IMF Turunkan Proyeksi, The Fed Optimistis Ekonomi AS Kuat

Prima Wirayani, CNBC Indonesia
11 October 2018 07:18
IMF Turunkan Proyeksi, The Fed Optimistis Ekonomi AS Kuat
Foto: IMF-Annual Meetings (CNBC Indonesia/Monica Wareza)
Nusa Dua, CNBC Indonesia - Presiden Federal Reserve New York John Williams pada hari Rabu (10/10/2018) memberi pandangan yang sedikit berbeda dengan Dana Moneter Internasional (IMF) saat berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan efek perang dagang.

Ia menyampaikan optimismenya akan proyeksi ekonomi AS ke depan dalam pidato yang ia bacakan di acara Central Banking Forum 2018 yang diadakan di Bank Indonesia (BI) bersama The Fed New York di sela-sela IMF-World Bank Annual Meetings di Nusa Dua, Bali. 

Pria yang disebut pasar sebagai orang terkuat kedua di bank sentral AS setelah Gubernur Federal Reserve Jerome Powell itu berulang kali menegaskan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam sedang berada dalam kondisi yang sangat kuat.


Tak kurang dari tiga kali ia menyebutkan hal tersebut baik dalam pidatonya maupun saat  memberi pernyataan dalam konferensi pers yang diadakan setelahnya.


"Sebagian besar indikator menunjukkan pasar tenaga kerja yang sangat kuat, termasuk angka pengangguran 3,7%, dan inflasi yang berada di sasarannya," kata Williams.

"Dengan stimulus fiskal dan kondisi keuangan yang menguntungkan yang memberikan dorongan bagi ekonomi AS, proyeksinya adalah pertumbuhan yang lebih kuat," tambahnya.

Ia memperkirakan produk domestik bruto (PDB) AS akan tumbuh sekitar 3% tahun ini dan 2,5% di 2019. Inflasi ia proyeksikan akan berada sedikit di atas 2%. 

Proyeksinya ini sejalan dengan perkiraan yang disampaikan Gubernur The Fed Jerome Powell setelah pengumuman kenaikan bunga acuan AS bulan lalu.

"Ke depan, saya terus berharap kenaikan [suku bunga] lebih lanjut secara bertahap adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mencapai tujuan mandat ganda kami," tegasnya.

Mandat ganda yang ia maksud adalah mencapai angka tenaga kerja yang maksimum dan stabilitas harga.

Selain itu, ia juga mengatakan tidak melihat dampak yang berarti dari ketegangan perdagangan global yang sedang terjadi terhadap pergerakan ekonomi terbesar di dunia itu.

Amerika Serikat (AS) tengah berada di pusaran perseteruan dengan beberapa negara rekan dagangnya, seperti China dan Uni Eropa. Negeri Paman Sam telah mengenakan bea impor terhadap hampir separuh impornya dari Negeri Tirai Bambu, yang segera dibalas China dengan pengenaan bea masuk serupa.

"Sejauh ini, pembacaan saya terhadap data-data [menunjukkan] kami tidak melihat efek signifikan terhadap tenaga kerja ataupun inflasi dari langkah penerapan tarif impor yang terjadi sejauh ini," kata Williams.

"Tentu saja kami mendengar beberapa komentar terkait ketidakpastian kebijakan perdagangan yang berdampak pada keinginan berinvestasi atau mempekerjakan seseorang, namun sekali lagi, dari data yang ada di tangan kami, kami tidak melihat dampak signifikan [perang dagang," tambahnya.


NEXT

Optimisme Williams itu tak tergoyahkan meski disampaikan setelah IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, termasuk AS, menyusul perang dagang global yang tak kunjung selesai.


Dalam laporan Global Economic Outlook yag dirilis Selasa, IMF memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dan tahun depan menjadi masing-maisng 3,7% dari 3,9% yang diproyeksikan sebelumnya.

Produk domestik bruto (PDB) AS sendiri diperkirakan akan tumbuh 2,9% tahun ini dan 2,5% di 2019 dari 2,7% yang diperkirakan di Juli. China diproyeksikan menambah produk domestik bruto (PBD) hingga 6,6% tahun ini dan 6,2% di 2019 dari 6,4% yang diperkirakan sebelumnya.

"Dampak kebijakan perdagangan dan ketidakpastian menjadi semakin terbukti di level makroekonomi sementara bukti lainnya berakumulasi menjadi bahaya bagi perusahaan-perusahaan," kata kepala ekonom IMF Maurice Obstfeld dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Selasa.

"Kebijakan perdagangan merefleksikan politik, dan politik tetap tidak pasti di beberapa perekonomian, dan menjadi risiko tambahan," ungkapnya.

Laporan Global Financial Stability Report yag dirilis IMF hari Rabu mengungkapkan hal senada.

IMF melihat risiko sistem keuangan jangka pendek telah meningkat dalam enam bulan terakhir yang dapat mengakibatkan keluarnya investor asing dari pasar-pasar negara berkembang.


Ketegangan perdagangan meninggi, ketidakpastian kebijakan telah meningkat di beberapa negara, dan negara-negara berkembang mengalami tekanan di pasar finansialnya.


"Analisis kami menunjukkan bahwa jangka menengah, terdapat 5% probabilitas bahwa negara-negara berkembang akan mengalami aliran arus modal keluar dalam portofolio utangnya hingga lebih dari US$100 miliar (Rp 1.521 triliun)," tulis Direktur Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF Tobias Adrian dalam sebuah blog di situs IMF. 


Angka tersebut secara umum setara dengan capital outflows yang terjadi saat krisis.


Kondisi keuangan di emerging markets telah mengetat sejak pertengahan April akibat penguatan dolar, meningkatnya risiko politik dan kebijakan, serta meningkatnya ketegangan perdagangan, tulis IMF dalam laporan tersebut.


"Tekanan pasar telah lebih berdampak pada negara-negara dengan ketidakseimbangan eksternal yang lebih besar dan kerangka kebijakan yang lebih lemar, atau di negara-negara yang lebih terekspos oleh ketegangan perdagangan."


NEXT


BI menyadari segala ketidakpastian dunia tersebut. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bank sentral harus beradaptasi dan mengadopsi langkah-langkah baru untuk mengatasi hal tersebut.


"Kita berada dalam ketidakpastian global, normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju," ujarnya dalam pidato di Central Banking Forum.


Namun, ia meyakinkan bahwa perekonomian Indonesia tetap tangguh dan tahan banting di tengah-tengah kondisi tersebut.


PDB Indonesia tetap tumbuh dengan komponen pendorong pertumbuhan yang mulai menyebar, tidak hanya bertumpu pada konsumsi, inflasi tetap rendah dan diperkirakan berada di 3,4% tahun ini, serta defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) yang di bawah 3%.


"BI terus berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas lainnya untuk memastikan kebijakan kami mendukung pertumbuhan," kata Perry dalam konferensi pers dengan Williams. 

"Fokus kami tetap pada stabilitas," tegasnya.

Ia juga mengapresiasi langkah The Fed yang terus mengomunikasikan kebijakan moneternya kepada pasar sehingga BI dapat mengkalkulasikan hal tersebut saat merumuskan kebijakan maupun saat membuat berbagai proyeksi ekonomi.



Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular