
4 Alasan Harga Minyak Cetak Rekor Tertinggi Dalam 6 Minggu
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 August 2018 10:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Oktober 2018 menguat 0,82% ke level US$77,77/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak Oktober 2018 juga naik sebesar 1,06% ke US$70,25/barel, pada penutupan perdagangan hari Kamis (30/08/2018).
Dengan pergerakan itu, harga minyak jenis brent yang menjadi acuan di Eropa masih betah berada di level tertingginya dalam nyaris 2 bulan terakhir, atau sejak 10 Juli 2018.
Sementara itu, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) juga berada di titik tertingginya dalam 6 pekan terakhir, atau sejak 20 Juli 2018.
Harga sang emas hitam mendapat suntikan energi dari empat sentimen positif. Pertama, dari cadangan minyak mentah AS yang jatuh 2,6 juta barel pada pekan lalu, seperti dilaporkan US Energy Information Administration (EIA). Penurunan itu lebih dalam dari konsensus yang dihimpun Reuters yang meramal pengurangan sebesar 680.000 barel.
Cadangan Bahan Bakar Minyak (BBM) turun 1,6 juta barel, jatuh lebih dalam dari pasar yang mengekspektasikan penambahan sebesar 370.000 barel. Sementara itu, cadangan distilat (termasuk diesel dan minyak pemanas), turun 837.000 barel, juga meleset dari konsensus yang mengestimasikan kenaikan sebesar 1,6 juta barel.
Kedua, harga minyak juga ditopang oleh investor yang masih mengkhawatirkan sanksi AS terhadap Iran, yang mana akan menargetkan industri perminyakan Negeri Persia per November 2018. Akibat tekanan dari Negeri Paman Sam tersebut, banyak pembeli minyak mentah dari Iran mulai mengurangi pemesanannya.
Meski Teheran sudah memberikan diskon lumayan besar, total volume minyak mentah (termasuk kondensat) yang diekspor Iran diestimasikan hanya sekitar 64 juta barel, atau 2,06 juta barel/hari, pada bulan ini.Jumlah itu turun lumayan signifikan dari puncaknya di April 2018, yakni sebesar 92,8 juta barel atau 3,09 juta barel/hari.
Ketiga, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yakni Angola, merilis rencana pendahuluan ekspor yang mengindikasikan bahwa pengiriman mereka jatuh ke level terendahnya sejak Desember 2006. Penyebabnya adalah kurangnya investasi di infrastruktur yang sudah tua, sehingga membatasi produksi.
Keempat, International Energy Agency (IEA) memperingatkan bahwa pasar minyak global dapat lebih seret hingga akhir tahun ini, seiring permintaan yang kuat dan ketidakpastian produksi di beberapa negara produsen.
Kepala IEA, Fatih Birol, menyatakan bahwa masalah utama adalah produksi minyak Venezuela yang runtuh, seperti dikutip dari Reuters. Sebagai tambahan, Birol menyatakan produksi Venezuela terpangkas setengahnya dalam 2 tahun terakhir, menjadi sekitar 1 juta barel/hari, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Birol bahkan mengestimasikan produksi Venezuela jatuh lebih dalam di semester II-2018 ini.
BACA: Harga Minyak Rekor Tertinggi Dalam 1,5 Bulan, Ini Alasannya
Meski demikian, hingga pukul 9.45 WIB hari ini, harga minyak masih stabil cenderung melemah. Harga minyak light sweet terpantau terkoreksi 0,01% ke US$70,24/barel, sedangkan harga brent turun 0,09% ke US$77,7/barel
Penguatan harga minyak hari ini agak terbatas oleh kekhawatiran investor terhadap perang dagang AS-China. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Trump tengah menggodok rencana pengenaan bea masuk itu, dan kini sedang dalam fase dengar pendapat yang dimulai 20 Agustus sampai 6 September. Setelah dengar pendapat ini selesai, Trump dikabarkan langsung mengeksekusi bea masuk tersebut.
Gedung Putih menolak memberikan konfirmasi mengenai kebenaran kabar tersebut. Namun, pemberitaannya saja sudah cukup untuk membuat pelaku pasar khawatir. Jika perang dagang bertambah parah, sudah pasti pertumbuhan ekonomi global yang akan menjadi korban. Alhasil, pelaku pasar pun mencemaskan bahwa permintaan energi dunia bisa terkena dampak negatif.
(RHG/gus) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel
Dengan pergerakan itu, harga minyak jenis brent yang menjadi acuan di Eropa masih betah berada di level tertingginya dalam nyaris 2 bulan terakhir, atau sejak 10 Juli 2018.
Sementara itu, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) juga berada di titik tertingginya dalam 6 pekan terakhir, atau sejak 20 Juli 2018.
Harga sang emas hitam mendapat suntikan energi dari empat sentimen positif. Pertama, dari cadangan minyak mentah AS yang jatuh 2,6 juta barel pada pekan lalu, seperti dilaporkan US Energy Information Administration (EIA). Penurunan itu lebih dalam dari konsensus yang dihimpun Reuters yang meramal pengurangan sebesar 680.000 barel.
Cadangan Bahan Bakar Minyak (BBM) turun 1,6 juta barel, jatuh lebih dalam dari pasar yang mengekspektasikan penambahan sebesar 370.000 barel. Sementara itu, cadangan distilat (termasuk diesel dan minyak pemanas), turun 837.000 barel, juga meleset dari konsensus yang mengestimasikan kenaikan sebesar 1,6 juta barel.
Kedua, harga minyak juga ditopang oleh investor yang masih mengkhawatirkan sanksi AS terhadap Iran, yang mana akan menargetkan industri perminyakan Negeri Persia per November 2018. Akibat tekanan dari Negeri Paman Sam tersebut, banyak pembeli minyak mentah dari Iran mulai mengurangi pemesanannya.
Meski Teheran sudah memberikan diskon lumayan besar, total volume minyak mentah (termasuk kondensat) yang diekspor Iran diestimasikan hanya sekitar 64 juta barel, atau 2,06 juta barel/hari, pada bulan ini.Jumlah itu turun lumayan signifikan dari puncaknya di April 2018, yakni sebesar 92,8 juta barel atau 3,09 juta barel/hari.
Ketiga, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yakni Angola, merilis rencana pendahuluan ekspor yang mengindikasikan bahwa pengiriman mereka jatuh ke level terendahnya sejak Desember 2006. Penyebabnya adalah kurangnya investasi di infrastruktur yang sudah tua, sehingga membatasi produksi.
Keempat, International Energy Agency (IEA) memperingatkan bahwa pasar minyak global dapat lebih seret hingga akhir tahun ini, seiring permintaan yang kuat dan ketidakpastian produksi di beberapa negara produsen.
Kepala IEA, Fatih Birol, menyatakan bahwa masalah utama adalah produksi minyak Venezuela yang runtuh, seperti dikutip dari Reuters. Sebagai tambahan, Birol menyatakan produksi Venezuela terpangkas setengahnya dalam 2 tahun terakhir, menjadi sekitar 1 juta barel/hari, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Birol bahkan mengestimasikan produksi Venezuela jatuh lebih dalam di semester II-2018 ini.
BACA: Harga Minyak Rekor Tertinggi Dalam 1,5 Bulan, Ini Alasannya
Meski demikian, hingga pukul 9.45 WIB hari ini, harga minyak masih stabil cenderung melemah. Harga minyak light sweet terpantau terkoreksi 0,01% ke US$70,24/barel, sedangkan harga brent turun 0,09% ke US$77,7/barel
Penguatan harga minyak hari ini agak terbatas oleh kekhawatiran investor terhadap perang dagang AS-China. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Trump tengah menggodok rencana pengenaan bea masuk itu, dan kini sedang dalam fase dengar pendapat yang dimulai 20 Agustus sampai 6 September. Setelah dengar pendapat ini selesai, Trump dikabarkan langsung mengeksekusi bea masuk tersebut.
Gedung Putih menolak memberikan konfirmasi mengenai kebenaran kabar tersebut. Namun, pemberitaannya saja sudah cukup untuk membuat pelaku pasar khawatir. Jika perang dagang bertambah parah, sudah pasti pertumbuhan ekonomi global yang akan menjadi korban. Alhasil, pelaku pasar pun mencemaskan bahwa permintaan energi dunia bisa terkena dampak negatif.
(RHG/gus) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular