
Harga Minyak & Pelemahan Rupiah, Duet Maut yang Mengancam RI
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 October 2018 15:07

Cara lainnya untuk menyelamatkan CAD adalah meningkatkan nilai tambah ekspor RI. Sejauh ini, hal tersebut masih menjadi masalah. Pasalnya, ekspor Indonesia masih terlalu bergantung kepada komoditas, hanya mengandalkan keunggulan komparatif. Akibatnya, ekspor Indonesia sangat tergantung pada harga komoditas global.
Saat harga komoditas seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet kinclong, ekspor Indonesia pun melonjak seperti yang terjadi pada 2006, 2011, atau 2017. Pada momentum-momentum itu, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus yang mengesankan karena ekspor jauh melebihi impor.
Namun saat harga CPO dan karet nyungsep, seperti tahun ini, ekspor ikut tiarap dan neraca perdagangan pun negatif. Pada Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan membukuka defisit US$ 4,09 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya masih surplus cukup besar yaitu US$ 9,07 miliar.
Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki struktur ekspor dengan mengutamakan barang jadi atau setengah jadi. Produk industri manufaktur.
Di sisi lain, saat ekonomi Indonesia terakselerasi, kecenderungan peningkatan impor juga terjadi. Seperti tahun ini. Pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan lebih baik dibandingkan 2017 yang 'hanya' 5,07%. Ini membuat impor melonjak.
Agar arus barang impor tidak deras saat ekonomi domestik pulih, lagi-lagi kuncinya adalah industrialisasi. Pembangunan industri substitusi impor sangat penting untuk menjaga arus devisa tidak mudah meninggalkan Indonesia.
Sayangnya, sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.
Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%. Tren ini harus segera diputus, jika tidak ingin perekonomian RI semakin terseok-seok.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus)
Saat harga komoditas seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet kinclong, ekspor Indonesia pun melonjak seperti yang terjadi pada 2006, 2011, atau 2017. Pada momentum-momentum itu, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus yang mengesankan karena ekspor jauh melebihi impor.
Namun saat harga CPO dan karet nyungsep, seperti tahun ini, ekspor ikut tiarap dan neraca perdagangan pun negatif. Pada Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan membukuka defisit US$ 4,09 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya masih surplus cukup besar yaitu US$ 9,07 miliar.
Di sisi lain, saat ekonomi Indonesia terakselerasi, kecenderungan peningkatan impor juga terjadi. Seperti tahun ini. Pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan lebih baik dibandingkan 2017 yang 'hanya' 5,07%. Ini membuat impor melonjak.
Agar arus barang impor tidak deras saat ekonomi domestik pulih, lagi-lagi kuncinya adalah industrialisasi. Pembangunan industri substitusi impor sangat penting untuk menjaga arus devisa tidak mudah meninggalkan Indonesia.
Sayangnya, sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.
Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%. Tren ini harus segera diputus, jika tidak ingin perekonomian RI semakin terseok-seok.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular