Jumlah kantor yang memberikan jasa keuangan masih kecil. Ini terlihat dari data bulan Juli 2018, dimana jumlah kantor yang ada per 100 ribu orang dewasa hanya 16 unit. Angka ini bahkan stagnan sejak tahun 2015.
Sejak tahun 2012-2014, jumlah kantor layanan hanya bertambah satu. Kondisi ini mulai bertambah pada tahun 2015 dan stagnan hingga saat ini. Minimnya jumlah kantor, jelas berpengaruh terhadap program inklusi keuangan. Masyarakat akan lebih memilih layanan keuangan kepada seseorang yang dikenal, seperti meminjam uang kepada rentenir.
Terbatas jumlah kantor layanan keuangan berimbas kepada jumlah mesin ATM yang ada. Per Juli 2018, jumlah mesin ATM per 100 ribu dewasa hanya mencapai 55 unit. Jumlah ini belum bertambah sejak awal tahun.
Sebenarnya sejak tahun 2012, jumlah mesin ATM menunjukkan perkembangan signifikan. Dari hanya berjumlah 36 unit, bertambah jadi 42 unit di 2013. Tren ini berlanjut di 2014 dimana mesin ATM bertambah jadi 50 unit. Di tahun 2015, angka ini kembali bertambah ke 53 unit dan di 2016 mencapai 55 unit. Sementara di tahun 2017, mesin hanya bertambah 1 unit menjadi 56 unit.
Pada 2018 ini, justru ada kecenderungan mesin ATM bergerak turun. Meskipun hanya satu unit, namun tetap saja bisa berdampak kepada kemudahan masyarakat yang ingin mengambil uangnya. Padahal dengan melimpahnya ATM, bisa mendorong masyarakat membuka rekening di bank. Bank BCA misalnya, ATM bank tersebut mudah ditemui. Dampaknya, banyak masyarakat memilih untuk buka rekening di bank tersebut.
Indikator ketiga yaitu jumlah rekening simpanan masyarakat. Per Juli 2018, jumlah rekening DPK perbankan per 1000 penduduk dewasa mencapai 1,461 unit.
Sejak 2012, tren nasabah yang membuka rekening bank terus bergerak naik. Dari sekitar 708 unit, angka ini bertambah hingga dua kali lipat pada 2018 ini. Kenaikan jumlah rekening mengidikasikan, masyarakat mulai melek terhadap layanan perbankan.
Namun yang menjadi masalah, apakah ini masyarakat di perkotaan atau pedesaan? Jika masyarakat perkotaan, rasanya penambahan jumlah rekening wajar mengingat kemudahan menemukan bank-bank.
Lantas bagaimana di pedesaan? praktis hanya bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri dan BNI hingga BRI yang mampu melakukannya. Akan tetapi, jumlahnya tentu terbatas. Praktis masyarakat pedesaan menggunakan jasa layanan koperasi, yang notabene bukan termasuk institusi keuangan. Penambahan jumlah rekening memang jadi cerminan semakin banyak masyarakat yang melek jasa keuangan. Namun tugas pengembangan inklusi keuangan belumlah cukup.
Indikator terakhir yaitu jumlah rekening kredit perbankan. Per Juli 2018, jumlah rekening kredit per 1000 penduduk dewasa hanya berjumlah 224 unit. Angka ini hanya bertambah sebanyak empat unit sejak awal tahun.
Sejak 2012 hingga 2017, jumlah rekening justru bergerak turun. Dari sebelumnya 223 unit menjadi 222 unit. Minimnya penambahan jumlah rekening, mengindikasikan nasabah yang menggunakan layanan kredit untuk kebutuhan sehari-hari masih minim.
Di tengah kondisi perekonomian Indonesia fluktuatif, masyarakat enggan mengambil risiko untuk mengajukan kredit ke perbankan. Terlebih dengan dengan syarat administrasi yang harus disiapkan, menyebabkan masyarakat semakin enggan meminjam ke lembaga keuangan.
Situasi ini tentu menghambat tujuan program inklusi keuangan, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya menengah ke bawah. Di tengah berbagai risiko yang dihadapi, tidak aneh jika masyarakat lebih memilih main aman daripada meminjam ke perbankan atau sejenisnya.
Gambaran dari perkembangan ini memperlihatkan, program inklusi keuangan masih memiliki tugas kedepannya. Bagaimana meningkatkan kesiapan infrastruktur di lapangan hingga meningkatkan penyuluhan ke masyarakat tentang pentingnya layanan keuangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA