
Omong Kosong Fundamental Ekonomi RI Kuat, Benarkah?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 September 2018 14:24
Melihat dolar yang mampu jumawa terhadap hampir seluruh mata uang Asia, sebenarnya pelemahan rupiah pun bukan sepenuhnya kesalahan Indonesia. Perkasanya dolar AS didorong oleh “obat kuat” bernama kenaikan suku bunga acuan AS.
Perekonomian AS di bawah Presiden Donald Trump harus diakui tumbuh kencang. Teranyar, ekonomi AS tumbuh 4,2% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) pada kuartal II-2018. Capaian itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2014.
Laju ekonomi Negeri Paman Sam didorong oleh insentif pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk badan maupun orang pribadi. Insentif ini berhasil menjadi pelumas yang ampuh bagi mesin pertumbuhan ekonomi AS, dia membuat gerak konsumsi dan investasi melesat.
Percepatan laju konsumsi ditunjukkan oleh pertumbuhan indeks Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE) AS yang kian cepat. Indeks Core PCE, yang mengeluarkan komponen makanan bergejolak dan energi, naik 2% secata tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, lebih kencang dari capaian bulan Juni 2018 sebesar 1,9%.
Sebagai informasi, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menggunakan indikator PCE untuk memonitor inflasi, sehingga data ini menjadi penting.
The Fed sendiri menetapkan target inflasi sebesar 2% YoY. Kini indikator PCE kembali menyentuh level tersebut, untuk kedua kalinya di tahun ini setelah bulan Maret 2018. Sebagai informasi, capaian indeks PCE sebesar 2% YoY adalah yang pertama kalinya sejak April 2012, atau lebih dari 6 tahun yang lalu.
Sementara investasi yang tumbuh tercermin dari optimisme dunia usaha, yang terlihat dari Purchasing Managers Index (PMI). Jika indeks ini di atas 50, artinya dunia usaha cenderung ekspansif. Pada Juli 2018, PMI versi Markit di AS menunjukkan angka 55,7. Indeks ini sempat mencapai 56,6 pada Mei, tertinggi sejak April 2015.
Kalau ekonomi dibiarkan melaju begitu saja, maka akan menyebabkan overheating. Inflasi akan melaju kencang, karena permintaan tumbuh tanpa pasokan yang memadai. Inflasi yang sebenarnya tidak perlu, bisa dihindari.
Oleh karena itu, The Fed mencoba mengerem sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan. Sejak 2015 suku bunga acuan di AS memang terus naik, tetapi tahun ini lajunya lebih cepat.
Awalnya, investor memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Namun melihat pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi AS yang semakin kencang, maka dosisnya perlu dinaikkan menjadi empat kali.
Meski bertujuan untuk mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan otomatis membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi menarik. Imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya naik, sehingga dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini semakin jadi favorit.
Tingginya minat terhadap dolar AS membuat nilai atau harga mata uang ini naik. Mata uang lain pun dilepas untuk membeli dolar AS. Hasilnya jelas, dolar AS akan menekan seluruh mata uang di Asia, termasuk Indonesia. (RHG/wed)
Perekonomian AS di bawah Presiden Donald Trump harus diakui tumbuh kencang. Teranyar, ekonomi AS tumbuh 4,2% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) pada kuartal II-2018. Capaian itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2014.
Laju ekonomi Negeri Paman Sam didorong oleh insentif pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk badan maupun orang pribadi. Insentif ini berhasil menjadi pelumas yang ampuh bagi mesin pertumbuhan ekonomi AS, dia membuat gerak konsumsi dan investasi melesat.
Sebagai informasi, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menggunakan indikator PCE untuk memonitor inflasi, sehingga data ini menjadi penting.
The Fed sendiri menetapkan target inflasi sebesar 2% YoY. Kini indikator PCE kembali menyentuh level tersebut, untuk kedua kalinya di tahun ini setelah bulan Maret 2018. Sebagai informasi, capaian indeks PCE sebesar 2% YoY adalah yang pertama kalinya sejak April 2012, atau lebih dari 6 tahun yang lalu.
Sementara investasi yang tumbuh tercermin dari optimisme dunia usaha, yang terlihat dari Purchasing Managers Index (PMI). Jika indeks ini di atas 50, artinya dunia usaha cenderung ekspansif. Pada Juli 2018, PMI versi Markit di AS menunjukkan angka 55,7. Indeks ini sempat mencapai 56,6 pada Mei, tertinggi sejak April 2015.
Kalau ekonomi dibiarkan melaju begitu saja, maka akan menyebabkan overheating. Inflasi akan melaju kencang, karena permintaan tumbuh tanpa pasokan yang memadai. Inflasi yang sebenarnya tidak perlu, bisa dihindari.
Oleh karena itu, The Fed mencoba mengerem sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan. Sejak 2015 suku bunga acuan di AS memang terus naik, tetapi tahun ini lajunya lebih cepat.
Awalnya, investor memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Namun melihat pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi AS yang semakin kencang, maka dosisnya perlu dinaikkan menjadi empat kali.
Meski bertujuan untuk mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan otomatis membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi menarik. Imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya naik, sehingga dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini semakin jadi favorit.
Tingginya minat terhadap dolar AS membuat nilai atau harga mata uang ini naik. Mata uang lain pun dilepas untuk membeli dolar AS. Hasilnya jelas, dolar AS akan menekan seluruh mata uang di Asia, termasuk Indonesia. (RHG/wed)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular