4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Utang yang Menggunung & Asing yang Kian Dimanja

Alfado Agustio & Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
22 October 2018 10:38
Surat Utang RI, 40% Dikuasai Asing
Foto: Arie Pratama
Pada masa Presiden Jokowi, pemerintah lebih mengandalkan sumber utang yang berasal dari penerbitan SBN [Surat Berharga Negara] dibandingkan pos pinjaman. 
 
 
Tren ini sebenarnya telah terjadi sebelum Jokowi memimpin. Namun, saat Jokowi memimpin, jumlah SBN yang diterbitkan semakin pesat. Dari sejumlah SBN yang diterbitkan, institusi Non-Bank jadi pihak yang paling banyak memiliki instrumen tersebut.
 
 
Jika dibedah lebih dalam lagi rupanya pemegang terbesar berasal dari pihak Non-Resident (Asing) dengan jumlah mencapai 37,04% atau senilai Rp 848,65 triliun.
 
Sejak Presiden Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2014, tren kepemilikan asing di obligasi pemerintah memang cukup tinggi. Data Kementerian Keuangan selama periode Oktober 2014-2018, kepemilikan asing selalu di atas 35%.
 
 
Obral Bunga Tinggi Demi Utangan

Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, imbal hasil SBN. Sejak Jokowi dilantik, rata-rata yield SBN cukup menggiurkan. Ambil contoh tenor 10 tahun, rata-rata yield obligasi pemerintah indonesia di level 7%
 
 
Angka ini lebih tinggi dibandingkan imbal hasil surat utang pemerintah di negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Vietnam hingga Thailand.
 
Kedua, rating surat utang pemerintah. Sejak Jokowi dilantik, rating surat utang pemerintah cenderung mengalami perbaikan.
 
 
Per 2018 ini, rating utang surat pemerintah yang diberikan lembaga-lembaga seperti Moody’s, Standard & Poor’s dan Fitch rata-rata berada di outlook stabil. Kondisi tersebut semakin meyakinkan investor asing untuk memburu obligasi pemerintah. Akibatnya porsi asing pun semakin meningkat.
 
Tingginya surat utang yang dikuasai asing jadi risiko tersendiri bagi Indonesia. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menyebut naiknya kerentanan utang global menjadi salah satu risiko besar bagi perekonomian dunia saat ini.
 
Ketika likuiditas mengetat, maka potensi terjadinya capital outflows cukup besar. Jika ini terjadi pada perdagangan SBN di pasar sekunder, maka berdampak negatif pada perekonomian utamanya nilai tukar.

Pelemahan Rupiah dan Makin Mahalnya Biaya Utangan

 
 
Sejak awal tahun, kurs rupiah telah terdepresiasi hampir 12% dan berada di level Rp 15.200/US$. Pelemahan ini tentu memberikan beberapa dampak negatif, utamanya bagi dunia usaha. Dampak ini setidaknya terlihat kesulitan impor barang baku dan modal
 
 
Data Badan Pusat Statistik per September 2018, impor bahan baku mulai mengalami penurunan akibat pelemahan rupiah yang semakin tinggi. Selain dampak terbatasnya impor, dampak lain yang dihadapi adalah kenaikan suku bunga kredit akibat kenaikan suku bunga acuan oleh BI.
 
 
Akibat kedua kondisi ini, perkembangan dunia usaha pun cenderung melambat. Berdasarkan rilis survei dunia usaha oleh BI per kuartal III-2018, hal tersebut terbukti. Ini terlihat dari besaran Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang menurun pada periode tersebut. Penurunan SBT mengindikasikan pertumbuhan dunia usaha kurang membaik.
 
 
Perlambatan dunia usaha tentu jadi sentimen negatif bagi perekonomian, karena bisa menahan laju pertumbuhan PDB kedepannya. 
 
(alf/alf)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular