sanksi dari negara-negara Barat, situasi akan menjadi kian pelik.
Pada saat seperti ini, tentu investor kembali memilih bermain aman. Lagi-lagi dolar AS bakal mendapat keuntungan.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Pelaku pasar memperkirakan Perry Warjiyo dan sejawat akan mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 5,75%.
Inflasi domestik yang terkendali dan penurunan harga minyak menjadi alasan mengapa BI belum perlu menaikkan suku bunga acuan. Aliran modal masih masuk ke Indonesia (terutama di pasar obligasi) sehingga tekanan terhadap rupiah belum bertambah.
Namun tetap ada suara agar BI menyesuaikan suku bunga acuan karena ke depan tekanan terhadap rupiah tetap tinggi. Harga minyak berpotensi naik menyusul kian dekatnya sanksi AS kepada Iran, yang dijawadwalkan berlaku 4 November. Artinya defisit neraca migas Indonesia berpotensi membengkak dan menekan rupiah karena tingginya kebutuhan impor.
Kemudian The Federal Reserve/The Fed kemungkinan besar akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin pada 19 Desember adalah 78,8%.
Oleh karena itu, sebagian pelaku pasar menilai BI perlu ahead the curve dan mencuri start dengan menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini. Dengan begitu, rupiah punya amunisi lebih untuk menghadapi tantangan ke depan.
Apakah BI akan menahan atau menaikkan suku bunga bisa terjawab siang ini. Pelaku pasar hanya perlu menunggu dan kemudian mencerna hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG).
(aji/aji)
Riyadh mengklaim bahwa Khashoggi meninggal dunia setelah terlibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15. Namun Trump tidak mempercayai alasan itu.
"Saya tidak puas dengan apa yang saya dengar. Saya tidak ingin kehilangan investasi di sana, tetapi kami akan mengusut kasus ini sampai tuntas," tegas Trump kepada wartawan di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Investasi yang dimaksud Trump adalah penjualan senjata. Tahun lalu, Arab Saudi berkomitmen membeli senjata dari AS senilai US$ 110 miliar.
Media-media di Turki memberitakan bahwa aparat memiliki bukti rekaman audio kala Khasshogi disiksa di kantor konsulat. Bahkan ada dugaan Khasshogi dimutilasi di sana. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dikabarkan akan memberikan penjelasan dalam waktu dekat.
"Kami akan sangat berhati-hati agar tidak ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Kebenaran akan terungkap. Kita semua menghadapi situasi yang sudah direncanakan dan kemudian coba ditutupi. Ini adalah kasus pembunuhan yang rumit," tutur Omer Celik, Juru Bicara Partai AK yang dipimpin Erdogan.
Tidak hanya AS, negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Belanda, sampai Inggris juga mendesak Arab Saudi untuk segera menuntaskan kasus ini. Arab Saudi pun berjanji tidak akan membalas tekanan ini dengan memblokade pasokan minyak kepada negara-negara Barat. Kebijakan embargo ini pernah dilakukan pada 1973 karena dukungan Barat kepada Israel dalam perang melawan Mesir.
"Tidak ada niat sampai ke sana. Sudah beberapa dekade ini kami menggunakan minyak sebagai instrumen ekonomi dan terpisah dari unsur politik," tegas Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Meski sampai saat ini Arab Saudi cukup kooperatif, tetapi tekanan demi tekanan bisa saja membuat kesabaran mereka habis. Jika itu itu terjadi, maka situasi di Timur Tengah menjadi tidak kondusif dan tentu saja mempengaruhi harga minyak dunia. Apalagi kalau sampai jatuh sanksi dari negara-negara Barat, situasi akan menjadi kian pelik.
Pada saat seperti ini, tentu investor kembali memilih bermain aman. Lagi-lagi dolar AS bakal mendapat keuntungan.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Pelaku pasar memperkirakan Perry Warjiyo dan sejawat akan mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 5,75%.
Inflasi domestik yang terkendali dan penurunan harga minyak menjadi alasan mengapa BI belum perlu menaikkan suku bunga acuan. Aliran modal masih masuk ke Indonesia (terutama di pasar obligasi) sehingga tekanan terhadap rupiah belum bertambah.
Namun tetap ada suara agar BI menyesuaikan suku bunga acuan karena ke depan tekanan terhadap rupiah tetap tinggi. Harga minyak berpotensi naik menyusul kian dekatnya sanksi AS kepada Iran, yang dijawadwalkan berlaku 4 November. Artinya defisit neraca migas Indonesia berpotensi membengkak dan menekan rupiah karena tingginya kebutuhan impor.
Kemudian The Federal Reserve/The Fed kemungkinan besar akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin pada 19 Desember adalah 78,8%.
Oleh karena itu, sebagian pelaku pasar menilai BI perlu ahead the curve dan mencuri start dengan menaikkan suku bunga acuan pada bulan ini. Dengan begitu, rupiah punya amunisi lebih untuk menghadapi tantangan ke depan.
Apakah BI akan menahan atau menaikkan suku bunga bisa terjawab siang ini. Pelaku pasar hanya perlu menunggu dan kemudian mencerna hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG).
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular