Argentina & Kebijaksanaan Negara Lionel Messi

Miguel Esquivias, CNBC Indonesia
05 September 2018 10:21
Miguel Esquivias
Miguel Esquivias
Miguel Angel Esquivias Padilla adalah seorang Doktor di bidang Ilmu Ekonomi. Saat ini beliau menjabat sebagai Dosen dan Peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya. Selain itu beliau juga sebagai Tim Staf Tenaga Ahli di Free Trad.. Selengkapnya
Mudah menjadi bijaksana setelah hal buruk terjadi, sedangkan membuat kebijaksanaan sebelum terjadi adalah adalah hal yang sulit.
Foto: Bank Sentral Argentina (REUTERS/Marcos Brindicci)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sepanjang tahun 2018, Argentina telah menghadapi tekanan mata uang yang lebih drastis dibandingkan di wilayah Amerika Latin (selain Venezuela) dan bahkan lebih tinggi dari negara-negara berkembang lainnya, termasuk Turki. Peso (mata uang) Argentina telah kehilangan lebih dari setengah nilainya selama 2018 (dari 18.56 Peso per dolar pada awal tahun 2018 ke tingkat 36.77 Peso per dolar pada hari Senin 3 September 2018).

Beberapa kali selama tahun 2018 Bank Sentral Argentina telah ikut turun tangan untuk mencoba mengendalikan jatuhnya Peso lebih dalam dengan menaikan suku bunga secara substansial. Pada Bulan Mei 2018 Bank Sentral Argentina meningkatkan suku bunga menjadi 40% dan baru-baru ini meningkatkan suku bunga menjadi 60% sebagai akibat dari hilangnya nilai Peso lebih dari 20% selama satu minggu terakhir. Bank Sentral telah berkomitmen dengan investor di pasar untuk tidak mengurangi suku bunga hingga setidaknya bulan Desember 2018 ini.

Masalah Negara Argentina tidak hanya terkait dengan volatilitas pasar global dan ketidakpastian yang dihadapi banyak mata uang lainnya, baik dari negara maju dan negara berkembang. Selain tekanan nilai tukar mata uang, pemerintah Argentina menghadapi masalah-masalah baru yang timbul antara lain, akibat kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika (The FED) dan pengumuman kenaikan suku bunga berturut-turut pada tahun 2018 dan 2019.

Pemerintah Mauricio Macri (Presiden Argentina sejak tahun 2015) menghadapi hutang luar negeri yang tinggi, neraca perdagangan negatif sejak Januari 2017, dan akun eksternal yang negatif sejak akhir tahun 2009 yang didorong oleh peningkatan impor dan pembayaran bunga utang. Defisit transaksi berjalan Argentina ditutupi terus oleh investasi portofolio, tetapi tekanannya semakin besar. Pemerintah Macri juga menghadapi defisit anggaran pemerintah yang tinggi. Hal tersebut perlu dikurangi sebagai persyaratan untuk mendapatkan jalur kredit yang diminta Argentina dari IMF sebesar 50 miliar dolar. Argentina berkomitmen untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah 1,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2019.

Sentimen negara mengalami titik rendah, dengan kenaikan inflasi tahunan pada tingkat 31.2% dan bisa mencapai hingga 40% tahun ini. Tingkat pengangguran, jatuhnya upah, dan peningkatan kemiskinan juga terancam bertambah dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang negatif untuk tahun 2018. Sentimen negatif dari investor juga tercermin dalam jatuhnya peringkat kredit Standard & Poor's ke B+ dengan negatif Outlook per tanggal 31 Agustus 2018.

Pemerintah Argentina telah bertindak cepat dan sedang mencari langkah-langkah untuk memulihkan kepercayaan pasar. Pada hari Senin 3 September rencana spesifik dari pemerintah akan diumumkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Pada hari yang sama, negosiasi dengan IMF akan diadakan untuk menegosiasikan pinjaman sebesar 50 miliar dolar.

Menurut Direktur Bank Sentral Argentina Martin Rederado pada periode 2004 hingga 2010, Argentina memiliki dua ketidakseimbangan yang kuat. Pertama adalah ketidakseimbangan eksternal yang terdiri dari keuangan negara yang mengonsumsi lebih banyak dolar daripada yang dihasilkannya (mata uang asli Argentina) dan yang kedua adalah bahwa sektor publik membelanjakan lebih dari pendapatannya. Martin Rederado menyarankan tiga aspek prioritas agar bisa keluar dari tekanan yang dialami oleh negaranya yaitu, yang pertama adalah menstabilkan nilai tukar dengan mencegah harga Peso jatuh lebih dalam. Kedua adalah menstabilkan suku bunga jika memungkinkan untuk diturunkan. Pada akhirnya, beliau mengusulkan untuk perlunya mengurangi tingkat inflasi. Penting bagi Argentina untuk memiliki paket pertumbuhan ekonomi yang jelas termasuk pengurangan pajak dan program untuk meningkatkan ekspor.

Meskipun Rupiah Indonesia juga menghadapi tekanan karena volatilitas dan ketidakpastian pasar global, situasi di Argentina jauh lebih kompleks daripada di Indonesia, seperti berikut ini. Pada akhir Agustus 2018, Indonesia memiliki cadangan dolar yang lebih besar (US$118.3 Miliar dibandingkan dengan cadangan Argentina yang hanya US$ 54 Miliar). Laju inflasi di Indonesia hingga Juli 2018 terkendali dengan baik (3.18% yoy) dengan pertumbuhan yang diharapkan lebih dari 5% per tahun. Rasio hutang pemerintah terhadap PDB masih dibawah 30% (Argentina 53.4%). Rasio hutang terhadap pendapatan pemerintah pada tahun 2017 hanya 2% (Argentina external terhadap PDB sekitar 34%). Keuangan publik yang sehat dan hutang luar negeri yang relatif sehat. Investment Grade Rating dari tiga lembaga rating (Moody's, Fitch dan S&P) masih pada level yang aman di Indonesia.

Namun, Indonesia menghadapi defisit perdagangan yang telah meningkat secara drastis dan bisa berkontribusi pada defisit transaksi berjalan yang lebih besar. Defisit dalam transaksi berjalan diperkirakan akan mendekati US$ 25 miliar sepanjang tahun 2018. Posisi investasi di Indonesia oleh dana asing baik dalam bursa saham dan sebagai pemegang Surat Utang Negara (SUN) masih relatif besar (lebih dari 37% dari SUN per Agustus 2018). Namun, walaupun struktur keuangan dan fundamental perekonomian masih bisa dikatakan terkendali, kredibilitas dan kepercayaan investor berada di bawah tekanan dari volatilitas nilai tukar Rupiah. Ekonomi Amerika sekarang menawarkan kondisi kepastian yang lebih besar, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, dan pasar yang lebih kuat dalam menghadapi volatilitas global pada tahun 2018 dan 2019.

Langkah-langkah Pemerintah Indonesia yang dapat diambil untuk meningkatkan ekspor yaitu, mempromosikan pariwisata, menunda impor yang terkait dengan proyek-proyek infrastruktur, penghematan devisa minyak mentah, dan kemungkinan pengenaan tarif impor atas 500 produk yang dapat diganti secara lokal dan dapat mengurangi tekanan. Namun, tindakan tersebut membutuhkan waktu untuk memberikan hasil dan sentimen para investor lebih mudah berubah. Kita tidak boleh lupa bahwa investor berorientasi pada profit dan situasi volatilitas menghadirkan peluang dan ancaman bagi mereka. Para pemain besar di pasar valas sedang menguji batas nilai tukar rupiah Indonesia.

Di sisi lain, harga komoditas ekspor dan permintaan tinggi yang di masa lalu menguntungkan Indonesia, sekarang tidak begitu mendukung. Harga minyak kelapa sawit, tembaga, dan karet turun sejak awal tahun. Namun demikian harga minyak yang tinggi dan nilai tukar memberikan tekanan neraca perdagangan Indonesia. Meskipun situasi di Indonesia bisa dikatakan terkendali, Indonesia dapat dihadapkan pada periode volatilitas dan turbulensi di mana kebijaksanaan dan penilaian yang baik adalah penting.

Menghindari kebijakan yang menempatkan negara dalam kondisi kerentanan adalah penting. Seperti yang terkait dengan pengenaan tarif impor atau yang telah dilakukan dengan AS untuk alasan ratifikasi GSP yaitu membuat komitmen yang terlalu serius. Stabilitas politik utama dalam beberapa bulan ke depan sangat diperlukan karena pasar bersifat sangat sensitif terhadap gejolak politik. Upaya fokus untuk memperkuat kegiatan ekonomi domestik mungkin menjadi yang paling efektif saat ini dan memilih kebijakan ekonomi yang lebih ketat serta mengakui bahwa negara bergantung pada investasi asing sehingga harus mencari sumber-sumber investasi baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Pilihan untuk bergantung pada investasi asing dapat menguntungkan dengan kapital inflow pada saat negara maju menawarkan opsi yang tidak menguntungkan. Akan tetapi pilihan tersebut merupakan kompromi pada saat pasar negara maju pulih, dimana arus investasi yang pada saat buruk, mencari pengembalian yang lebih tinggi di negara-negara berkembang. Mudah menjadi bijaksana setelah hal buruk terjadi, sedangkan membuat kebijaksanaan sebelum terjadi adalah adalah hal yang sulit.
(dru)

Tags

Related Opinion
Recommendation