4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
Inflasi Terkendali Atau Daya Beli Lemah?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
22 October 2018 13:19

Meski demikian, inflasi rendah juga bisa dipandang dari kacamata yang lain. Penurunan inflasi bisa menjadi pertanda melemahnya daya beli/konsumsi masyarakat. Untuk mengonfirmasi hal tersebut, kita perlu memerhatikan komponen inflasi inti.
Seperti diketahui, inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya.
Inflasi inti di sepanjang tahun 2018 (hingga bulan September) tercatat 2,38%, menurun cukup dalam dari 2,95% di tahun 2017. Bahkan, jika diperhatikan lebih jauh, inflasi inti ternyata konsisten menurun sejak tahun 2013 lampau.
Melambatnya inflasi inti bisa jadi didorong oleh konsumsi masyarakat yang mulai tertekan. Permintaan yang cenderung lemah mengakibatkan produsen tidak bisa menaikkan harga (malah terpaksa menurunkan harga). Sehingga, inflasi inti pun cenderung terus melambat.
Lemahnya kosumsi masyarakat sebenarnya memang cukup kentara, khususnya dalam 2 tahun terakhir. Sejak kuartal III-2016, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga sudah tidak bisa lagi menyentuh angka 5% YoY. Padahal, pada rentang 2012-2014, pertumbuhannya konsisten di atas 5%.
Baru pada kuartal II-2018, konsumsi rumah tangga mampu melesat ke 5,14% YoY. Tapi itupun diperkirakan karena adanya suntikan gaji ke-13 plus Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang juga dibalut dengan nuansa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Artinya, besar peluang bahwa kenaikan ini hanya bersifat one-shot.
Indikator lainnya yang bisa dicermati adalah penjualan ritel di Indonesia. Sejak memasuki 2017, penjualan ritel sudah tidak mampu lagi mencatat pertumbuhan 2 digit. Bahkan pada Juli 2017 dan Januari 2018, pertumbuhannya sempat mengalami konstraksi masing-masing sebesar 3,3% YoY dan 1,8% YoY.
Mengapa konsumsi rumah tangga, yang sejatinya merupakan kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, justru cenderung lesu dalam 2 tahun terakhir? Setidaknya, ada dua alasan utama yang menyebabkan situasi tersebut.
Pertama, pencabutan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA yang termasuk golongan mampu. Sejak keluarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), tarif listrik untuk golongan 900 VA rumah tangga akhirnya naik sebanyak tiga tahap dengan durasi 2 bulan sekali.
Tahap pertama 1 Januari 2017, Kementerian ESDM mematok harga Rp791 per kilowatt-hour (KWh), Kedua Rp Rp1.034/ KWh pada 1 Maret 2017, dan Rp1.352/ KWh per 1 Mei 2017. Lalu, mulai 1 Juli 2017, pelanggan rumah tangga mampu 900 VA itu akan dikenakan penyesuaian tarif keekonomian setiap bulan seperti 12 golongan tarif non-subsidi lainnya.
Pencabutan subsidi tersebut akan membuat tarif listrik semakin mahal. Akibatnya, masyarakat lebih berhati-hati saat mengeluarkan kocek mereka. Ujung-ujungnya aktivitas konsumsi dan belanja turun secara signifikan.
Kedua, turunnya kesejahteraan petani. Bisa dibilang hal ini menjadi salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi dalam 4 tahun terakhir. Slogan Jokowi untuk 'memuliakan petani' kian terdengar 'jauh panggang dari api'.
Memasuki masa pemerintahan Jokowi, Nilai Tukar Petani (NTP) cenderung mengalami penurunan. Sebagai informasi, NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani atas produk pertanian mereka, dengan indeks harga yang dibayar petani untuk membeli kebutuhan pokoknya.
NTP menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani, dengan melihat tingkat daya beli mereka di perdesaan. Semakin tinggi NTP, makin tinggi pula daya beli petani dan secara relatif menunjukkan kenaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi (2015), secara rata-rata NTP turun cukup drastis ke angka 101,6, dari tahun sebelumnya sebesar 102,03. Capaian NTP kemudian tak kunjung membaik pada tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, NTP malah jeblok lebih dalam lagi, ke angka 101,28.
Pada tahun lalu, anjloknya NTP tidak lepas dari NTP sub-sektor tanaman pangan yang jatuh ke angka 98,49. Nilai di bawah 100 mengindikasikan pendapatan petani beras cs masih kalah dari pengeluaran untuk kebutuhan pokoknya. Senada dengan itu, NTP sektor perkebunan juga mentok di angka 98,91 di tahun 2017.
Baru pada 2018, terlihat adanya perbaikan. Hingga bulan September 2018, NTP berada di angka 102,35 secara rata-rata. Meskipun tahun ini masih tersisa 3 bulan lagi, upaya pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan petani perlu diapresiasi.
Hanya saja, “lengahnya” pemerintahan Jokowi terhadap kesejahteraan petani di 3 tahun awal, mau tidak mau telah menyebabkan konsumsi masyarakat tertekan. Apa hubungannya? Jelas ada.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2018 menyebutkan sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian, yaitu mencapai 30,46%. Ini menduduki posisi pertama, disusul perdagangan (18,53%) dan industri pengolahan (14,11%).
Kala pendapatan mayoritas pekerja di Indonesia terganggu, maka konsumsi secara keseluruhan tentu akan terganggu. Ini yang menyebabkan konsumsi belum bisa tumbuh lebih cepat pada 3 tahun terakhir, karena ada masalah di sektor pertanian. (NEXT)
(RHG/RHG)
Seperti diketahui, inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak, atau naik turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya.
Inflasi inti di sepanjang tahun 2018 (hingga bulan September) tercatat 2,38%, menurun cukup dalam dari 2,95% di tahun 2017. Bahkan, jika diperhatikan lebih jauh, inflasi inti ternyata konsisten menurun sejak tahun 2013 lampau.
Lemahnya kosumsi masyarakat sebenarnya memang cukup kentara, khususnya dalam 2 tahun terakhir. Sejak kuartal III-2016, pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga sudah tidak bisa lagi menyentuh angka 5% YoY. Padahal, pada rentang 2012-2014, pertumbuhannya konsisten di atas 5%.
Baru pada kuartal II-2018, konsumsi rumah tangga mampu melesat ke 5,14% YoY. Tapi itupun diperkirakan karena adanya suntikan gaji ke-13 plus Tunjangan Hari Raya (THR) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang juga dibalut dengan nuansa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Artinya, besar peluang bahwa kenaikan ini hanya bersifat one-shot.
Indikator lainnya yang bisa dicermati adalah penjualan ritel di Indonesia. Sejak memasuki 2017, penjualan ritel sudah tidak mampu lagi mencatat pertumbuhan 2 digit. Bahkan pada Juli 2017 dan Januari 2018, pertumbuhannya sempat mengalami konstraksi masing-masing sebesar 3,3% YoY dan 1,8% YoY.
Mengapa konsumsi rumah tangga, yang sejatinya merupakan kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, justru cenderung lesu dalam 2 tahun terakhir? Setidaknya, ada dua alasan utama yang menyebabkan situasi tersebut.
Pertama, pencabutan subsidi listrik golongan 900 Volt Ampere (VA yang termasuk golongan mampu. Sejak keluarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), tarif listrik untuk golongan 900 VA rumah tangga akhirnya naik sebanyak tiga tahap dengan durasi 2 bulan sekali.
Tahap pertama 1 Januari 2017, Kementerian ESDM mematok harga Rp791 per kilowatt-hour (KWh), Kedua Rp Rp1.034/ KWh pada 1 Maret 2017, dan Rp1.352/ KWh per 1 Mei 2017. Lalu, mulai 1 Juli 2017, pelanggan rumah tangga mampu 900 VA itu akan dikenakan penyesuaian tarif keekonomian setiap bulan seperti 12 golongan tarif non-subsidi lainnya.
Pencabutan subsidi tersebut akan membuat tarif listrik semakin mahal. Akibatnya, masyarakat lebih berhati-hati saat mengeluarkan kocek mereka. Ujung-ujungnya aktivitas konsumsi dan belanja turun secara signifikan.
Kedua, turunnya kesejahteraan petani. Bisa dibilang hal ini menjadi salah satu titik lemah pemerintahan Jokowi dalam 4 tahun terakhir. Slogan Jokowi untuk 'memuliakan petani' kian terdengar 'jauh panggang dari api'.
Memasuki masa pemerintahan Jokowi, Nilai Tukar Petani (NTP) cenderung mengalami penurunan. Sebagai informasi, NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani atas produk pertanian mereka, dengan indeks harga yang dibayar petani untuk membeli kebutuhan pokoknya.
NTP menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani, dengan melihat tingkat daya beli mereka di perdesaan. Semakin tinggi NTP, makin tinggi pula daya beli petani dan secara relatif menunjukkan kenaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Pada tahun pertama pemerintahan Jokowi (2015), secara rata-rata NTP turun cukup drastis ke angka 101,6, dari tahun sebelumnya sebesar 102,03. Capaian NTP kemudian tak kunjung membaik pada tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, NTP malah jeblok lebih dalam lagi, ke angka 101,28.
Pada tahun lalu, anjloknya NTP tidak lepas dari NTP sub-sektor tanaman pangan yang jatuh ke angka 98,49. Nilai di bawah 100 mengindikasikan pendapatan petani beras cs masih kalah dari pengeluaran untuk kebutuhan pokoknya. Senada dengan itu, NTP sektor perkebunan juga mentok di angka 98,91 di tahun 2017.
Baru pada 2018, terlihat adanya perbaikan. Hingga bulan September 2018, NTP berada di angka 102,35 secara rata-rata. Meskipun tahun ini masih tersisa 3 bulan lagi, upaya pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan petani perlu diapresiasi.
Hanya saja, “lengahnya” pemerintahan Jokowi terhadap kesejahteraan petani di 3 tahun awal, mau tidak mau telah menyebabkan konsumsi masyarakat tertekan. Apa hubungannya? Jelas ada.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2018 menyebutkan sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian, yaitu mencapai 30,46%. Ini menduduki posisi pertama, disusul perdagangan (18,53%) dan industri pengolahan (14,11%).
Kala pendapatan mayoritas pekerja di Indonesia terganggu, maka konsumsi secara keseluruhan tentu akan terganggu. Ini yang menyebabkan konsumsi belum bisa tumbuh lebih cepat pada 3 tahun terakhir, karena ada masalah di sektor pertanian. (NEXT)
(RHG/RHG)
Next Page
Tantangan Menjaga Daya Beli Masyarakat
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular