Omong Kosong Fundamental Ekonomi RI Kuat, Benarkah?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 September 2018 14:24
Salah Siapa CAD Tekor? Deindustrialisasi
Foto: Blok Southeast Sumatra (SES). (dok. Pertamina)
Lalu, mengapa CAD Indonesia bisa selalu tekor dari tahun ke tahun? Jawabannya deindustrialisasi. Adanya deindustrialisasi dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan PDB di Indonesia.

Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.



Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%.

Lantas, apa hubungannya deindustrialisasi dengan jebolnya CAD? Perlu diketahui bahwa melebarnya CAD disebabkan oleh loyonya neraca perdagangan barang. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), neraca perdagangan barang memang mampu mencatatkan surplus sebesar US$0,3 miliar pada kuartal II-2018, namun jumlah itu menurun 93,75% dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Buruknya performa neraca perdagangan barang di kuartal II-2018 disebabkan oleh turunnya surplus neraca perdagangan non-migas, di tengah naiknya defisit neraca perdagangan migas. Neraca non-migas kuartal lalu mencatat surplus US$3 miliar, anjlok 53,2% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan, neraca migas mencatat defisit sebesar US$2,7 miliar, meningkat nyari dua kali lipat dari capaian kuartal II-2017 sebesar US$1,5 miliar.

Dilihat dari rinciannya, pembengkakan impor non migas terjadi pada melesatnya impor komoditas bahan baku dan barang modal yang diperlukan dalam pembangunan inftastruktur dalam industri. Sebagai contohnya, pada kuartal II-2018, impor mesin-mesin/pesawat mekanik naik 37,5% YoY, jauh lebih cepat dari perlambatan sebesar -12,4% YoY pada kuartal II-2017.

Tidak hanya itu, impor alat listrik, bahan kimia, impor kendaraan dan bagiannya, dan impor tekstil juga mencatatkan pertumbuhan yang jauh lebih cepat apabila dibandingkan periode April-Juni 2017. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca migas didorong oleh net ekspor minyak yang mencatat defisit US$4,4 miliar di kuartal II-2018, naik 51,72% YoY.

Di sinilah deindustrialisasi memakan “korban”. Barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.

Tidak hanya dipandang dari segi penyediaan bahan baku dan barang modal, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia. Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.

Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 4% lebih di sepanjang kuartal II-2018. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia. Setali tiga uang dengan harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 4% di periode yang sama. Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia di kuartal lalu pun cenderung terbatas. Neraca perdagangan barang pun tak tertolong. (RHG/wed)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular