4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Inflasi Terkendali Atau Daya Beli Lemah?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 October 2018 13:19

Kesimpulannya, meski inflasi secara umum terjaga, pemerintah tidak bisa berpuas diri. Percuma inflasi rendah tapi gara-gara daya beli masyarakat tertekan. Sayangnya, ikhtiar pemerintah untuk menjaga konsumsi rumah tangga akan menemui jalan terkal di tahun ini.
Setidaknya, ada tiga tembok besar yang akan menjadi tantangan pemerintah dalam menjaga daya beli ke depannya.
Pertama, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sejak April, suku bunga acuan sudah dikerek naik sebesar 150 basis poin (bps). Kemungkinan naiknya BI 7-Days (Reverse) Repo Rate ke depan bahkan masih terbuka lebar. Pasalnya, The Federal Reserve/The Fed masih berada dalam tahap pengetatan moneter.
Kenaikan suku bunga acuan lantas dikhawatirkan akan memukul kredit konsumsi, meski BI sendiri sudah memberikan relaksasi rasio Loan to Value (LTV) properti.
Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah yang persisten. Nilai tukar rupiah terdepresiasi nyaris 11% terhadap dolar AS di sepanjang tahun ini, hingga sempat menyentuh angka Rp 15.230/US$ pada pertengahan Oktober 2018.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Agustus 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 11,14% YoY.
Alhasil, biaya produksi perusahaan pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen. Hal ini dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat lebih jauh lagi.
Ketiga, naiknya harga minyak dunia. Harga minyak jenis brent tercatat melonjak nyaris 20% di sepanjang tahun ini. Harganya bahkan sudah menembus level US$80/barel, tertinggi sejak akhir 2014. Kenaikan harga minyak dunia jelas akan berdampak pada naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.
Per 10 Oktober 2018 saja, Pertamina menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018. Memang, sejauh ini harga BBM bersubsidi (solar) dan BBM Premium, masih tidak diperbolehkan naik oleh pemerintah. Malah, pasokan BBM Premium yang semula dibatasi, kini sudah dibuka lagi ke Jawa-Madura-Bali (Jamali).
Namun, melihat kondisi fiskal negara, defisit perdagangan migas yang parah, plus kondisi keuangan Pertamina, bukan tidak mungkin pemerintah berubah pikiran.
Belum lama ini, pemerintah sudah mencetuskan rencana kenaikan harga BBM Premium, meski sejam kemudian langsung diralat oleh pemerintah sendiri.
Jika, kenaikan harga minyak dunia semakin menjadi-jadi, nampaknya bukan tidak mungkin harga BBM dalam negeri juga akhirnya terpaksa dikerek naik (termasuk BBM bersubsidi). Alhasil, konsumsi masyarakat yang menjadi taruhannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA) (RHG/RHG)
Setidaknya, ada tiga tembok besar yang akan menjadi tantangan pemerintah dalam menjaga daya beli ke depannya.
Pertama, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sejak April, suku bunga acuan sudah dikerek naik sebesar 150 basis poin (bps). Kemungkinan naiknya BI 7-Days (Reverse) Repo Rate ke depan bahkan masih terbuka lebar. Pasalnya, The Federal Reserve/The Fed masih berada dalam tahap pengetatan moneter.
Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah yang persisten. Nilai tukar rupiah terdepresiasi nyaris 11% terhadap dolar AS di sepanjang tahun ini, hingga sempat menyentuh angka Rp 15.230/US$ pada pertengahan Oktober 2018.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Agustus 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 11,14% YoY.
Alhasil, biaya produksi perusahaan pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen. Hal ini dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat lebih jauh lagi.
Ketiga, naiknya harga minyak dunia. Harga minyak jenis brent tercatat melonjak nyaris 20% di sepanjang tahun ini. Harganya bahkan sudah menembus level US$80/barel, tertinggi sejak akhir 2014. Kenaikan harga minyak dunia jelas akan berdampak pada naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.
Per 10 Oktober 2018 saja, Pertamina menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018. Memang, sejauh ini harga BBM bersubsidi (solar) dan BBM Premium, masih tidak diperbolehkan naik oleh pemerintah. Malah, pasokan BBM Premium yang semula dibatasi, kini sudah dibuka lagi ke Jawa-Madura-Bali (Jamali).
Namun, melihat kondisi fiskal negara, defisit perdagangan migas yang parah, plus kondisi keuangan Pertamina, bukan tidak mungkin pemerintah berubah pikiran.
Belum lama ini, pemerintah sudah mencetuskan rencana kenaikan harga BBM Premium, meski sejam kemudian langsung diralat oleh pemerintah sendiri.
Jika, kenaikan harga minyak dunia semakin menjadi-jadi, nampaknya bukan tidak mungkin harga BBM dalam negeri juga akhirnya terpaksa dikerek naik (termasuk BBM bersubsidi). Alhasil, konsumsi masyarakat yang menjadi taruhannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA) (RHG/RHG)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular