Jakarta, CNBC Indonesia -
Ekonom senior yang juga mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Anwar Nasution, menilai sikap pemerintah yang kerap kali menyebut fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat menahan gejolak eksternal hanya bualan belaka.
Nilai tukar rupiah yang cukup rentan bahkan hampir menembus level Rp15.000/US$, jadi salah satu indikator bahwa fundamental ekonomi tersebut belum kuat.
"Fundamental ekonomi kita lemah sekali. Bohong pemerintah katakan fundamental kuat. Omong kosong itu," kata Anwar dalam sebuah diskusi, Sabtu (8/9/2018).
Benarkah pernyataan Anwar Nasution? Berikut ulasan tim riset CNBC Indonesia.
Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, ditinjau dari sisi pelemahan rupiah, kondisi Indonesia memang cukup memprihatinkan. Hingga perdagangan akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah sudah melemah hingga 9,21% di sepanjang tahun ini (year-to-date/YTD).
Memang dolar Amerika Serikat (AS) jadi raja mata uang tahun ini. Greenback menguat terhadap hampir seluruh mata uang Asia. Di antara mata uang utama Benua Kuning, hanya yen Jepang yang masih mampu menguat. Sisanya tidak selamat.
Rupiah bahkan menjadi mata uang yang terdepresiasi paling dalam di Asia. Hanya Rupee India yang lebih menderita daripada rupiah.
Melihat dolar yang mampu jumawa terhadap hampir seluruh mata uang Asia, sebenarnya pelemahan rupiah pun bukan sepenuhnya kesalahan Indonesia. Perkasanya dolar AS didorong oleh “obat kuat” bernama kenaikan suku bunga acuan AS.
Perekonomian AS di bawah Presiden Donald Trump harus diakui tumbuh kencang. Teranyar, ekonomi AS tumbuh 4,2% secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) pada kuartal II-2018. Capaian itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2014.
Laju ekonomi Negeri Paman Sam didorong oleh insentif pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk badan maupun orang pribadi. Insentif ini berhasil menjadi pelumas yang ampuh bagi mesin pertumbuhan ekonomi AS, dia membuat gerak konsumsi dan investasi melesat.
Percepatan laju konsumsi ditunjukkan oleh pertumbuhan indeks Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE) AS yang kian cepat. Indeks Core PCE, yang mengeluarkan komponen makanan bergejolak dan energi, naik 2% secata tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, lebih kencang dari capaian bulan Juni 2018 sebesar 1,9%.
Sebagai informasi, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menggunakan indikator PCE untuk memonitor inflasi, sehingga data ini menjadi penting.
The Fed sendiri menetapkan target inflasi sebesar 2% YoY. Kini indikator PCE kembali menyentuh level tersebut, untuk kedua kalinya di tahun ini setelah bulan Maret 2018. Sebagai informasi, capaian indeks PCE sebesar 2% YoY adalah yang pertama kalinya sejak April 2012, atau lebih dari 6 tahun yang lalu.
Sementara investasi yang tumbuh tercermin dari optimisme dunia usaha, yang terlihat dari Purchasing Managers Index (PMI). Jika indeks ini di atas 50, artinya dunia usaha cenderung ekspansif. Pada Juli 2018, PMI versi Markit di AS menunjukkan angka 55,7. Indeks ini sempat mencapai 56,6 pada Mei, tertinggi sejak April 2015.
Kalau ekonomi dibiarkan melaju begitu saja, maka akan menyebabkan overheating. Inflasi akan melaju kencang, karena permintaan tumbuh tanpa pasokan yang memadai. Inflasi yang sebenarnya tidak perlu, bisa dihindari.
Oleh karena itu, The Fed mencoba mengerem sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan. Sejak 2015 suku bunga acuan di AS memang terus naik, tetapi tahun ini lajunya lebih cepat.
Awalnya, investor memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Namun melihat pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi AS yang semakin kencang, maka dosisnya perlu dinaikkan menjadi empat kali.
Meski bertujuan untuk mengerem permintaan, tetapi kenaikan suku bunga acuan otomatis membuat instrumen berbasis dolar AS menjadi menarik. Imbalan berinvestasi di Negeri Adidaya naik, sehingga dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini semakin jadi favorit.
Tingginya minat terhadap dolar AS membuat nilai atau harga mata uang ini naik. Mata uang lain pun dilepas untuk membeli dolar AS. Hasilnya jelas, dolar AS akan menekan seluruh mata uang di Asia, termasuk Indonesia. Meski demikian, melihat fakta bahwa performa rupiah menjadi salah satu yang terburuk di Asia, tentunya harus diakui bahwa ada yang salah di perekonomian domestik. Bahkan, mata uang negara seperti Baht Thailand dan Ringgit Malaysia tidak jatuh sedalam rupiah.
Penyakit domestik Indonesia tidak lain adalah makin melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.
Sayang, sejak tahun 2011, Indonesia tidak pernah menikmati surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Dampaknya, rupiah seakan berdiri tanpa pijakan yang kuat.
CAD pada kuartal II-2018 bahkan mencapai US$8,03 miliar atau 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Melebar cukup besar dari capaian kuartal I-2018 yang sebesar US$5,7 miliar atau 2,2% PDB. Apabila ditarik secara historis, CAD kuartal II-2018 merupakan yang terparah dalam 4 tahun terakhir, atau sejak kuartal II-2014 sebesar 4,3% PDB.
Celakanya, saat ini investor global sepertinya tengah menyoroti transaksi berjalan di negara-negara berkembang. Pasalnya, arus modal portofolio hampir dipastikan kering karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, semestinya memang transaksi berjalan yang menopang nilai tukar.
Faktor ini ini yang membuat selama beberapa waktu terakhir investor cenderung meninggalkan negara-negara berkembang dengan transaksi berjalan yang defisit. Sebab, negara yang mengidap 'penyakit' itu akan sulit mengalami apresiasi kurs karena memang tidak ada yang menopang.
Diawali dari Turki, aksi jual berlanjut ke Argentina Dalam sebulan terakhir, mata uang lira Turki anjlok 24,18% sementara peso Argentina merosot 38,45%. Sebagai informasi, pada tahun 2017, CAD Turki dan Argentina masing-masing mencapai -5,5% dan -4,8% dari PDB-nya.
Sebaliknya, negara-negara yang mencatat mencatat surplus di transaksi perdagangan nasibnya lebih baik. Pada tahun lalu, Singapura dan Thailand masing-masing mencatatkan surplus transaksi berjalan sebesar 19,5% dan 10,6% dari PDB-nya. Depresiasi mata uang kedua negara itu pun jauh lebih “ringan” dibandingkan rupiah.
Lalu, mengapa CAD Indonesia bisa selalu tekor dari tahun ke tahun? Jawabannya deindustrialisasi. Adanya deindustrialisasi dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan PDB di Indonesia.
Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2008, kontribusi sektor ini masih sebesar 27,81%. Bahkan, pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.
Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%.
Lantas, apa hubungannya deindustrialisasi dengan jebolnya CAD? Perlu diketahui bahwa melebarnya CAD disebabkan oleh loyonya neraca perdagangan barang. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), neraca perdagangan barang memang mampu mencatatkan surplus sebesar US$0,3 miliar pada kuartal II-2018, namun jumlah itu menurun 93,75% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Buruknya performa neraca perdagangan barang di kuartal II-2018 disebabkan oleh turunnya surplus neraca perdagangan non-migas, di tengah naiknya defisit neraca perdagangan migas. Neraca non-migas kuartal lalu mencatat surplus US$3 miliar, anjlok 53,2% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan, neraca migas mencatat defisit sebesar US$2,7 miliar, meningkat nyari dua kali lipat dari capaian kuartal II-2017 sebesar US$1,5 miliar.
Dilihat dari rinciannya, pembengkakan impor non migas terjadi pada melesatnya impor komoditas bahan baku dan barang modal yang diperlukan dalam pembangunan inftastruktur dalam industri. Sebagai contohnya, pada kuartal II-2018, impor mesin-mesin/pesawat mekanik naik 37,5% YoY, jauh lebih cepat dari perlambatan sebesar -12,4% YoY pada kuartal II-2017.
Tidak hanya itu, impor alat listrik, bahan kimia, impor kendaraan dan bagiannya, dan impor tekstil juga mencatatkan pertumbuhan yang jauh lebih cepat apabila dibandingkan periode April-Juni 2017. Di sisi lain, membengkaknya defisit neraca migas didorong oleh net ekspor minyak yang mencatat defisit US$4,4 miliar di kuartal II-2018, naik 51,72% YoY.
Di sinilah deindustrialisasi memakan “korban”. Barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.
Tidak hanya dipandang dari segi penyediaan bahan baku dan barang modal, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia. Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.
Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 4% lebih di sepanjang kuartal II-2018. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia. Setali tiga uang dengan harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 4% di periode yang sama. Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia di kuartal lalu pun cenderung terbatas. Neraca perdagangan barang pun tak tertolong. Sebagai tambahan, Anwar Nasution juga menilai bahwa rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang masih rendah, membuat Indonesia cukup rentan. Akibatnya, pemerintah harus terus menerus menerbitkan utang untuk menutup defisit kas keuangan negara, karena penerimaan pajak tak pernah mencapai target. Setidaknya, sejak 2008 silam.
Lantas, masalahnya di mana? Porsi kepemilikan asing terhadap surat utang Indonesia saat ini hampir 40%. Tingginya kepemilikan asing terhadap obligasi negara, pun menyebabkan Indonesia rentan terhadap gejolak.
Misalnya, ketika kenaikan suku bunga di negara maju naik. Para investor asing bisa saja mengalihkan dananya dari indonesia ke negara maju, karena negara tersebut memiliki instrumen yang lebih menarik.
Maka dari itu, optimalisasi penerimaan pajak menjadi harga yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar Indonesia tidak terlalu rentan, ketika situasi ekonomi dunia berubah.
Menurut Anwar Nasution, kas keuangan negara yang surplus akan membuat Indonesia tahan terhadap gejolak ekonomi global. Alasannya, pemerintah tak perlu lagi bergantung pada pembiayaan dari luar negeri.