Internasional

Analis: Krisis Mata Uang Negara Berkembang Tidak Menular

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
05 September 2018 14:07
Para analis mengatakan para investor seharusnya tidak panik hanya karena sentimen negatif.
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang negara-negara berkembang kembali mengalami tekanan jual pada hari Selasa (4/9/2018), sehingga nilai tukarnya terperosok terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa bahkan anjlok ke posisi terendah sepanjang masa.

Rupiah berada di antara mata uang yang terperosok dalam. Nilai tukar rupiah jatuh ke level terendah dalam dua dekade pada hari Selasa di posisi 14.940 terhadap dolar, kemudian sedikit pulih ke posisi 14.926 pada hari Rabu (5/9/2018) siang, tulis CNBC International.

Ilustrasi Dolar AS dan RupiahFoto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah
Sementara itu peso Argentina turun sekitar 3% setelah terdepresiasi 16% pekan lalu, sehingga pelemahannya sudah sekitar 50% terhadap dolar.

Di hari Selasa, rupee India juga anjlok ke level terendah sepanjang sejarah selama enam hari berturut-turut sebelum sedikit pulih ke posisi 71,53 pada Rabu pagi. Lira Turki pun terjerembab pada hari Selasa, sementara rand yang merupakan mata uang Afrika Selatan melemah sekitar 3% karena data ekonomi menunjukkan negara itu memasuki resesi.



Secara keseluruhan, Indeks MSCI Emerging Markets Currency turun 0,46% pada hari Selasa yang merupakan penurunan terbesar dalam dua pekan. Sejak awal tahun, indeks tersebut mengalami penurunan 5,53%.

Meski kekhawatiran penularan pelemahan keuangan pasar berkembang semakin tumbuh, analis mengatakan para investor seharusnya tidak panik hanya karena sentimen negatif.

Karine Hirn selaku partner di manajer aset East Capital mengatakan tekanan sebagian besar bisa dikaitkan dengan dolar yang kuat dan naiknya harga minyak. Namun, isu sebenarnya adalah sentimen trader.

"Mari tidak melupakan bahwa, secara umum, pasar berkembang memang terpapar isu-isu sentimen karena banyak investor berasal dari luar negeri dan bukan semata-mata investor domestik. Sentimen itu tentu saja dirugikan oleh tensi perdagangan di seluruh dunia," katanya kepada CNBC International.

Meskipun begitu, dia menekankan bahwa poin sebenarnya adalah dia tidak melihat "isu besar" muncul dari laporan keuangan perusahaan. Secara umum bisnis tidak mengalami dampak negatif.

Rupee dan rupiah berada di bawah tekanan di antara berbagai pasar berkembang di Asia sejauh ini, kata para analis. Namun, Khoon Goh selaku Kepala Riset Asia ANZ mengatakan ekonomi yang mendasari di Indonesia sebenarnya "tidak terlihat terlalu buruk" dengan pertumbuhan kuartal kedua yang naik.

"Sebagian besar pasar keuangan bereaksi terhadap kekhawatiran tertular. Sekarang, tentu saja, itu memperumit persoalan bagi para pembuat kebijakan di Indonesia karena prioritas utama mereka adalah untuk mencoba dan menstabilkan rupiah," kata Goh kepada CNBC International pada hari Rabu.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo pada hari Rabu mengatakan berbagai faktor eksternal berada di balik depresiasi rupiah. Dia juga mengatakan prioritasnya adalah meningkatkan investasi dan ekspor guna membatasi defisit neraca berjalan nasional.

Biasanya, defisit yang melebar bisa semakin melemahkan nilai tukar mata uang. Sebab, semakin banyak impor berarti membeli semakin banyak mata uang asing untuk memenuhi keperluan negara.

"Kuncinya ada dua, di investasi yang harus meningkat dan ekspor yang harus meningkat juga. Sehingga kita bisa menurunkan defisit transaksi berjalan," jelas Jokowi kepada wartawan selepas meresmikan pencapaian ekspor mobil secara utuh (completely built-up/CBU) oleh Toyota yang mencapai 1 juta unit. Acara berlangsung di IPC Car Terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu.

Visnu Varathan, Kepala Ekonomi dan Strategi Mizuho Bank, menyebut tumbuhnya kekhawatiran akan tertular sebagai "terlalu berlebihan" tetapi "sangat bisa dimengerti".

"Penting untuk tidak tergesa-gesa terhadap ramalan sendiri tentang risiko tertular [pasar berkembang]," ujarnya. Dia mengatakan rekor depresiasi di peso Argentina ataupun lira Turki adalah "perkiraan yang sangat berbeda" jika dibandingkan dengan pelemahan rupiah dan rupee.

Ilustrasi Rupee IndiaFoto: REUTERS/Francis Mascarenhas
Ilustrasi Rupee India
Tetap saja, dia mengatakan pangkal dari perang dagang antara AS dan China bisa memberi lebih banyak tekanan ke pasar berkembang ke depannya.

Di tengah keterpurukan, ada satu mata uang di kawasan yang mengalami pergerakan berbeda, yaitu baht Thailand.

"Para investor tahu ekonomi mana yang perlu dikhawatirkan, dan mana yang tidak. Dan jika Anda melihat ke Thailand, ada surplus neraca berjalan yang besar, hanya di bawah 10% terhadap PDB [produk domestik bruto]. Pertumbuhan sebenarnya mulai melaju dan naik," kata Goh dari ANZ.
(prm) Next Article Rupiah Kian Perkasa di Tengah Sentimen AS-Iran

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular