Harga Minyak & Pelemahan Rupiah, Duet Maut yang Mengancam RI

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 October 2018 15:07
Harga Minyak & Pelemahan Rupiah, Duet Maut yang Mengancam RI
Foto: Ilustrasi Suasana gedung bertingkat di Kawasan Jakarta (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC IndonesiaDua pekan terakhir, setidaknya ada dua milestone yang menyita perhatian pelaku pasar. Yang pertama, nilai tukar rupiah melemah hingga menembus Rp15.000/US$. Level itu merupakan titik terendah rupiah sejak Juli 1998.

Terlebih, pada pukul 12.00 WIB hari Kamis (4/10/2018), 1 US$ sudah hampir menyentuh Rp 15.200 di pasar spot.



Yang kedua, pada perdagangan hari Senin (24/09/2018), harga minyak jenis brent untuk pertama kalinya menembus level US$80/barel sejak November 2014. Tak cukup sampai situ, harganya terus menanjak hingga sempat menyentuh US$85/barel pada hari Selasa (2/10/2018).



Hal ini kemudian mengundang kekhawatiran investor. "Duet Maut" harga minyak yang tinggi dan rupiah yang melemah menjadi kombinasi yang menjadi ancaman besar bagi perekonomian RI. Mengapa demikian? Simak ulasan tim riset CNBC Indonesia.  

(NEXT)

Apabila ditinjau ke beberapa waktu lampau, Indonesia pernah masuk menjadi anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada 1962, dan pernah masuk jajaran 11 negara produsen minyak terbesar dunia.

Menurut British Petroleum (BP) World Statistic, produksi minyak bumi Indonesia sempat menyentuh 1,65 juta barel/hari, dengan surplus perdagangan minyak hingga US$6,57 miliar, pada tahun 1977.

Namun, Indonesia terlambat mendiversifikasi sumber energi utamanya untuk publik, sehingga konsumsi minyak kian membesar seiring makin besarnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi umum (bensin) dan juga untuk bahan bakar industri (solar).

Bahkan, Undang-Undang Migas (UU Migas) yang disahkan pada 2001 untuk mengatasi persoalan minyak bumi Indonesia malah diikuti dengan penurunan produksi minyak. Masih dari data BP, rata-rata produksi minyak Indonesia pada medio 1990-2001 berkisar 1,54 juta barel/hari. Namun, pada 2001, produksi turun menjadi 1,39 barel/hari.

Pada 1 dekade selanjutnya (2001-2010), rata-rata produksi minyak Indonesia menyusut ke kisaran 1,1 juta barel/hari. Artinya, UU Migas 2001 gagal memacu eksplorasi minyak yang baru.

Puncaknya, pada 2003, konsumsi minyak Indonesia sebesar 1,23 juta barel/hari sudah melebihi jumlah produksi yang hanya 1,18 juta barel/hari. Kondisi ini lantas memaksa Indonesia mengimpor lebih banyak minyak.

Pada tahun itu pula, Indonesia untuk pertama kalinya mencatatkan net impor (nilai impor lebih besar dari ekspor) minyak, yang berujung pada defisit perdagangan minyak US$ 414,7 juta.

Kondisi ini terus berlarut-larut karena Indonesia tidak kunjung berhasil menaikkan produksi minyak dalam negeri menyusul makin menuanya sumur minyak yang ada, plus terbatasnya eksplorasi sumur baru. Di sisi lain, permintaan terus meningkat akibat pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC pada 2008.

Teranyar, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan bahwa produksi minyak bumi Indonesia hanya tinggal 801.390 barel/hari di tahun lalu. Jumlah itu sudah turun sekitar setengahnya dari capaian di tahun 70-an.
(NEXT)




Gara-gara menyandang status negara net importir minyak, Indonesia lantas rentan terhadap dua faktor. Duet itu bernama kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan mata uang rupiah.

Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Di sepanjang tahun 2018, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 29,62% (hingga perdagangan tanggal 3 Oktober 2018). Rata-rata harganya di tahun ini sudah mencapai US$72,93/barel.

Di sisi lain, saat harga minyak melambung, nilai tukar rupiah justru terjun bebas. Di sepanjang tahun berjalan ini, rupiah sudah terdepresiasi di kisaran 11% terhadap dolar AS di pasar spot (hingga 3 Oktoer 2018).

Pelemahan rupiah kemudian membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam. Akibatnya, beban importase migas menjadi lebih  besar.

Tak pelak, defisit perdagangan migas bengkak mencapai US8,35 miliar (Rp125 triliun) di periode Januari-Agustus 2018, atau naik hingga 55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Menariknya, defisit perdagangan migas itu justru dua kali lipat lebih besar dibandingkan total defisit perdagangan barang RI di periode yang sama (US$4,11 miliar/Rp62 triliun). Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.

Jika “penyakit” ini semakin parah, bukan tidak mungkin defisit perdagangan migas menyamai rekor tertinggi sepanjang sejarah di tahun 2014, yakni di angka US$13,13 miiar.

Celakanya, gara-gara defisit perdagangan migas makin parah, rupiah jadi sulit untuk bergerak menguat. Hal ini membentuk semacam “lingkaran setan”. Mengapa demikian? Akibat defisit perdagangan yang semakin besar, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun berpotensi makin bengkak.

Sebagai informasi, CAD kuartal II-2018 sudah menembus 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian itu merupakan yang terparah sejak tahun 2014.

Padahal, CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa.

Saat CAD terpuruk, rupiah seakan tidak mempunyai pijakan yang solid untuk bisa bergerak menguat.

(NEXT)  


Lantas, bagaimana caranya supaya RI bisa bertahan dari ancaman sang “duet maut“ tersebut? Secara jangka panjang, penguatan hilirisasi migas dalam negeri perlu menjadi ujung tombak. Janji Presiden Joko Widodo untuk pembangunan serta revitalisasi kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi.

Tidak hanya itu, diversifikasi sumber energi primer pun perlu digalakkan. Munculnya kebijakan kewajiban campuran 20% minyak nabati ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM), atau akrab disebut B20, sebenarnya salah satu strategi yang ampuh.

Namun, segala bentuk bauran kebijakan tadi membutuhkan waktu untuk memberikan hasil yang optimal. Kebijakan B20 saja hingga saat ini masih terkendala seretnya pasokan. Pembangunan kilang minyak baru bahkan belum ada kabarnya hingga sekarang.

Di saat rupiah sudah "hancur" dan harga minyak terus melambung seperti ini, pemerintah perlu solusi bersifat quick-win. Langkah cepat dalam menahan laju impor migas perlu segera diambil. Cara yang paling cepat adalah membatasi konsumsi dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia dari data Global Petrol Price, kenaikan harga BBM rupanya sudah dilakukan beberapa negara yang mengalami krisis mata uang. Sebut saja Argentina dan Turki, yang telah menaikkan BBM masing-masing sebesar 30% dan 10,5% di periode Juni-Agustus 2018.

Sebagai catatan, mata uang Peso Argentina dan Lira Turki sudah terdepresiasi masing-masing sebesar 46,78% dan 37,59% dalam periode tersebut.

Sementara, Indonesia memang beberapa kali sudah melakukan penyesuaian harga BBM khususnya yang non-subsidi. Misalnya, Pertamax naik Rp 1.100,00/liter di tahun 2018, dari Rp 8.400,00/liter ke Rp 9.500,00/liter. Kemudian, Pertamax Turbo naik Rp 1.350,00/liter, dari Rp 9.350,00 ke Rp 10.700,00/liter.

Namun, masalahnya BBM jenis Premium tetap bertahan di level Rp 6.500,00/liter. Dengan kondisi premium tetap dipertahankan murah, justru membuka kemungkinan masyarakat beralih ke BBM jenis tersebut.

Akhirnya, kenaikan harga BBM non-subsidi justru tidak ampuh untuk mengurangi konsumsi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat bisa jadi ramai-ramai beralih ke premium. Konsumsi dan impor minyak pun tetap di level yang tinggi, dan defisit perdagangan migas tidak akan tertolong.

Belum lagi, Jokowi memutuskan untuk kembali membuka "keran" pasokan premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.

Padahal, berdasarkan data realisasi penyaluran Jenis BBM Umum Kementerian ESDM, realisasi distribusi BBM jenis premium (RON 88) hanya tinggal 1,39 juta KL pada Januari-Juni 2018. Masih kalah dari jenis Pertamax (RON 92) yang sebesar 3,05 juta KL. Yang artinya, masyarakat Jamali pun sebenarnya sudah mulai mengalihkan konsumsinya, dari Premium ke Pertamax.

Di situasi ini, nampaknya sudah saatnya pemerintah perlu memperhatikan saran berbagai pihak untuk menaikkan harga BBM, khususnya premium dan solar yang harganya masih relatif murah. Apalagi jika ingin mengurangi defisit CAD, dan menyelamatkan rupiah. Sekarang yang menghalangi hanyalah "gengsi" pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tahun politik.

(NEXT) Cara lainnya untuk menyelamatkan CAD adalah meningkatkan nilai tambah ekspor RI. Sejauh ini, hal tersebut masih menjadi masalah. Pasalnya, ekspor Indonesia masih terlalu bergantung kepada komoditas, hanya mengandalkan keunggulan komparatif. Akibatnya, ekspor Indonesia sangat tergantung pada harga komoditas global.

Saat harga komoditas seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet kinclong, ekspor Indonesia pun melonjak seperti yang terjadi pada 2006, 2011, atau 2017. Pada momentum-momentum itu, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus yang mengesankan karena ekspor jauh melebihi impor.

Namun saat harga CPO dan karet nyungsep, seperti tahun ini, ekspor ikut tiarap dan neraca perdagangan pun negatif. Pada Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan membukuka defisit US$ 4,09 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun sebelumnya masih surplus cukup besar yaitu US$ 9,07 miliar.

Oleh karena itu, Indonesia perlu memperbaiki struktur ekspor dengan mengutamakan barang jadi atau setengah jadi. Produk industri manufaktur.

Di sisi lain, saat ekonomi Indonesia terakselerasi, kecenderungan peningkatan impor juga terjadi. Seperti tahun ini. Pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan lebih baik dibandingkan 2017 yang 'hanya' 5,07%. Ini membuat impor melonjak.

Agar arus barang impor tidak deras saat ekonomi domestik pulih, lagi-lagi kuncinya adalah industrialisasi. Pembangunan industri substitusi impor sangat penting untuk menjaga arus devisa tidak mudah meninggalkan Indonesia.

Sayangnya, sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.



Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%. Tren ini harus segera diputus, jika tidak ingin perekonomian RI semakin terseok-seok.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular