Bak Roller Coaster Pekan Lalu, Kini Harga Minyak Flat

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 September 2018 10:44
Awal pekan ini harga minyak masih cenderung stabil pasca sepanjang pekan lalu bergerak naik turun bak roller coaster.
Foto: REUTERS/Andrew Cullen
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga minyak jenis brent kontrak pengiriman November 2018 naik tipis 0,05% ke level US$78,13/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak Oktober 2018 terkoreksi tipis 0,03% ke US$68,97/barel, pada hari ini Senin (17/9/2018) hingga jam 10.18 WIB.

Harga minyak hari ini masih cenderung stabil pasca sepanjang pekan lalu bergerak naik turun bak roller coaster. Sentimen positif datang silih berganti menjatuhkan dan menopang harga sang emas hitam dalam seminggu terakhir.

Beruntungnya, harga minyak masih mampu mencetak performa mingguan yang positif. Sepanjang pekan lalu, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) naik 1,83%, sementara brent yang menjadi acuan di Eropa menguat 1,64%.



Pekan lalu, harga minyak masih ditopang oleh sejumlah sentimen positif. Pertama, sanksi AS terhadap Iran. Sanksi ini akan menyasar ekspor minyak mentah dari Teheran pada November 2018 mendatang.

Konsultan energi FGE menyatakan bahwa sebagian besar pelanggan minyak mentah Iran seperti India, Jepang, dan Korea Selatan sudah memangkas pembelian minyak mentah Negeri Persia.

Sebelumnya, pemerintah India dikabarkan mengizinkan kilang minyak di negaranya untuk mengimpor minyak dari Iran, dengan syarat Iran mau mengelola dan mengasuransikan tanker minyak. Namun, perusahaan-perusahaan minyak cenderung tidak mau mengambil risiko bertentangan dengan AS.

Per akhir Agustus, Organisasi Negara-Negara Eksportir Minyak (OPEC) mencatat ekspor dari Iran adalah 7,59 juta barel/hari. Turun dibandingkan sebulan sebelumnya yaitu 9,54 juta barel/hari.

Kedua, cadangan minyak mentah AS turun sebanyak 8,6 juta barel ke 395,9 juta barel pada pekan lalu, mengutip data dari American Petroleum Institute (API). Capaian itu anjlok lebih dalam dari ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 805.000 barel.

Sementara itu, stok minyak mentah di Cushing, Oklahoma, pusat pengiriman ke AS berkurang sebesar 1,2 juta barel. Sebagai informasi, data resmi dari US Energy Information Adminisration (EIA) akan dirilis pada malam ini pukul 21.30 WIB.

Ketiga, sejumlah orang bersenjata menyerang kantor pusat National Oil Corporation (NOC) Libya di ibukota Tripoli pada hari Senin (10/9/2018). Peristiwa tersebut memberikan sentimen bahwa pasokan minyak dari Libya masih berpotensi mengalami disrupsi akibat konflik yang masih terjadi.

Sejak 2014, produksi minyak mentah Libya telah terganggu oleh serangan dan blokade pada fasilitas perminyakan, meski pada tahun lalu sebagian dari sarana tersebut sudah mampu pulih dan memproduksi minyak sekitar 1 juta barel/hari.

Meski demikian, pekan lalu harga minyak juga belum bisa menguat banyak-banyak. Pasalnya, permintaan global kini diproyeksikan melemah akibat perang dagang global.

BACA: Risiko Ekonomi Global Tinggi, Harga Minyak Dalam Tekanan

Mengutip Reuters, sejumlah perusahaan AS yang berlokasi di China sudah mulai "terluka" akibat aksi balas tarif AS-China yang terus berkembang, yang akhirnya kini berujung pada protes pada pemerintahan Presiden AS Donald Trump untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya.

Jumat pekan lalu, Trump mengatakan siap mengenakan bea masuk terhadap berbagai produk China senilai US$267 miliar selain US$200 miliar yang sedang dipertimbangkan.

Potensi lesunya permintaan minyak mulai disampaikan oleh OPEC yang pekan lalu memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global tahun 2019.

Dalam laporan bulanannya, kartel minyak ini mengestimasi permintaan minyak global pada tahun depan akan meningkat 1,41 juta barel/hari. Jumlah itu turun sebanyak 20.000 barel/hari dari prediksi bulan lalu.

Senada dengan OPEC, International Energy Agency (IEA) menyatakan bahwa permintaan minyak dunia akan masih kuat, hingga melebihi 100 juta barel/hari, pada 3 bulan ke depan. Meski demikian, IEA mempredikisikan penurunan ke angka 99,3 juta barel/hari pada kuartal I-2019.

"Seiring kita bergerak ke 2019, risiko bagi proyeksi kita datang dari ekonomi negara-negara berkembang, sebagian akibat depresiasi mata uang versus penguatan dolar AS, menaikkan biaya untuk importase energi. Sebagai tambahan, terdapat risiko yang berkembang dari eskalasi perang dagang," tulis IEA, seperti dikutip dari Reuters.

Pada akhir pekan, tekanan dari perang dagang AS-China semakin besar. Trump lagi-lagi berulah. Orang no. 1 di AS itu dikabarkan telah menginstruksikan para pembantunya untuk memroses tarif baru sebesar US$200 miliar, seperti dilansir dari Reuters pada hari Jumat (14/9/2018). Padahal, pihak AS sudah merencanakan diskusi perdagangan dengan China sebelumnya.

Sentimen mencuatnya perang dagang AS-China nampaknya masih membayangi pergerakan harga minyak pagi ini. Apalagi ada perkembangan mengejutkan dari Trump pada akhir pekan lalu. AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi. Ketika mereka terlibat friksi, dampaknya adalah arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia akan terhambat.

Saat perekonomian dunia melambat akibat tensi perang dagang global, maka permintaan energi global yang menjadi taruhannya.

    

(RHG/gus) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular