
OJK dan SRO Kumpulkan Pelaku Pasar, Jelaskan Kondisi Ekonomi
Monica Wareza, CNBC Indonesia
07 September 2018 12:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal menyelenggarakan Diskusi Panel Investor Gathering. Dalam diskusi ini dibahas dinamika yang terjadi di sektor keuangan masih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, meliputi perang dagang antara AS dan Tiongkok serta meningkatnya eskalasi krisis di Argentina, Afrika Selatan, dan Turki.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen menyampaikan bahwa kinerja Pasar Modal Indonesia masih sangat baik, tercermin dari masih maraknya aktivitas perusahaan yang menggalang dana melalui pasar modal meski saat tengah dipengaruhi oleh faktor eksternal.
"Kinerja pasar modal Indonesia masih sangat baik, tercermin dari masih maraknya aktivitas perusahaan yang menggalang dana melalui pasar modal, yang mana diharapkan dapat melampaui pencapaian tahun 2017 yang sebanyak 46 emiten saham dan obligasi baru. Di samping itu OJK juga terus berkoordinasi dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas di sektor jasa keuangan," kata Hoesen di Gedung BEI, Jakarta, Jumat (7/9).
Kemudian, Kepala Grup Riset Ekonomi Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter Bank Indonesia Reza Anglingkusumo menyampaikan bahwa ketidakpastian ekonomi global meningkat di tengah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata yakni kuatnya laju ekonomi AS dibandingkan negara di kawasan Eropa, Jepang, serta Tiongkok.
Ketidakpastian turut diikuti dengan kenaikan Fed-Fund Rate, ketegangan perdagangan antara AS dengan sejumlah negara, serta risiko rambatan dari gekolak ekonmoi di Turki dan Argentina.
BI melihat meningkatnya tren impor perdagangan di Indonesia mencerminkan meningkatnya permintaan dan aktivitas ekonomi domestik, namun di sisi lain turut berdampak pada meningkatnya defisit transaksi berjalan yang mencapai US$ 8 miliar di kuartal II-2018.
Ke depannya, BI melihat prospek nilai tukar Rupiah diperkirakan tidak seberat tahun 2018 ini seiring terkendalinya laju inflasi dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 dan 2019 masing-masing berkisar di 5%-5,4% dan 5,1%-5,5%. Adapun laju inflasi diperkirakan stabil di kisaran 3,5% plus minus 1% untuk tahun 2018 dan 2019.
Di kesempatan yang sama, Kepala BKF Kementerian Keuangan RI Suahasil Nazara menyampaikan bahwa tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya bersumber dari dinamika perekonomian global yakni tekanan pasar keuangan akibat normalisasi moneter AS, moderasi ekonomi Tiongkok, proteksionisme, perang dagang AS dan Tiongkok, ketegangan geopolitik dan perubahan iklim atau cuaca ekstrim.
"Namun Perekonomian Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang sehat, terkendalinya inflasi, ruang moneter yang memadai (suku bunga dan cadangan devisa), terjaganya kepercayaan konsumen, dan stabilitas politik," jelas dia.
Dalam menghadapi defisit transaksi berjalan, Suahasil mengemukakan strategi perbaikan melalui kebijakan fiskal diantaranya pengendalian impor melalui penggunaan B20, kenaikan tarif impor barang konsumsi, peningkatan komponen lokal pada proyek infrastruktur serta mendorong ekspor dan investasi.
(hps) Next Article Sepekan Ini, IHSG Anteng di Zona Merah
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen menyampaikan bahwa kinerja Pasar Modal Indonesia masih sangat baik, tercermin dari masih maraknya aktivitas perusahaan yang menggalang dana melalui pasar modal meski saat tengah dipengaruhi oleh faktor eksternal.
"Kinerja pasar modal Indonesia masih sangat baik, tercermin dari masih maraknya aktivitas perusahaan yang menggalang dana melalui pasar modal, yang mana diharapkan dapat melampaui pencapaian tahun 2017 yang sebanyak 46 emiten saham dan obligasi baru. Di samping itu OJK juga terus berkoordinasi dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas di sektor jasa keuangan," kata Hoesen di Gedung BEI, Jakarta, Jumat (7/9).
Ketidakpastian turut diikuti dengan kenaikan Fed-Fund Rate, ketegangan perdagangan antara AS dengan sejumlah negara, serta risiko rambatan dari gekolak ekonmoi di Turki dan Argentina.
Ketidakpastian ini memicu pembalikan modal asing dan apresiasi nilai tukar Dolar AS secara luas sehingga turut menekan nilai tukar mata uang global khususnya negara Emerging Market termasuk Indonesia.
BI melihat meningkatnya tren impor perdagangan di Indonesia mencerminkan meningkatnya permintaan dan aktivitas ekonomi domestik, namun di sisi lain turut berdampak pada meningkatnya defisit transaksi berjalan yang mencapai US$ 8 miliar di kuartal II-2018.
Untuk itu, dibutuhkan penguatan di bidang ekspor barang dan jasa sehingga mampu menekan tren defisit transaksi berjalan di tahun 2018 sesuai dengan target di kisaran 2,5%-3% dari GDP.
Ke depannya, BI melihat prospek nilai tukar Rupiah diperkirakan tidak seberat tahun 2018 ini seiring terkendalinya laju inflasi dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 dan 2019 masing-masing berkisar di 5%-5,4% dan 5,1%-5,5%. Adapun laju inflasi diperkirakan stabil di kisaran 3,5% plus minus 1% untuk tahun 2018 dan 2019.
Di kesempatan yang sama, Kepala BKF Kementerian Keuangan RI Suahasil Nazara menyampaikan bahwa tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya bersumber dari dinamika perekonomian global yakni tekanan pasar keuangan akibat normalisasi moneter AS, moderasi ekonomi Tiongkok, proteksionisme, perang dagang AS dan Tiongkok, ketegangan geopolitik dan perubahan iklim atau cuaca ekstrim.
"Namun Perekonomian Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang sehat, terkendalinya inflasi, ruang moneter yang memadai (suku bunga dan cadangan devisa), terjaganya kepercayaan konsumen, dan stabilitas politik," jelas dia.
Dalam menghadapi defisit transaksi berjalan, Suahasil mengemukakan strategi perbaikan melalui kebijakan fiskal diantaranya pengendalian impor melalui penggunaan B20, kenaikan tarif impor barang konsumsi, peningkatan komponen lokal pada proyek infrastruktur serta mendorong ekspor dan investasi.
Pada 2019, rancangan APBN turut mendorong investasi dan daya saing melalui pembangungan sumber daya manusia dengan peningkatan kualitas belanja yang didukung penguatan akuntabilitas.
(hps) Next Article Sepekan Ini, IHSG Anteng di Zona Merah
Most Popular