4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Utang yang Menggunung & Asing yang Kian Dimanja

Alfado Agustio & Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
22 October 2018 10:38
Domestik Harusnya Jadi Kunci
Foto: Arie Pratama
Dampak multiplier yang terjadi perlu jadi perhatian serius pemerintahan Joko Widodo. Untuk itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengalokasikan jumlah utang kedepannya terutama penerbitan SBN.
 
Pada Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019, pemerintah berencana menerbitkan SBN sebesar Rp 386,21 triliun. Sementara pos pinjaman dalam negeri sekitar Rp 1,95 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 58,97 triliun.
 
Pengalokasian SBN bagi investor asing sebenarnya beresiko terutama sejak normalisasi kebijakan moneter di AS mulai terjadi tahun ini. Era perang suku bunga acuan global mulai terjadi, sehingga mengakibatkan likuiditas global semakin mengetat.


 
Di kawasan Asia sendiri, Bank Indonesia (BI) jadi satu dari tiga bank bersama bank sentral Filipina dan Pakistan yang paling agresif menaikkan suku bunga acuannya hingga lebih dari 100 bps. 
 
Persaingan suku bunga jadi pertimbangan investor asing untuk memindahkan dana yang dimilikinya, termasuk di instrumen SBN. Aliran modal asing yang mudah berpindah tentu jadi sentimen negatif bagi rupiah sehingga pelemahan pun terjadi
 
Untuk menanggulangi ancaman tersebut, ada baiknya pemerintah mulai mendorong peran lebih investor domestik lebih besar. Lihatlah Jepang, meskipun rasio utang terhadap PDB di atas 200% akan tetapi kondisi perekonomian masih aman terutama nilai tukarnya.
 
 
Yen jadi satu-satunya mata uang di negara kawasan emerging market yang mampu menguat terhadap dolar AS. Salah satu faktor yang mendorong hal tersebut adalah minimnya kepemilikan asing di surat utang pemerintah
 
 
Data Kementerian Keuangan Jepang per Juni 2018 memperlihatkan, porsi kepemilikan asing hanya sebesar 6,1%. Sementara porsi domestik baik bank sentral hingga domestik mencapai 93,9%. Kepemilikan domestik yang mayoritas, menyebabkan aliran modal berputar di dalam negeri. Lain cerita, jika asing yang berada di posisi tersebut.
 
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif bagi investor domestik seperti penurunan pajak imbal hasil obligasi, agar semakin banyak investor domestik tertarik memburu instrumen tersebut.
 
terkait pajak imbal hasil, saat ini regulasi pemerintah i menetapkan besaran pajak yang dikenakan sebesar 20%. Angka ini mungkin terlalu tinggi, sehingga investor kurang tertarik memburu instrumen obligasi pemerintah.
 
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) bersama internal Kementerian Keuangan tengah menggodok aturan baru untuk pajak penghasilan final dari bunga obligasi pemerintah. Hal tersebut, sempat dikemukakan Kepala BKF Suahasil Nazara dalam konferensi pers APBN KiTa di Aula Mezzanine, kompleks Kementerian Keuangan akhir pekan lalu.
 
Sementara Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menjelaskan, BKD dan Direktorat Jenderal Pajak (PJK) sedang melakukan kajian terkait hal tersebut.

"Sedang direview oleh BKF dan DJP, perlakuan PPh atas obligasi, swasta, dan SUN [surat utang negara]," kata Robert Pakpahan di gedung parlemen, Senin (24/9/2018).
 
Andai rencana ini jadi direalisasikan, tentu jadi insentif menarik bagi masyarakat. Bisa jadi kedepannya, lebih banyak masyarakat yang memberi obligasi pemerintah seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Sukuk Ritel (Sukri). Jika pemerintah terpaksa menerbitkan SBN dalam jumlah besar, tidak menimbulkan ancaman bagi nilai tukar berarti sebab kepemilikan domestik lebih mendominasi.
 
 
 
 


(alf/alf)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular