Bunga Acuan BI Naik, Siap-siap Pertumbuhan Ekonomi Melambat
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 September 2018 15:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan. Dengan demikian, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps) sepanjang 2018.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi September 2018, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 7 days Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Langkah ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, bahkan menyatakan posisi (stance) kebijakan moneter bank sentral tetap hawkish alias bias ketat. Ini memberikan sinyal bahwa kenaikan suku bunga kemarin bukan yang terakhir, masih ada kelanjutannya.
Apa yang membuat BI yang semula memasang gigi netral berubah menjadi full speed? Jawabannya cukup satu kata: rupiah.
Menjaga stabilitas ekonomi, utamanya stabilitas nilai tukar, menjadi prioritas utama BI (dan pemerintah) dalam jangka pendek. Maklum, tekanan terhadap rupiah tahun ini memang lumayan berat.
Sepanjang 2018, rupiah sudah amblas 9% di hadapan dolar Amerika Serikat. Di antara mata uang utama Asia, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam kedua. Rupiah hanya lebih baik ketimbang rupee India.
Dapat dimaklumi jika BI fokus menyelamatkan rupiah. Sebab, yang namanya pelemahan rupiah bukan hal yang enak.
Sering disebutkan bahwa pelemahan rupiah adalah momentum untuk meningkatkan kinerja ekspor karena harga produk Indonesia di pasar global bisa lebih murah. Namun itu bisa berlaku jika yang diekspor adalah barang jadi, produk manufaktur. Sebab, produk manufaktur punya keunggulan kompetitif yang sensitif terhadap kurs.
Beda ceritanya kalau yang diekspor kebanyakan adalah komoditas, seperti Indonesia yang lebih lebih dari 50% ekspornya adalah komoditas. Ekspor komoditas lebih dipengaruhi oleh harga dan permintaan, bukan nilai tukar, karena hanya memiliki keunggulan komparatif.
Di pasar keuangan, depresiasi rupiah juga bukan kabar baik. Saat rupiah melemah, dan prospek ke depannya akan tetap seperti itu, maka investor akan menghindari rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini.
Akibatnya rupiah semakin lemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot, imbal hasil (yield) obligasi melonjak. Membayangkannya saja sudah mengerikan, apalagi kalau sampai kejadian.
Lagipula, salah satu mandat BI memang menjaga stabilitas rupiah terhadap mata uang negara-negara lain. Jadi memang cocok kalau BI menerapkan skema gung ho untuk menjaga rupiah. All out attack.
Namun, kenaikan suku bunga acuan bukan tanpa efek samping. Bahkan dapat berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi September 2018, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 7 days Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Langkah ini sudah sesuai dengan ekspektasi pasar.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, bahkan menyatakan posisi (stance) kebijakan moneter bank sentral tetap hawkish alias bias ketat. Ini memberikan sinyal bahwa kenaikan suku bunga kemarin bukan yang terakhir, masih ada kelanjutannya.
Apa yang membuat BI yang semula memasang gigi netral berubah menjadi full speed? Jawabannya cukup satu kata: rupiah.
Menjaga stabilitas ekonomi, utamanya stabilitas nilai tukar, menjadi prioritas utama BI (dan pemerintah) dalam jangka pendek. Maklum, tekanan terhadap rupiah tahun ini memang lumayan berat.
Sepanjang 2018, rupiah sudah amblas 9% di hadapan dolar Amerika Serikat. Di antara mata uang utama Asia, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam kedua. Rupiah hanya lebih baik ketimbang rupee India.
Dapat dimaklumi jika BI fokus menyelamatkan rupiah. Sebab, yang namanya pelemahan rupiah bukan hal yang enak.
Sering disebutkan bahwa pelemahan rupiah adalah momentum untuk meningkatkan kinerja ekspor karena harga produk Indonesia di pasar global bisa lebih murah. Namun itu bisa berlaku jika yang diekspor adalah barang jadi, produk manufaktur. Sebab, produk manufaktur punya keunggulan kompetitif yang sensitif terhadap kurs.
Beda ceritanya kalau yang diekspor kebanyakan adalah komoditas, seperti Indonesia yang lebih lebih dari 50% ekspornya adalah komoditas. Ekspor komoditas lebih dipengaruhi oleh harga dan permintaan, bukan nilai tukar, karena hanya memiliki keunggulan komparatif.
Di pasar keuangan, depresiasi rupiah juga bukan kabar baik. Saat rupiah melemah, dan prospek ke depannya akan tetap seperti itu, maka investor akan menghindari rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini.
Akibatnya rupiah semakin lemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot, imbal hasil (yield) obligasi melonjak. Membayangkannya saja sudah mengerikan, apalagi kalau sampai kejadian.
Lagipula, salah satu mandat BI memang menjaga stabilitas rupiah terhadap mata uang negara-negara lain. Jadi memang cocok kalau BI menerapkan skema gung ho untuk menjaga rupiah. All out attack.
Namun, kenaikan suku bunga acuan bukan tanpa efek samping. Bahkan dapat berujung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Next Page
Investasi dan Konsumsi Bakal Terhambat
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular