
Neraca Dagang Surplus, Apakah CAD kuartal III-2018 Membaik?
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
15 October 2018 17:34

Jakarta, CNBC Indonesia. Keberhasilan Indonesia meraih surplus perdagangan periode September 2018, memunculkan proyeksi jika defisit transaksi berjalan (current account) akan menurun di akhir 2018.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis neraca perdagangan September yang surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus ketiga kalinya, setelah sebelumnya diraih pada bulan Maret dan Juni.
Surplus neraca dagang tersebut menumbuhkan harapan jika, defisit transaksi berjalan akan menurun. Pada kuartal II-2018, defisit mencapai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau terbesar sejak kuartal III-2014.
Namun bisa jadi defisit menurun agak sulit terealisasikan. Pasalnya, surplus yang terjadi pada periode ini lebih kecil dibandingkan Maret dan Juni 2018. Terlebih dalam perhitungan transaksi berjalan, ada komponen-komponen lain diantaranya neraca jasa dan pendapatan primer.
Pada kuartal II-2018, kontribusi terbesar yang mempengaruhi defisit berada dari pos pendapatan primer mencapai US$ 8,15 miliar, diikuti neraca jasa (US$ 1,79 miliar). Padahal di periode tersebut, secara akumulasi neraca perdagangan meraih surplus US$ 289 juta.
Jika kita merujuk kondisi di periode tersebut, pantaslah kita khawatir jika ancaman defisit transaksi berjalan yang cukup dalam masih membayangi. Pada kuartal III-2018 ini secara akumulasi, neraca perdagangan meraih defisit US$ 2,75 miliar. Jika neraca perdagangan saja juga defisit, bagaimana nasib current account ?
NEXT
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis neraca perdagangan September yang surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus ketiga kalinya, setelah sebelumnya diraih pada bulan Maret dan Juni.
Namun bisa jadi defisit menurun agak sulit terealisasikan. Pasalnya, surplus yang terjadi pada periode ini lebih kecil dibandingkan Maret dan Juni 2018. Terlebih dalam perhitungan transaksi berjalan, ada komponen-komponen lain diantaranya neraca jasa dan pendapatan primer.
Pada kuartal II-2018, kontribusi terbesar yang mempengaruhi defisit berada dari pos pendapatan primer mencapai US$ 8,15 miliar, diikuti neraca jasa (US$ 1,79 miliar). Padahal di periode tersebut, secara akumulasi neraca perdagangan meraih surplus US$ 289 juta.
Jika kita merujuk kondisi di periode tersebut, pantaslah kita khawatir jika ancaman defisit transaksi berjalan yang cukup dalam masih membayangi. Pada kuartal III-2018 ini secara akumulasi, neraca perdagangan meraih defisit US$ 2,75 miliar. Jika neraca perdagangan saja juga defisit, bagaimana nasib current account ?
NEXT
Andai memproyeksi neraca jasa dan pendapatan primer di kuartal III ini, kita dapat menggunakan beberapa indikator.
Dari sisi neraca jasa, Bank Indonesia (BI) menggunakan indikator diantaranya biaya pengiriman (freight). Untuk menghitung indikator ini, sulit mencari sumber angka yang valid. Namun, kita dapat menggunakan data dari pertumbuhan ekspor dan impor.
Ketika dua variabel tersebut tumbuh tinggi, tentu berimbas kepada biaya pengiriman. Per September, ekspor tumbuh 1,7% Year-on-Year (YoY) dan impor sebesar 14,18% (YoY). Sementara selama periode Juli-September 2018, rata-rata pertumbuhan ekspor sebesar mencapai 8,39% YoY dan impor sebesar 25,32% (YoY).
Jika dibandingkan periode yang sama tahun 2017, memang pertumbuhan jauh lebih lambat. Namun, potensi defisit yang cukup dalam masih besar seiring pertumbuhan impor dan ekspor yang masih tinggi.
Sementara dari sisi pendapatan primer, indikator yang bisa digunakan salah satunya yaitu bunga pinjaman luar negeri pemerintah. Data dari Bank Indonesia per Juli 2018, jumlah utang dibayar pemerintah mencapai US$ 778 juta atau tertinggi pada 2018.
Gambaran data ini memperlihatkan ancaman defisit transaksi berjalan di kuartal III-2018. Terlebih dari sisi neraca perdagangan barang saja kita sudah defisit hingga US$ 2,75 miliar.
Bahkan Bahana sekuritas memprediksi, defisit pada periode tersebut mencapai US$ 9 miliar atau sekitar 3,2-3,6% dari PDB.
NEXT
Singapura terkenal sebagai salah satu negara yang mampu menjaga keseimbangan transaksi berjalannya. Bahkan sejak kuartal I-1978, Negeri Merlion selalu mengalami surplus perdagangan
Lantas, bagaimana negara tersebut tetap menjaga keseimbangan transaksi berjalannya? salah satunya dengan memaksimalkan investasi jangka panjang (Foreign Direct Investment/FDI)
Singapura telah mengandalkan pembiayaan melalui investasi langsung asing (foreign direct investment) dan investor jangka panjang selama tahun-tahun awal pertumbuhannya. Berdasarkan data Departement Statistics of Singapore periode 1998-2016, pertumbuhan FDI di negara tersebut memang selalu meningkat
Sementara Indonesia, berdasarkan data kuartalan yang dihimpun dari trading economics sejak 2016 hingga 2018 cenderung fluktuatif.
Dengan melihat kondisi neraca dagang saat ini, Indonesia perlu mengikuti jejak Singapura dalam mengakali defisit transaksi berjalan. Saat ini pemerintah sudah melakukan beberapa strategi, salah satunya menerbitkan paket kebijakan ekonomi. Pada paket kebijakan terbaru yaitu seri 16, Presiden Joko Widodo menyederhanakan proses perizinan dalam bentuk single submission.
Hal ini untuk menarik minat investor asing untuk berinvestasi karena Indonesia terkenal sebagai negara yang perizinannya masih rumit. Namun, peraturan tersebut masih kurang ampuh untuk saat ini karena investor melihat faktor lain yaitu pelemahan rupiah.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, kecenderungan investor yang wait and see masuk ke keuangan Indonesia dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar. Hal ini yang terlihat pada pergerakan FDI di kuartal II-2018, dimana pertumbuhan anjlok hampir 13%.
Pada penutupan perdagangan hari ini, Senin (15/10/2018) kurs rupiah masih berada di posisi Rp 15.200/US$. Sejak awal tahun, depresiasi rupiah telah mencapai 12% lebih.
Ke depannya, ancaman pelemahan masih cukup besar terutama melihat dinamika ekonomi global seperti bank sentral AS Federal Reserve yang diperkirakan masih agresif hingga 2019 hingga perang dagang.
Untuk itu, pemerintah dan BI perlu memaksimalkan kebijakan policy mix guna menjaga pelemahan saat ini bisa berkurang. Tujuannya agar investor asing mau masuk dan mendorong pertumbuhan FDI dalam negeri.
Jika FDI bisa tumbuh secara berkelanjutan seperti yang dialami Singapura, bukan tidak mungkin transaksi berjalan Indonesia akan jauh lebih baik dan mencetak surplus ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(alf/dru) Next Article GIobal Tertekan, Neraca Dagang RI Diramal Tekor US$ 152 Juta
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular