Harga Minyak & Pelemahan Rupiah, Duet Maut yang Mengancam RI

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 October 2018 15:07
Kenaikan Harga BBM Bisa Jadi Obat Penawar
Foto: Peluncuran Mandatori B20 di Lapangan Kementerian Keuangan, Jumat (31/8/2018) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Lantas, bagaimana caranya supaya RI bisa bertahan dari ancaman sang “duet maut“ tersebut? Secara jangka panjang, penguatan hilirisasi migas dalam negeri perlu menjadi ujung tombak. Janji Presiden Joko Widodo untuk pembangunan serta revitalisasi kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi.

Tidak hanya itu, diversifikasi sumber energi primer pun perlu digalakkan. Munculnya kebijakan kewajiban campuran 20% minyak nabati ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM), atau akrab disebut B20, sebenarnya salah satu strategi yang ampuh.

Namun, segala bentuk bauran kebijakan tadi membutuhkan waktu untuk memberikan hasil yang optimal. Kebijakan B20 saja hingga saat ini masih terkendala seretnya pasokan. Pembangunan kilang minyak baru bahkan belum ada kabarnya hingga sekarang.

Di saat rupiah sudah "hancur" dan harga minyak terus melambung seperti ini, pemerintah perlu solusi bersifat quick-win. Langkah cepat dalam menahan laju impor migas perlu segera diambil. Cara yang paling cepat adalah membatasi konsumsi dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia dari data Global Petrol Price, kenaikan harga BBM rupanya sudah dilakukan beberapa negara yang mengalami krisis mata uang. Sebut saja Argentina dan Turki, yang telah menaikkan BBM masing-masing sebesar 30% dan 10,5% di periode Juni-Agustus 2018.

Sebagai catatan, mata uang Peso Argentina dan Lira Turki sudah terdepresiasi masing-masing sebesar 46,78% dan 37,59% dalam periode tersebut.

Sementara, Indonesia memang beberapa kali sudah melakukan penyesuaian harga BBM khususnya yang non-subsidi. Misalnya, Pertamax naik Rp 1.100,00/liter di tahun 2018, dari Rp 8.400,00/liter ke Rp 9.500,00/liter. Kemudian, Pertamax Turbo naik Rp 1.350,00/liter, dari Rp 9.350,00 ke Rp 10.700,00/liter.

Namun, masalahnya BBM jenis Premium tetap bertahan di level Rp 6.500,00/liter. Dengan kondisi premium tetap dipertahankan murah, justru membuka kemungkinan masyarakat beralih ke BBM jenis tersebut.

Akhirnya, kenaikan harga BBM non-subsidi justru tidak ampuh untuk mengurangi konsumsi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat bisa jadi ramai-ramai beralih ke premium. Konsumsi dan impor minyak pun tetap di level yang tinggi, dan defisit perdagangan migas tidak akan tertolong.

Belum lagi, Jokowi memutuskan untuk kembali membuka "keran" pasokan premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.

Padahal, berdasarkan data realisasi penyaluran Jenis BBM Umum Kementerian ESDM, realisasi distribusi BBM jenis premium (RON 88) hanya tinggal 1,39 juta KL pada Januari-Juni 2018. Masih kalah dari jenis Pertamax (RON 92) yang sebesar 3,05 juta KL. Yang artinya, masyarakat Jamali pun sebenarnya sudah mulai mengalihkan konsumsinya, dari Premium ke Pertamax.

Di situasi ini, nampaknya sudah saatnya pemerintah perlu memperhatikan saran berbagai pihak untuk menaikkan harga BBM, khususnya premium dan solar yang harganya masih relatif murah. Apalagi jika ingin mengurangi defisit CAD, dan menyelamatkan rupiah. Sekarang yang menghalangi hanyalah "gengsi" pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tahun politik.

(NEXT) (RHG/gus)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular