Pekan Lalu Suram, Harga Minyak Buka Pekan Ini di Zona Hijau

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 September 2018 10:25
Pada awal pekan ini, harga minyak mampu bergerak ke zona hijau. Hingga pukul 09.55 WIB, harga brent naik 0,65% ke US$77,33/barel.
Foto: REUTERS/MORTEZA NIKOUBAZL
Jakarta, CNBC IndonesiaSepanjang pekan lalu, harga minyak jenis brent kontrak pengiriman November 2018 terkoreksi 0,76% ke level US$76,83/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak Oktober 2018 malah anjlok lebih dalam sebesar 2,94% ke US$67,75/barel.

Sentimen negatif utama bagi kejatuhan harga minyak pekan lalu datang dari data pemerintah AS yang melaporkan bahwa cadangan Bahan Bakar Minyak (BBM) Amerika Serikat (AS) meningkat secara tidak terduga, serta kegalauan pasar menghadapi perang dagang AS vs China.  

BACA: Harga Minyak AS Menuju Koreksi 3% Dalam Sepekan

Meski demikian, pada awal pekan ini, harga sang emas hitam mampu bergerak ke zona hijau. Hingga pukul 09.55 WIB, harga minyak light sweet menguat 0,66% ke US$68,2/barel. Sedangkan, harga brent naik 0,65% ke US$77,33/barel.



Sentimen positif datang dari jumlah sumur pengeboran aktif di AS turun sebanyak 2 unit ke 860 unit di pekan lalu, seperti dilaporkan oleh perusahaan jasa energi Baker Hughes pada Jumat (7/9/2018) waktu AS.

Jumlah sumur pengeboran aktif di AS pada umumnya menjadi sinyal terkait tingkat produksi minyak mentah AS ke depannya. Turunnya jumlah sumur pengeboran berarti produksi minyak mentah Negeri Paman Sam tidak akan terlalu besar ke depannya. Hal ini lantas mampu menopang harga minyak AS pagi ini.

Dari luar AS, sanksi Negeri Adidaya terhadap Iran masih mampu menyokong harga minyak brent. Sanksi ini akan menyasar ekspor minyak mentah dari Teheran pada November 2018 mendatang.

Konsultan energi FGE menyatakan bahwa sebagian besar pelanggan minyak mentah Iran seperti India, Jepang, dan Korea Selatan sudah memangkas pembelian minyak mentah Negeri Persia.

Sebelumnya, pemerintah India dikabarkan mengizinkan kilang minyak di negaranya untuk mengimpor minyak dari Iran, dengan syarat Iran mau mengelola dan mengasuransikan tanker minyak. Namun, perusahaan-perusahaan minyak cenderung tidak mau mengambil risiko bertentangan dengan AS.

"Pemerintah bisa saja berbicara tegas. Mereka dapat berbicara akan berdiri menghadapi Trump dan/atau mendorong adanya keringanan. Akan tetapi, secara umum, perusahaan yang berbicara dengan kami .... mengatakan bahwa mereka tidak akan mengambil risiko itu," ucap FGE, seperti dikutip oleh CNBC International.

"Sanksi finansial AS dan kerugian asuransi pengiriman menakutkan semua orang," tambah FGE dalam catatan resminya.

Pertanyaan ke depan adalah bagaimana permintaan minyak ke depan bisa bertahan dari tekanan perang dagang AS-China yang semakin besar. Seperti diketahui, rencana Trump untuk menerapkan bea masuk bagi produk asal Negeri Tirai Bambu senilai US$200 miliar, masih ada di permukaan. Belum lagi, pemerintah China juga sudah menyiapkan "pantun balasan".

Pada akhir pekan lalu,  muncul kabar yang memperparah polemik perdagangan di antara dua raksasa ekonomi dunia ini.  Presiden AS Donald Trump memperingatkan siap menerapkan bea masuk atas barang impor dari China ke AS senilai US$ 267 miliar, lebih besar dari yang dikabarkan selama ini yaitu US$ 200 miliar. Bahkan ke depan, bukan tidak mungkin jumlah itu bisa bertambah.

"Saya benci untuk mengatakan ini, tetapi di belakang itu, US$ 267 miliar lainnya siap untuk diterapkan dalam waktu singkat jika saya mau. Itu benar-benar mengubah permainan," tegas Trump, dikutip dari Reuters.

Kondisinya bahkan makin sulit pasca otoritas China merilis data surplus perdagangan dengan AS yang semakin lebar. Beijing mengumumkan ekspor China pada Agustus 2015 tumbuh 9,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) sementara impor melonjak 20% YoY. Negeri Panda masih membukukan surplus perdagangan US$27,91 miliar.

Dengan AS, China mencatat ada surplus US$31,05 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$28,09 miliar. Ini bisa menjadi sumber masalah, karena dapat dijadikan alasan bagi AS untuk mengobarkan perang dagang.

FGE juga memperingatkan bahwa perang dagang dan kenaikan suku bunga acuan AS dapat memberikan masalah bagi negara-negara berkembang, Ujung-ujungnya hal tersebut akan menekan permintaan pasar minyak global.

Meski demikian, FGE menyatakan bahwa kemungkinan harga minyak akan terjun ke level rendah, secara relatif kecil. Pasalnya, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan menahan produksi untuk menjaga harga jatuh terlalu dalam.

"Kita percaya diri OPEC mampu dan akan mengatasi permintaan yang melambat. Kita akan melihat level US$65/barel sebagai pemicu pemangkasan (produksi)," ujar FGE, dikutip dari CNBC International. 


(RHG/gus) Next Article Brent Anjlok Nyaris 1%, Minyak Jauhi US$ 80/barel

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular