4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Inflasi Terkendali Atau Daya Beli Lemah?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 October 2018 13:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi menjadi salah satu indikator ekonomi yang mungkin paling bisa dibanggakan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam 4 tahun terakhir.
Bagaimana tidak, di Desember 2014 atau 2 bulan setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden ke-7 RI, inflasi tercatat sebesar 8,36% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Nyaris 4 tahun setelahnya, atau tepatnya pada September 2018, inflasi sudah menurun drastis hingga mencapai 2,88% YoY. Pada Agustus 2016, tingkat inflasi bahkan "hanya" sebesar 2,79% YoY, atau mencapai level terendahnya dalam 7 tahun terakhir.
Secara sederhana inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.
Inflasi yang diukur di Indonesia dikelompokkan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan The Classification of Individual Consumption by Purpose/COICOP). Lantas bagaimana perkembangan inflasi untuk tiap kelompok dalam 4 tahun terakhir?
Nyaris semua kelompok pengeluaran mengalami penurunan tingkat inflasi, dipimpin oleh kelompok transportasi/komunikasi yang turun dari 12,14% (2014) ke 1,03 (2018 hingga September).
Capaian itu disusul bahan makanan yang turun dari 10,57% (2014) ke 1,54% (2018 hingga September). Pada tahun 2017, inflasi kelompok ini malah lebih rendah lagi, yakni sebesar 1,26%.
Apabila disandingkan dengan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia (BI), harga sejumlah bahan makanan yang termasuk ke dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL) memang sangat terkendali, setidaknya dalam 2 tahun terakhir.
Malahan sepanjang tahun 2018 (hingga 18 Oktober), seluruh item bahan makanan yang masuk ke dalam KHL mengalami penurunan. Penurunan harga terbesar dibukukan oleh item telur ayam ras (-13,59%), disusul oleh item gula pasir dan minyak goreng curah masing-masing sebesar 4,72% dan 4,96%.
Terkendalinya harga bahan pangan tak pelak membuat inflasi komponen makanan bergejolak (volatile food) bertransformasi dari nyaris 11% di tahun 2014, menjadi 0,71% di tahun 2017. Nilai di tahun lalu itu menjadi yang paling kecil di antara dua komponen lainnya, inflasi inti (2,95%) dan harga yang diatur pemerintah (8,70%).
Di tahun ini (hingga September), inflasi volatile food juga relatif masih terkendali di kisaran 1,41%. Pengendalian harga pangan lantas menjadi milestone yang membanggakan selama 4 tahun pemerintahan Jokowi.
(NEXT)
Meski demikian, inflasi rendah juga bisa dipandang dari kacamata yang lain. Penurunan inflasi bisa menjadi pertanda melemahnya daya beli/konsumsi masyarakat. Untuk mengonfirmasi hal tersebut, kita perlu memerhatikan komponen inflasi inti.
Seperti diketahui, inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya.
Inflasi inti di sepanjang tahun 2018 (hingga bulan September) tercatat 2,38%, menurun cukup dalam dari 2,95% di tahun 2017. Bahkan, jika diperhatikan lebih jauh, inflasi inti ternyata konsisten menurun sejak tahun 2013 lampau.
Melambatnya inflasi inti bisa jadi didorong oleh konsumsi masyarakat yang mulai tertekan. Permintaan yang cenderung lemah mengakibatkan produsen tidak bisa menaikkan harga (malah terpaksa menurunkan harga). Sehingga, inflasi inti pun cenderung terus melambat.
Lemahnya kosumsi masyarakat sebenarnya memang cukup kentara, khususnya dalam 2 tahun terakhir. Sejak kuartal III-2016, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga sudah tidak bisa lagi menyentuh angka 5% YoY. Padahal, pada rentang 2012-2014, pertumbuhannya konsisten di atas 5%.
Baru pada kuartal II-2018, konsumsi rumah tangga mampu melesat ke 5,14% YoY. Tapi itupun diperkirakan karena adanya suntikan gaji ke-13 plus Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang juga dibalut dengan nuansa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Artinya, besar peluang bahwa kenaikan ini hanya bersifat one-shot.
Indikator lainnya yang bisa dicermati adalah penjualan ritel di Indonesia. Sejak memasuki 2017, penjualan ritel sudah tidak mampu lagi mencatat pertumbuhan 2 digit. Bahkan pada Juli 2017 dan Januari 2018, pertumbuhannya sempat mengalami konstraksi masing-masing sebesar 3,3% YoY dan 1,8% YoY.
Mengapa konsumsi rumah tangga, yang sejatinya merupakan kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, justru cenderung lesu dalam 2 tahun terakhir? Setidaknya, ada dua alasan utama yang menyebabkan situasi tersebut.
Pertama, pencabutan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA yang termasuk golongan mampu. Sejak keluarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), tarif listrik untuk golongan 900 VA rumah tangga akhirnya naik sebanyak tiga tahap dengan durasi 2 bulan sekali.
Tahap pertama 1 Januari 2017, Kementerian ESDM mematok harga Rp791 per kilowatt-hour (KWh), Kedua Rp Rp1.034/ KWh pada 1 Maret 2017, dan Rp1.352/ KWh per 1 Mei 2017. Lalu, mulai 1 Juli 2017, pelanggan rumah tangga mampu 900 VA itu akan dikenakan penyesuaian tarif keekonomian setiap bulan seperti 12 golongan tarif non-subsidi lainnya.
Pencabutan subsidi tersebut akan membuat tarif listrik semakin mahal. Akibatnya, masyarakat lebih berhati-hati saat mengeluarkan kocek mereka. Ujung-ujungnya aktivitas konsumsi dan belanja turun secara signifikan.
Kedua, turunnya kesejahteraan petani. Bisa dibilang hal ini menjadi salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi dalam 4 tahun terakhir. Slogan Jokowi untuk 'memuliakan petani' kian terdengar 'jauh panggang dari api'.
Memasuki masa pemerintahan Jokowi, Nilai Tukar Petani (NTP) cenderung mengalami penurunan. Sebagai informasi, NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani atas produk pertanian mereka, dengan indeks harga yang dibayar petani untuk membeli kebutuhan pokoknya.
NTP menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani, dengan melihat tingkat daya beli mereka di perdesaan. Semakin tinggi NTP, makin tinggi pula daya beli petani dan secara relatif menunjukkan kenaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi (2015), secara rata-rata NTP turun cukup drastis ke angka 101,6, dari tahun sebelumnya sebesar 102,03. Capaian NTP kemudian tak kunjung membaik pada tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, NTP malah jeblok lebih dalam lagi, ke angka 101,28.
Pada tahun lalu, anjloknya NTP tidak lepas dari NTP sub-sektor tanaman pangan yang jatuh ke angka 98,49. Nilai di bawah 100 mengindikasikan pendapatan petani beras cs masih kalah dari pengeluaran untuk kebutuhan pokoknya. Senada dengan itu, NTP sektor perkebunan juga mentok di angka 98,91 di tahun 2017.
Baru pada 2018, terlihat adanya perbaikan. Hingga bulan September 2018, NTP berada di angka 102,35 secara rata-rata. Meskipun tahun ini masih tersisa 3 bulan lagi, upaya pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan petani perlu diapresiasi.
Hanya saja, “lengahnya” pemerintahan Jokowi terhadap kesejahteraan petani di 3 tahun awal, mau tidak mau telah menyebabkan konsumsi masyarakat tertekan. Apa hubungannya? Jelas ada.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2018 menyebutkan sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian, yaitu mencapai 30,46%. Ini menduduki posisi pertama, disusul perdagangan (18,53%) dan industri pengolahan (14,11%).
Kala pendapatan mayoritas pekerja di Indonesia terganggu, maka konsumsi secara keseluruhan tentu akan terganggu. Ini yang menyebabkan konsumsi belum bisa tumbuh lebih cepat pada 3 tahun terakhir, karena ada masalah di sektor pertanian. (NEXT)
Kesimpulannya, meski inflasi secara umum terjaga, pemerintah tidak bisa berpuas diri. Percuma inflasi rendah tapi gara-gara daya beli masyarakat tertekan. Sayangnya, ikhtiar pemerintah untuk menjaga konsumsi rumah tangga akan menemui jalan terkal di tahun ini.
Setidaknya, ada tiga tembok besar yang akan menjadi tantangan pemerintah dalam menjaga daya beli ke depannya.
Pertama, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sejak April, suku bunga acuan sudah dikerek naik sebesar 150 basis poin (bps). Kemungkinan naiknya BI 7-Days (Reverse) Repo Rate ke depan bahkan masih terbuka lebar. Pasalnya, The Federal Reserve/The Fed masih berada dalam tahap pengetatan moneter.
Kenaikan suku bunga acuan lantas dikhawatirkan akan memukul kredit konsumsi, meski BI sendiri sudah memberikan relaksasi rasio Loan to Value (LTV) properti.
Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah yang persisten. Nilai tukar rupiah terdepresiasi nyaris 11% terhadap dolar AS di sepanjang tahun ini, hingga sempat menyentuh angka Rp 15.230/US$ pada pertengahan Oktober 2018.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Agustus 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 11,14% YoY.
Alhasil, biaya produksi perusahaan pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen. Hal ini dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat lebih jauh lagi.
Ketiga, naiknya harga minyak dunia. Harga minyak jenis brent tercatat melonjak nyaris 20% di sepanjang tahun ini. Harganya bahkan sudah menembus level US$80/barel, tertinggi sejak akhir 2014. Kenaikan harga minyak dunia jelas akan berdampak pada naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.
Per 10 Oktober 2018 saja, Pertamina menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018. Memang, sejauh ini harga BBM bersubsidi (solar) dan BBM Premium, masih tidak diperbolehkan naik oleh pemerintah. Malah, pasokan BBM Premium yang semula dibatasi, kini sudah dibuka lagi ke Jawa-Madura-Bali (Jamali).
Namun, melihat kondisi fiskal negara, defisit perdagangan migas yang parah, plus kondisi keuangan Pertamina, bukan tidak mungkin pemerintah berubah pikiran.
Belum lama ini, pemerintah sudah mencetuskan rencana kenaikan harga BBM Premium, meski sejam kemudian langsung diralat oleh pemerintah sendiri.
Jika, kenaikan harga minyak dunia semakin menjadi-jadi, nampaknya bukan tidak mungkin harga BBM dalam negeri juga akhirnya terpaksa dikerek naik (termasuk BBM bersubsidi). Alhasil, konsumsi masyarakat yang menjadi taruhannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Utang yang Menggunung & Asing yang Kian Dimanja
Bagaimana tidak, di Desember 2014 atau 2 bulan setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden ke-7 RI, inflasi tercatat sebesar 8,36% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Nyaris 4 tahun setelahnya, atau tepatnya pada September 2018, inflasi sudah menurun drastis hingga mencapai 2,88% YoY. Pada Agustus 2016, tingkat inflasi bahkan "hanya" sebesar 2,79% YoY, atau mencapai level terendahnya dalam 7 tahun terakhir.
Inflasi yang diukur di Indonesia dikelompokkan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan The Classification of Individual Consumption by Purpose/COICOP). Lantas bagaimana perkembangan inflasi untuk tiap kelompok dalam 4 tahun terakhir?
Nyaris semua kelompok pengeluaran mengalami penurunan tingkat inflasi, dipimpin oleh kelompok transportasi/komunikasi yang turun dari 12,14% (2014) ke 1,03 (2018 hingga September).
Capaian itu disusul bahan makanan yang turun dari 10,57% (2014) ke 1,54% (2018 hingga September). Pada tahun 2017, inflasi kelompok ini malah lebih rendah lagi, yakni sebesar 1,26%.
Apabila disandingkan dengan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia (BI), harga sejumlah bahan makanan yang termasuk ke dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL) memang sangat terkendali, setidaknya dalam 2 tahun terakhir.
Malahan sepanjang tahun 2018 (hingga 18 Oktober), seluruh item bahan makanan yang masuk ke dalam KHL mengalami penurunan. Penurunan harga terbesar dibukukan oleh item telur ayam ras (-13,59%), disusul oleh item gula pasir dan minyak goreng curah masing-masing sebesar 4,72% dan 4,96%.
Terkendalinya harga bahan pangan tak pelak membuat inflasi komponen makanan bergejolak (volatile food) bertransformasi dari nyaris 11% di tahun 2014, menjadi 0,71% di tahun 2017. Nilai di tahun lalu itu menjadi yang paling kecil di antara dua komponen lainnya, inflasi inti (2,95%) dan harga yang diatur pemerintah (8,70%).
Di tahun ini (hingga September), inflasi volatile food juga relatif masih terkendali di kisaran 1,41%. Pengendalian harga pangan lantas menjadi milestone yang membanggakan selama 4 tahun pemerintahan Jokowi.
(NEXT)
Meski demikian, inflasi rendah juga bisa dipandang dari kacamata yang lain. Penurunan inflasi bisa menjadi pertanda melemahnya daya beli/konsumsi masyarakat. Untuk mengonfirmasi hal tersebut, kita perlu memerhatikan komponen inflasi inti.
Seperti diketahui, inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya.
Inflasi inti di sepanjang tahun 2018 (hingga bulan September) tercatat 2,38%, menurun cukup dalam dari 2,95% di tahun 2017. Bahkan, jika diperhatikan lebih jauh, inflasi inti ternyata konsisten menurun sejak tahun 2013 lampau.
Melambatnya inflasi inti bisa jadi didorong oleh konsumsi masyarakat yang mulai tertekan. Permintaan yang cenderung lemah mengakibatkan produsen tidak bisa menaikkan harga (malah terpaksa menurunkan harga). Sehingga, inflasi inti pun cenderung terus melambat.
Lemahnya kosumsi masyarakat sebenarnya memang cukup kentara, khususnya dalam 2 tahun terakhir. Sejak kuartal III-2016, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga sudah tidak bisa lagi menyentuh angka 5% YoY. Padahal, pada rentang 2012-2014, pertumbuhannya konsisten di atas 5%.
Baru pada kuartal II-2018, konsumsi rumah tangga mampu melesat ke 5,14% YoY. Tapi itupun diperkirakan karena adanya suntikan gaji ke-13 plus Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang juga dibalut dengan nuansa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Artinya, besar peluang bahwa kenaikan ini hanya bersifat one-shot.
Indikator lainnya yang bisa dicermati adalah penjualan ritel di Indonesia. Sejak memasuki 2017, penjualan ritel sudah tidak mampu lagi mencatat pertumbuhan 2 digit. Bahkan pada Juli 2017 dan Januari 2018, pertumbuhannya sempat mengalami konstraksi masing-masing sebesar 3,3% YoY dan 1,8% YoY.
Mengapa konsumsi rumah tangga, yang sejatinya merupakan kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, justru cenderung lesu dalam 2 tahun terakhir? Setidaknya, ada dua alasan utama yang menyebabkan situasi tersebut.
Pertama, pencabutan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA yang termasuk golongan mampu. Sejak keluarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), tarif listrik untuk golongan 900 VA rumah tangga akhirnya naik sebanyak tiga tahap dengan durasi 2 bulan sekali.
Tahap pertama 1 Januari 2017, Kementerian ESDM mematok harga Rp791 per kilowatt-hour (KWh), Kedua Rp Rp1.034/ KWh pada 1 Maret 2017, dan Rp1.352/ KWh per 1 Mei 2017. Lalu, mulai 1 Juli 2017, pelanggan rumah tangga mampu 900 VA itu akan dikenakan penyesuaian tarif keekonomian setiap bulan seperti 12 golongan tarif non-subsidi lainnya.
Pencabutan subsidi tersebut akan membuat tarif listrik semakin mahal. Akibatnya, masyarakat lebih berhati-hati saat mengeluarkan kocek mereka. Ujung-ujungnya aktivitas konsumsi dan belanja turun secara signifikan.
Kedua, turunnya kesejahteraan petani. Bisa dibilang hal ini menjadi salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi dalam 4 tahun terakhir. Slogan Jokowi untuk 'memuliakan petani' kian terdengar 'jauh panggang dari api'.
Memasuki masa pemerintahan Jokowi, Nilai Tukar Petani (NTP) cenderung mengalami penurunan. Sebagai informasi, NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani atas produk pertanian mereka, dengan indeks harga yang dibayar petani untuk membeli kebutuhan pokoknya.
NTP menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani, dengan melihat tingkat daya beli mereka di perdesaan. Semakin tinggi NTP, makin tinggi pula daya beli petani dan secara relatif menunjukkan kenaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi (2015), secara rata-rata NTP turun cukup drastis ke angka 101,6, dari tahun sebelumnya sebesar 102,03. Capaian NTP kemudian tak kunjung membaik pada tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, NTP malah jeblok lebih dalam lagi, ke angka 101,28.
Pada tahun lalu, anjloknya NTP tidak lepas dari NTP sub-sektor tanaman pangan yang jatuh ke angka 98,49. Nilai di bawah 100 mengindikasikan pendapatan petani beras cs masih kalah dari pengeluaran untuk kebutuhan pokoknya. Senada dengan itu, NTP sektor perkebunan juga mentok di angka 98,91 di tahun 2017.
Baru pada 2018, terlihat adanya perbaikan. Hingga bulan September 2018, NTP berada di angka 102,35 secara rata-rata. Meskipun tahun ini masih tersisa 3 bulan lagi, upaya pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan petani perlu diapresiasi.
Hanya saja, “lengahnya” pemerintahan Jokowi terhadap kesejahteraan petani di 3 tahun awal, mau tidak mau telah menyebabkan konsumsi masyarakat tertekan. Apa hubungannya? Jelas ada.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2018 menyebutkan sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian, yaitu mencapai 30,46%. Ini menduduki posisi pertama, disusul perdagangan (18,53%) dan industri pengolahan (14,11%).
Kala pendapatan mayoritas pekerja di Indonesia terganggu, maka konsumsi secara keseluruhan tentu akan terganggu. Ini yang menyebabkan konsumsi belum bisa tumbuh lebih cepat pada 3 tahun terakhir, karena ada masalah di sektor pertanian. (NEXT)
Kesimpulannya, meski inflasi secara umum terjaga, pemerintah tidak bisa berpuas diri. Percuma inflasi rendah tapi gara-gara daya beli masyarakat tertekan. Sayangnya, ikhtiar pemerintah untuk menjaga konsumsi rumah tangga akan menemui jalan terkal di tahun ini.
Setidaknya, ada tiga tembok besar yang akan menjadi tantangan pemerintah dalam menjaga daya beli ke depannya.
Pertama, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sejak April, suku bunga acuan sudah dikerek naik sebesar 150 basis poin (bps). Kemungkinan naiknya BI 7-Days (Reverse) Repo Rate ke depan bahkan masih terbuka lebar. Pasalnya, The Federal Reserve/The Fed masih berada dalam tahap pengetatan moneter.
Kenaikan suku bunga acuan lantas dikhawatirkan akan memukul kredit konsumsi, meski BI sendiri sudah memberikan relaksasi rasio Loan to Value (LTV) properti.
Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah yang persisten. Nilai tukar rupiah terdepresiasi nyaris 11% terhadap dolar AS di sepanjang tahun ini, hingga sempat menyentuh angka Rp 15.230/US$ pada pertengahan Oktober 2018.
Lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia. Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Agustus 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 11,14% YoY.
Alhasil, biaya produksi perusahaan pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen. Hal ini dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat lebih jauh lagi.
Ketiga, naiknya harga minyak dunia. Harga minyak jenis brent tercatat melonjak nyaris 20% di sepanjang tahun ini. Harganya bahkan sudah menembus level US$80/barel, tertinggi sejak akhir 2014. Kenaikan harga minyak dunia jelas akan berdampak pada naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.
Per 10 Oktober 2018 saja, Pertamina menaikkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp 9.800/liter.
Kenaikan itu merupakan yang terbesar pada tahun ini, sekaligus menjadi kenaikan ke-empat pada 2018. Memang, sejauh ini harga BBM bersubsidi (solar) dan BBM Premium, masih tidak diperbolehkan naik oleh pemerintah. Malah, pasokan BBM Premium yang semula dibatasi, kini sudah dibuka lagi ke Jawa-Madura-Bali (Jamali).
Namun, melihat kondisi fiskal negara, defisit perdagangan migas yang parah, plus kondisi keuangan Pertamina, bukan tidak mungkin pemerintah berubah pikiran.
Belum lama ini, pemerintah sudah mencetuskan rencana kenaikan harga BBM Premium, meski sejam kemudian langsung diralat oleh pemerintah sendiri.
Jika, kenaikan harga minyak dunia semakin menjadi-jadi, nampaknya bukan tidak mungkin harga BBM dalam negeri juga akhirnya terpaksa dikerek naik (termasuk BBM bersubsidi). Alhasil, konsumsi masyarakat yang menjadi taruhannya.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Utang yang Menggunung & Asing yang Kian Dimanja
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular