Internasional
Krisis Peso Argentina & Lira Turki Tekan Negara Berkembang
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
31 August 2018 14:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar negara berkembang di seluruh dunia kembali bergejolak. Mata uang peso Argentina, lira Turki, dan rupiah terus melemah.
Analis mengatakan sentimen negatif akan terus membebani mata uang Asia lainnya, meskipun mereka akan tetap cukup tangguh.
Peso anjlok hampir 12%, setelah terjadi krisis domestik yang memaksa bank sentralnya menaikkan suku bunga acuan menjadi 60% demi menopang mata uangnya. Sementara itu, lira anjlok 2,94%, penurunan hari keempat berturut-turut dan memperdalam penurunan tajamnya tahun ini.
Di Asia, rupee India jatuh ke rekor terendah baru terhadap dolar pada hari Jumat, anjlok lebih dari 11% sejak awal tahun ini. Sedangkan rupiah mencapai titik terendahnya sejak krisis keuangan tahun 1998.
"Pasar negara-negara berkembang akan tetap tertekan oleh krisis peso Argentina dan lira Turki," kata analis DBS dalam catatan risetnya hari Jumat pagi (31/8/2018). Peso turun lebih dari 45% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tahun ini.
"Argentina telah menaikkan suku bunga ke rekor 60% untuk mengatasi inflasi dua digit, tetapi ini akan memperburuk resesi, dan ditambah dengan defisit anggaran / transaksi berjalan sekitar 5% dari PDB, telah meningkatkan risiko gagal bayar utang bagi pemerintah," tambah mereka.
Indeks Mata Uang Emerging Markets MSCI telah menurun 2,1% sejak awal Agustus, dan anjlok 5,1% sejak awal tahun ini.
Krisis mata uang dapat menyebabkan beberapa kerugian yang lebih parah di Asia, tetapi secara keseluruhan, sentimen negatif tidak akan lebih berat jika dibandingkan dengan faktor lain, kata para ahli.
Mata uang terlemah di Asia (rupee, rupiah, dan peso Filipina) kemungkinan akan mengalami tekanan, kata mereka, dilansir dari CNBC International.
"Di Asia, pasar juga terkena dampak ketegangan, meskipun tidak terlalu intens. Tetapi latar belakang ini memperkuat kebutuhan Bank Indonesia dan bank sentral Filipina untuk menindaklanjuti dengan kenaikan suku bunga tambahan yang kami ramalkan akan terjadi tahun ini," kata Robert Carnell, kepala ekonom kepala penelitian untuk Asia Pasifik, dari ING, dalam sebuah catatan yang dirilis pada Jumat pagi.
Analis DBS mencatat bahwa "meski tidak kebal, namun pasar negara berkembang Asia telah tahan banting" terhadap krisis peso dan lira Argentina. Mereka menyebut depresiasi dalam rupee, rupiah, dan peso Filipina merupakan penurunan yang lebih "kecil" jika dibandingkan dengan kejatuhan peso dan lira Argentina sepanjang tahun ini.
"Meski begitu, Asia perlu waspada," mereka memperingatkan.
"Ketiga mata uang ini telah berjuang sejalan dengan kenaikan suku bunga AS sejak awal tahun karena defisit neraca fiskal dan neraca berjalan mereka. Dengan meningkatnya ketegangan perdagangan yang akan meletus menjadi perang dagang besar-besaran, kawasan ini perlu waspada karena arus keluar modal yang tak terduga, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan, terutama di negara-negara yang memiliki tingkat utang luar negeri yang tinggi," mereka menambahkan dalam catatannya.
Irene Cheung, ahli strategi senior untuk Asia di ANZ, mengatakan kenaikan harga minyak akan lebih menjadi perhatian, terutama bagi negara-negara dengan defisit neraca berjalan. Itu akan menjadi faktor yang akan sangat membebani mata uang negara berkembang, katanya kepada CNBC.
Minyak yang lebih mahal mengarah pada tagihan impor yang lebih tinggi untuk negara-negara yang merupakan pengimpor minyak bersih. Harga minyak yang lebih tinggi juga menyebabkan melebarnya defisit neraca berjalan, yang mencakup ukuran arus barang, jasa, dan investasi di dalam dan di luar negeri.
[Gambas:Video CNBC]
(prm) Next Article Krisis Argentina Membebani Mata Uang Negara Berkembang
Analis mengatakan sentimen negatif akan terus membebani mata uang Asia lainnya, meskipun mereka akan tetap cukup tangguh.
Peso anjlok hampir 12%, setelah terjadi krisis domestik yang memaksa bank sentralnya menaikkan suku bunga acuan menjadi 60% demi menopang mata uangnya. Sementara itu, lira anjlok 2,94%, penurunan hari keempat berturut-turut dan memperdalam penurunan tajamnya tahun ini.
"Pasar negara-negara berkembang akan tetap tertekan oleh krisis peso Argentina dan lira Turki," kata analis DBS dalam catatan risetnya hari Jumat pagi (31/8/2018). Peso turun lebih dari 45% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tahun ini.
"Argentina telah menaikkan suku bunga ke rekor 60% untuk mengatasi inflasi dua digit, tetapi ini akan memperburuk resesi, dan ditambah dengan defisit anggaran / transaksi berjalan sekitar 5% dari PDB, telah meningkatkan risiko gagal bayar utang bagi pemerintah," tambah mereka.
Indeks Mata Uang Emerging Markets MSCI telah menurun 2,1% sejak awal Agustus, dan anjlok 5,1% sejak awal tahun ini.
![]() Money Changer di Buenos Aires, Argentina |
Mata uang terlemah di Asia (rupee, rupiah, dan peso Filipina) kemungkinan akan mengalami tekanan, kata mereka, dilansir dari CNBC International.
"Di Asia, pasar juga terkena dampak ketegangan, meskipun tidak terlalu intens. Tetapi latar belakang ini memperkuat kebutuhan Bank Indonesia dan bank sentral Filipina untuk menindaklanjuti dengan kenaikan suku bunga tambahan yang kami ramalkan akan terjadi tahun ini," kata Robert Carnell, kepala ekonom kepala penelitian untuk Asia Pasifik, dari ING, dalam sebuah catatan yang dirilis pada Jumat pagi.
Analis DBS mencatat bahwa "meski tidak kebal, namun pasar negara berkembang Asia telah tahan banting" terhadap krisis peso dan lira Argentina. Mereka menyebut depresiasi dalam rupee, rupiah, dan peso Filipina merupakan penurunan yang lebih "kecil" jika dibandingkan dengan kejatuhan peso dan lira Argentina sepanjang tahun ini.
"Meski begitu, Asia perlu waspada," mereka memperingatkan.
"Ketiga mata uang ini telah berjuang sejalan dengan kenaikan suku bunga AS sejak awal tahun karena defisit neraca fiskal dan neraca berjalan mereka. Dengan meningkatnya ketegangan perdagangan yang akan meletus menjadi perang dagang besar-besaran, kawasan ini perlu waspada karena arus keluar modal yang tak terduga, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan, terutama di negara-negara yang memiliki tingkat utang luar negeri yang tinggi," mereka menambahkan dalam catatannya.
Irene Cheung, ahli strategi senior untuk Asia di ANZ, mengatakan kenaikan harga minyak akan lebih menjadi perhatian, terutama bagi negara-negara dengan defisit neraca berjalan. Itu akan menjadi faktor yang akan sangat membebani mata uang negara berkembang, katanya kepada CNBC.
Minyak yang lebih mahal mengarah pada tagihan impor yang lebih tinggi untuk negara-negara yang merupakan pengimpor minyak bersih. Harga minyak yang lebih tinggi juga menyebabkan melebarnya defisit neraca berjalan, yang mencakup ukuran arus barang, jasa, dan investasi di dalam dan di luar negeri.
[Gambas:Video CNBC]
(prm) Next Article Krisis Argentina Membebani Mata Uang Negara Berkembang
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular