Pekan Ini, Pelemahan Rupiah Terdalam Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 September 2018 10:12
Pekan Ini, Pelemahan Rupiah Terdalam Kedua di Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang pekan lalu. Kombinasi faktor eksternal dan domestik menjadi penyebab kelesuan mata uang Tanah Air. 

Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 0,57% terhadap dolar AS secara point-to-point di pasar spot. Dolar AS kembali menembus level 14.900 untuk kali pertama sejak awal September. 

 

Rupiah tidak sendirian, karena berbagai mata uang Asia juga melemah di hadapan greenback. Yen Jepang melemah 0,99%, yuan China melemah 0,18%, dolar Hong Kong melemah 0,24%, rupee India melemah 0,37%, dolar Singapura melemah 0,17%, dan ringgit Malaysia melemah 0,22%. Namun dengan depresiasi 0,57%, rupiah jadi mata uang dengan pelemahan terdalam kedua di Benua Kuning.  

Sepekan ini, dolar AS memang tak tertandingi. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melesat hingga 1,02%.

Memang ada cukup alasan untuk memburu dolar AS. Dari sisi eksternal setidaknya ada dua penyebab. 

Pertama adalah semakin tingginya tensi perang dagang AS vs China dan sepertinya belum ada penyelesaian yang jelas dalam waktu dekat. Awal pekan ini, AS mengenakan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 200 miliar. Langkah ini mengundang reaksi China, yang membalas dengan pengenaan bea masuk bagi impor produk AS senilai US$ 60 miliar. 

Sedianya AS mengajak China untuk melakukan perundingan dagang. Namun Beijing menolak ajak Washington. Bahkan China menuding AS melakukan penindasan dagang (trade bullyism) dengan ancaman bea masuk untuk mendapatkan keinginannya. 


Perang dagang yang berkecamuk tanpa solusi membuat pelaku pasar cemas. Maklum, saling hambat perdagangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tentu akan mempengaruhi arus dagang dan pertumbuhan ekonomi global.  

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,1%. Melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,3%. Penyebab perlambatan ini adalah perang dagang AS vs China yang mempengaruhi rantai pasok (supply chain) global. 


Akibatnya, investor pun memilih bermain aman karena tingginya risiko dan ketidakpastian ekonomi dunia. Aset-aset aman menjadi incaran, dan pilihan utamanya adalah dolar AS. 

Faktor kedua adalah keputusan The Federal Reserve/The Fed yang menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. Tidak berhenti sampai di situ, The Fed diperkirakan kembali menaikkan suku bunga pada Desember. 


Kenaikan suku bunga acuan akan meningkatkan imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) di AS. Dilandasi pencarian cuan, investor kembali merapat ke AS. Permintaan dolar AS yang meningkat membuat mata uang ini semakin mahal alias menguat. 

Sedangkan dari dalam negeri, tekanan yang dialami rupiah bersumber dari jelang berakhirnya kuartal III-2018. Biasanya kebutuhan valas korporasi meningkat seiring jadwal pembayaran dividen atau utang luar negeri. Impor juga masih deras karena akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik. 

Rupiah pun mengalami tekanan jual karena korporasi butuh valas. Akibatnya jelas, tekanan terhadap rupiah kian menjadi.

Keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate tidak banyak membantu pekan ini. Bahkan pada Kamis, saat kenaikan suku bunga acuan diumumkan, rupiah malah melemah. 


Baru pada Jumat dampak kenaikan ini mulai terasa. Didorong oleh hasrat memperoleh keuntungan dari kenaikan suku bunga, investor asing masuk ke pasa keuangan Indonesia dan berhasil membuat rupiah menguat 0,08% pada akhir pekan. 


Namun penguatan ini sudah terlambat, karena tidak bisa mengompensasi depresiasi yang terjadi sebelumnya. Hasilnya, rupiah mengalami depresiasi terdalam kedua di Asia. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular