
Neraca Dagang Surplus, Apakah CAD kuartal III-2018 Membaik?
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
15 October 2018 17:34

Defisit perdagangan sejatinya memang jadi salah satu penyebab defisit transaksi berjalan. Menurut wakil perdana menteri Singapura Tharman Shanmugaratnam, seperti dikutip dari CNBC International, Senin (15/10/2018), defisit yang melebar kini menjadi sebuah dosa tersendiri.
Singapura terkenal sebagai salah satu negara yang mampu menjaga keseimbangan transaksi berjalannya. Bahkan sejak kuartal I-1978, Negeri Merlion selalu mengalami surplus perdagangan
Lantas, bagaimana negara tersebut tetap menjaga keseimbangan transaksi berjalannya? salah satunya dengan memaksimalkan investasi jangka panjang (Foreign Direct Investment/FDI)
Singapura telah mengandalkan pembiayaan melalui investasi langsung asing (foreign direct investment) dan investor jangka panjang selama tahun-tahun awal pertumbuhannya. Berdasarkan data Departement Statistics of Singapore periode 1998-2016, pertumbuhan FDI di negara tersebut memang selalu meningkat
Sementara Indonesia, berdasarkan data kuartalan yang dihimpun dari trading economics sejak 2016 hingga 2018 cenderung fluktuatif.
Dengan melihat kondisi neraca dagang saat ini, Indonesia perlu mengikuti jejak Singapura dalam mengakali defisit transaksi berjalan. Saat ini pemerintah sudah melakukan beberapa strategi, salah satunya menerbitkan paket kebijakan ekonomi. Pada paket kebijakan terbaru yaitu seri 16, Presiden Joko Widodo menyederhanakan proses perizinan dalam bentuk single submission.
Hal ini untuk menarik minat investor asing untuk berinvestasi karena Indonesia terkenal sebagai negara yang perizinannya masih rumit. Namun, peraturan tersebut masih kurang ampuh untuk saat ini karena investor melihat faktor lain yaitu pelemahan rupiah.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, kecenderungan investor yang wait and see masuk ke keuangan Indonesia dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar. Hal ini yang terlihat pada pergerakan FDI di kuartal II-2018, dimana pertumbuhan anjlok hampir 13%.
Pada penutupan perdagangan hari ini, Senin (15/10/2018) kurs rupiah masih berada di posisi Rp 15.200/US$. Sejak awal tahun, depresiasi rupiah telah mencapai 12% lebih.
Ke depannya, ancaman pelemahan masih cukup besar terutama melihat dinamika ekonomi global seperti bank sentral AS Federal Reserve yang diperkirakan masih agresif hingga 2019 hingga perang dagang.
Untuk itu, pemerintah dan BI perlu memaksimalkan kebijakan policy mix guna menjaga pelemahan saat ini bisa berkurang. Tujuannya agar investor asing mau masuk dan mendorong pertumbuhan FDI dalam negeri.
Jika FDI bisa tumbuh secara berkelanjutan seperti yang dialami Singapura, bukan tidak mungkin transaksi berjalan Indonesia akan jauh lebih baik dan mencetak surplus ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(alf/dru)
Singapura terkenal sebagai salah satu negara yang mampu menjaga keseimbangan transaksi berjalannya. Bahkan sejak kuartal I-1978, Negeri Merlion selalu mengalami surplus perdagangan
Singapura telah mengandalkan pembiayaan melalui investasi langsung asing (foreign direct investment) dan investor jangka panjang selama tahun-tahun awal pertumbuhannya. Berdasarkan data Departement Statistics of Singapore periode 1998-2016, pertumbuhan FDI di negara tersebut memang selalu meningkat
Sementara Indonesia, berdasarkan data kuartalan yang dihimpun dari trading economics sejak 2016 hingga 2018 cenderung fluktuatif.
Dengan melihat kondisi neraca dagang saat ini, Indonesia perlu mengikuti jejak Singapura dalam mengakali defisit transaksi berjalan. Saat ini pemerintah sudah melakukan beberapa strategi, salah satunya menerbitkan paket kebijakan ekonomi. Pada paket kebijakan terbaru yaitu seri 16, Presiden Joko Widodo menyederhanakan proses perizinan dalam bentuk single submission.
Hal ini untuk menarik minat investor asing untuk berinvestasi karena Indonesia terkenal sebagai negara yang perizinannya masih rumit. Namun, peraturan tersebut masih kurang ampuh untuk saat ini karena investor melihat faktor lain yaitu pelemahan rupiah.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, kecenderungan investor yang wait and see masuk ke keuangan Indonesia dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar. Hal ini yang terlihat pada pergerakan FDI di kuartal II-2018, dimana pertumbuhan anjlok hampir 13%.
Pada penutupan perdagangan hari ini, Senin (15/10/2018) kurs rupiah masih berada di posisi Rp 15.200/US$. Sejak awal tahun, depresiasi rupiah telah mencapai 12% lebih.
Ke depannya, ancaman pelemahan masih cukup besar terutama melihat dinamika ekonomi global seperti bank sentral AS Federal Reserve yang diperkirakan masih agresif hingga 2019 hingga perang dagang.
Untuk itu, pemerintah dan BI perlu memaksimalkan kebijakan policy mix guna menjaga pelemahan saat ini bisa berkurang. Tujuannya agar investor asing mau masuk dan mendorong pertumbuhan FDI dalam negeri.
Jika FDI bisa tumbuh secara berkelanjutan seperti yang dialami Singapura, bukan tidak mungkin transaksi berjalan Indonesia akan jauh lebih baik dan mencetak surplus ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(alf/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular