
Harga Minyak & Pelemahan Rupiah, Duet Maut yang Mengancam RI
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 October 2018 15:07

Gara-gara menyandang status negara net importir minyak, Indonesia lantas rentan terhadap dua faktor. Duet itu bernama kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan mata uang rupiah.
Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Di sepanjang tahun 2018, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 29,62% (hingga perdagangan tanggal 3 Oktober 2018). Rata-rata harganya di tahun ini sudah mencapai US$72,93/barel.
Di sisi lain, saat harga minyak melambung, nilai tukar rupiah justru terjun bebas. Di sepanjang tahun berjalan ini, rupiah sudah terdepresiasi di kisaran 11% terhadap dolar AS di pasar spot (hingga 3 Oktoer 2018).
Pelemahan rupiah kemudian membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam. Akibatnya, beban importase migas menjadi lebih besar.
Tak pelak, defisit perdagangan migas bengkak mencapai US8,35 miliar (Rp125 triliun) di periode Januari-Agustus 2018, atau naik hingga 55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menariknya, defisit perdagangan migas itu justru dua kali lipat lebih besar dibandingkan total defisit perdagangan barang RI di periode yang sama (US$4,11 miliar/Rp62 triliun). Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.
Jika “penyakit” ini semakin parah, bukan tidak mungkin defisit perdagangan migas menyamai rekor tertinggi sepanjang sejarah di tahun 2014, yakni di angka US$13,13 miiar.
Celakanya, gara-gara defisit perdagangan migas makin parah, rupiah jadi sulit untuk bergerak menguat. Hal ini membentuk semacam “lingkaran setan”. Mengapa demikian? Akibat defisit perdagangan yang semakin besar, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun berpotensi makin bengkak.
Sebagai informasi, CAD kuartal II-2018 sudah menembus 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian itu merupakan yang terparah sejak tahun 2014.
Padahal, CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa.
Saat CAD terpuruk, rupiah seakan tidak mempunyai pijakan yang solid untuk bisa bergerak menguat.
(NEXT)
(RHG/gus)
Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Di sepanjang tahun 2018, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 29,62% (hingga perdagangan tanggal 3 Oktober 2018). Rata-rata harganya di tahun ini sudah mencapai US$72,93/barel.
Pelemahan rupiah kemudian membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam. Akibatnya, beban importase migas menjadi lebih besar.
Tak pelak, defisit perdagangan migas bengkak mencapai US8,35 miliar (Rp125 triliun) di periode Januari-Agustus 2018, atau naik hingga 55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menariknya, defisit perdagangan migas itu justru dua kali lipat lebih besar dibandingkan total defisit perdagangan barang RI di periode yang sama (US$4,11 miliar/Rp62 triliun). Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.
Jika “penyakit” ini semakin parah, bukan tidak mungkin defisit perdagangan migas menyamai rekor tertinggi sepanjang sejarah di tahun 2014, yakni di angka US$13,13 miiar.
Celakanya, gara-gara defisit perdagangan migas makin parah, rupiah jadi sulit untuk bergerak menguat. Hal ini membentuk semacam “lingkaran setan”. Mengapa demikian? Akibat defisit perdagangan yang semakin besar, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun berpotensi makin bengkak.
Sebagai informasi, CAD kuartal II-2018 sudah menembus 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian itu merupakan yang terparah sejak tahun 2014.
Padahal, CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa.
Saat CAD terpuruk, rupiah seakan tidak mempunyai pijakan yang solid untuk bisa bergerak menguat.
(NEXT)
(RHG/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular