
4 Alasan Harga Minyak Capai Rekor Tertinggi Dalam 3,5 Bulan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
12 September 2018 10:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman November 2018 naik 0,63% ke level US$79,56/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak Oktober 2018 menguat s sebesar 1,21% ke US$70,09/barel, pada perdagangan hari ini hingga pukul 10.09 WIB.
Harga minyak mampu melanjutkan kenaikan signifikan pada sehari sebelumnya, di mana harga sang emas hitam kompak ditutup menguat 2% lebih.
Dengan reli yang masih berlanjut hingga pagi ini, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa mampu menyentuh titik tertingginya dalam 3,5 bulan terakhir, atau sejak 23 Mei 2018. Harga brent saat ini sudah kembali mendekati level US$80/barel.
Berbagai macam sentimen positif berhasil menjadi bahan bakar kenaikan harga minyak yang begitu kencang. Pertama, sanksi AS terhadap Iran yang akan menyasar ekspor minyak mentah dari Teheran pada November 2018 mendatang.
Konsultan energi FGE menyatakan bahwa sebagian besar pelanggan minyak mentah Iran seperti India, Jepang, dan Korea Selatan sudah memangkas pembelian minyak mentah Negeri Persia.
Seperti diketahui, Washington memberikan ancaman bagi negara-negara lain yang mengimpor minyak mentah dari Iran, dengan tujuan mengurangi ekspor minyak mentah Teheran hingga sebanyak-banyaknya.
Teranyar, perusahaan minyak milik negara di India yaitu Bharat Petroleum Corp tidak lagi membeli minyak dari Iran mulai Oktober. Namun untuk bulan ini, perusahaan tersebut masih membeli minyak dari Iran sebanyak 1 juta barel.
Per akhir Agustus, Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) mencatat ekspor dari Iran adalah 7,59 juta barel/hari. Turun dibandingkan sebulan sebelumnya yaitu 9,54 juta barel/hari.
Pada akhir September, OPEC memperkirakan pasokan minyak dari Iran tinggal 800.000 barel/hari. Anjloknya pasokan minyak dari Iran tersebut tentu mempengaruhi pembentukan harga. Pasokan yang berkurang lumayan drastis membuat harga terkerek ke atas.
Kedua, cadangan minyak mentah AS turun sebanyak 8,6 juta barel ke 395,9 juta barel pada pekan lalu, mengutip data dari American Petroleum Institute (API). Capaian itu anjlok lebih dalam dari ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 805.000 barel.
Sementara itu, stok minyak mentah di Cushing, Oklahoma, pusat pengiriman ke AS berkurang sebesar 1,2 juta barel. Sebagai informasi, data resmi dari US Energy Information Adminisration (EIA) akan dirilis pada malam ini pukul 21.30 WIB.
Ketiga, sejumlah orang bersenjata menyerang kantor pusat National Oil Corporation (NOC) Libya di ibukota Tripoli pada hari Senin (10/9/2018). Peristiwa tersebut memberikan sentimen bahwa pasokan minyak dari Libya masih berpotensi mengalami disrupsi akibat konflik yang masih terjadi.
Sejak 2014, produksi minyak mentah Libya telah terganggu oleh serangan dan blokade pada fasilitas perminyakan, meski pada tahun lalu sebagian dari sarana tersebut sudah mampu pulih dan memproduksi minyak sekitar 1 juta barel/hari.
Keempat, setelah ancaman Badai Gordon lewat, kini giliran Badai Florence yang mengancam pesisir timur AS. Badai ini diproyeksikan menyebabkan longsor di sejumlah titik di pesisir timur AS, dan diprediksikan menganggu produksi minyak di daerah tersebut.
Evakuasi jutaan rumah tangga dan perusahaan di pesisir timur AS kini sudah dilakukan pemerintah AS, dan kemungkinan akan menyebabkan operasi produksi serta pengilangan minyak di daerah tersebut akan terhenti untuk sementara.
(RHG/gus) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel
Harga minyak mampu melanjutkan kenaikan signifikan pada sehari sebelumnya, di mana harga sang emas hitam kompak ditutup menguat 2% lebih.
Dengan reli yang masih berlanjut hingga pagi ini, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa mampu menyentuh titik tertingginya dalam 3,5 bulan terakhir, atau sejak 23 Mei 2018. Harga brent saat ini sudah kembali mendekati level US$80/barel.
Berbagai macam sentimen positif berhasil menjadi bahan bakar kenaikan harga minyak yang begitu kencang. Pertama, sanksi AS terhadap Iran yang akan menyasar ekspor minyak mentah dari Teheran pada November 2018 mendatang.
Konsultan energi FGE menyatakan bahwa sebagian besar pelanggan minyak mentah Iran seperti India, Jepang, dan Korea Selatan sudah memangkas pembelian minyak mentah Negeri Persia.
Seperti diketahui, Washington memberikan ancaman bagi negara-negara lain yang mengimpor minyak mentah dari Iran, dengan tujuan mengurangi ekspor minyak mentah Teheran hingga sebanyak-banyaknya.
Teranyar, perusahaan minyak milik negara di India yaitu Bharat Petroleum Corp tidak lagi membeli minyak dari Iran mulai Oktober. Namun untuk bulan ini, perusahaan tersebut masih membeli minyak dari Iran sebanyak 1 juta barel.
Per akhir Agustus, Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) mencatat ekspor dari Iran adalah 7,59 juta barel/hari. Turun dibandingkan sebulan sebelumnya yaitu 9,54 juta barel/hari.
Pada akhir September, OPEC memperkirakan pasokan minyak dari Iran tinggal 800.000 barel/hari. Anjloknya pasokan minyak dari Iran tersebut tentu mempengaruhi pembentukan harga. Pasokan yang berkurang lumayan drastis membuat harga terkerek ke atas.
Kedua, cadangan minyak mentah AS turun sebanyak 8,6 juta barel ke 395,9 juta barel pada pekan lalu, mengutip data dari American Petroleum Institute (API). Capaian itu anjlok lebih dalam dari ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 805.000 barel.
Sementara itu, stok minyak mentah di Cushing, Oklahoma, pusat pengiriman ke AS berkurang sebesar 1,2 juta barel. Sebagai informasi, data resmi dari US Energy Information Adminisration (EIA) akan dirilis pada malam ini pukul 21.30 WIB.
Ketiga, sejumlah orang bersenjata menyerang kantor pusat National Oil Corporation (NOC) Libya di ibukota Tripoli pada hari Senin (10/9/2018). Peristiwa tersebut memberikan sentimen bahwa pasokan minyak dari Libya masih berpotensi mengalami disrupsi akibat konflik yang masih terjadi.
Sejak 2014, produksi minyak mentah Libya telah terganggu oleh serangan dan blokade pada fasilitas perminyakan, meski pada tahun lalu sebagian dari sarana tersebut sudah mampu pulih dan memproduksi minyak sekitar 1 juta barel/hari.
Keempat, setelah ancaman Badai Gordon lewat, kini giliran Badai Florence yang mengancam pesisir timur AS. Badai ini diproyeksikan menyebabkan longsor di sejumlah titik di pesisir timur AS, dan diprediksikan menganggu produksi minyak di daerah tersebut.
Evakuasi jutaan rumah tangga dan perusahaan di pesisir timur AS kini sudah dilakukan pemerintah AS, dan kemungkinan akan menyebabkan operasi produksi serta pengilangan minyak di daerah tersebut akan terhenti untuk sementara.
(RHG/gus) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular