Akibat Perang Dagang, Ekonomi Global 2019 Direvisi Melambat

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
24 September 2018 13:18
Tensi perang dagang global kini telah tereskalasi cukup serius, hingga mengancam pertumbuhan ekonomi dunia.
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC IndonesiaTensi perang dagang global kini telah tereskalasi cukup serius, hingga mengancam pertumbuhan ekonomi dunia.

Perkembangan perang dagang Amerika Serikat (AS) - China memaksa Fitch Ratings untuk menurunkan level proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) global pada 2019. Hal itu tercermin dari laporan Global Economic Outlook (GEO) terbaru yang dikeluarkan lembaga tersebut.

"Perang dagang saat ini menjadi sebuah realitas," ujar Kepala Ekonom Fitch Ratings Brian Coulton.

"Pengumuman bea masuk AS teranyar terhadap impor dari China senilai US$200 miliar, akan menimbulkan dampak material pada pertumbuhan ekonomi global. Dan meskipun kita sekarang memasukkan shock bea masuk 25% pada baseline GEO, risiko pelemahan bagi proyeksi pertumbuhan dunia kita juga ikut meningkat," tambah Coulton.

Sebagaimana diketahui, pada awal pekan lalu Presiden AS Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan menerapkan bea masuk baru bagi importasi produk made in China senilai US$200 miliar per 24 September. Tarif yang dikenakan adalah 10%, tetapi akan naik menjadi 25% pada akhir tahun.


China kemudian memutuskan untuk membalas kebijakan AS dengan membebankan bea masuk 10% untuk importasi produk made in USA senilai US$60 miliar, juga berlaku mulai 24 September. Ada 5.207 produk asal AS yang masuk daftar kena bea masuk baru ini. Mulai dari gas alam cair (LNG), pesawat terbang, bubuk kakao, sampai sayuran beku.

Proyeksi ekonomi global terbaru yang dibuat oleh Fitch Ratings telah mencakup eskalasi teranyar dari kisruh dagang AS-China tersebut. Hasilnya pertumbuhan ekonomi China diproyeksikan menurun 0,2 persen poin ke 6,1% pada 2019, dibandingkan proyeksi sebelumnya di laporan GEO bulan Juni.

Sedangkan, pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 diestimasi melambat 0,1% ke 3,1%, dibandingkan proyeksi di Juni.

Meski adanya penyesuaian proyeksi tersebut, prospek pertumbuhan ekonomi dunia dalam jangka pendek masih tetap kuat. Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan mencapai 3,3% pada akhir tahun ini. Capaian itu naik dari pertumbuhan sebesar 3,2% di tahun 2017, sekaligus jauh mengungguli rata-rata historis jangka panjang (tahun 1990 ke atas) sebesar 2,6%. 


Akan tetapi, Fitch menyampaikan pertumbuhan saat ini menjadi kurang seimbang dan tersinkronisasi. Permintaan agregat kini melaju lebih cepat pada ekonomi dengan marjin spare capacity terkecil, seperti contoh AS. Hal ini lantas meningkatkan divergensi kebijakan moneter global, yang akhirnya memperparah volatilitas nilai tukar.

Salah satu alasan bagi divergensi prospek pertumbuhan global adalah kebijakan fiskal, di mana AS menerapkan kebijakan fiskal ekspansif yang agresif sementara di zona Eropa cenderung lebih netral.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam tahun 2018 direvisi naik 0,1% ke 2,9%, sedangkan pertumbuhan zona Eropa diproyeksi lebih rendah 0,3% ke 2% di tahun yang sama. Fitch Ratings berpendapat bahwa pertumbuhan zona Eropa semakin jelas  mencapai puncaknya.

Sementara itu, seiring adanya ekspektasi pengetatan kuantitatif global pada tahun depan, naiknya biaya penggalian dana dalam dolar AS nampaknya masih akan berlanjut. Hal ini akan terus menciptakan tekanan bagi pihak peminjam di pasar kredit global, mengingat peran greenback yang dominan di pembiayaan internasional. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan negara berkembang.

Fitch Ratings memroyeksikan pertumbuhan ekononomi negara berkembang di 2018 menurun 0,1 persen poin ke 5,2%, dibandingkan proyeksi GEO edisi Juni. Adapun untuk 2019, ekonomi negara berkembang juga direvisi turun 0,3% ke 4,8%.

Sebagai penutup, perlambatan ekonomi global di 2019 akan dibarengi dengan transisi pada kebijakan moneter global. Fitch Ratings mengekspektasikan penurunan kombinasi jumlah aset pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) dari 4 bank sentral dunia (The Federal Reserve/The Fed, European Central Bank/ECB, Bank of Japan/BoJ, dan Bank of England/BoE) di tahun 2019.

"Dengan QE 4 bank sentral telah menghabiskan lebih dari US$1 triliun aset per tahun secara rata-rata sejak 2009, penurunan pada likuiditas bank sentral nampaknya semakin jelas (pada tahun depan). Hal ini termasuk naiknya tekanan pada yield obligasi global, dan menambah volatilitas pasar keuangan," jelas Coulton.

(RHG/wed) Next Article Aduh, Perlambatan Ekonomi Global di Depan Mata

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular