Impor Barang Konsumsi Ditahan, Apa Kabar Daya Beli?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 August 2018 20:19
Apakah kenaikan PP 22 terhadap impor barang konsumsi akan berdampak pada mahalnya harga dalam negeri?
Foto: REUTERS/Stringer/File photo
Jakarta, CNBC IndonesiaPemerintah mengambil langkah untuk menekan defisit perdagangan Indonesia yang semakin menjadi-jadi. Di sisi impor, akan dilakukan pengendalian impor barang konsumsi.

Sejauh ini, pemerintah baru memutuskan menaikkan Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) terhadap barang impor sabun dan kosmetik. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi, saat berkunjung ke kantor Transmedia, Selasa (28/08/2018). Sementara itu, barang konsumsi lainnya masih dievaluasi.

BACA: PPh 22 Sabun & Kosmetik Impor Naik, Harga Makin Mahal?

Lantas, pertanyaannya apakah kenaikan PPh 22 terhadap impor barang konsumsi akan berdampak pada mahalnya harga dalam negeri? Secara teori, menahan impor barang konsumsi tentunya akan menciptakan efek inflatoir bagi barang-barang konsumsi di dalam negeri. Di saat barang-barang konsumsi menjadi lebih mahal, maka daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.

Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Saat konsumsi masyarakat tertekan, siap-siap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh dari harapan.

Meski demikian, apabila produksi industri pengolahan dalam negeri bisa digenjot, dan bahkan sanggup mensubstitusi barang-barang konsumsi impor, sebenarnya kekhawatiran adanya efek inflatoir bisa diredam.

Keputusan pemerintah yang sudah menaikkan impor kosmetik terlebih dahulu nampaknya dilandaskan oleh produksi industri manufaktur sektor farmasi dalam negeri yang tumbuh dengan solid.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2012 dan 2013 pertumbuhan industri farmasi memang melambat, masing-masing sebesar -7,6% dan -6,02%. Akan tetapi, memasuki tahun 2014, industri farmasi domestik mampu "balas dendam" dengan tumbuh 9,92%. Setahun setelahnya, industri sektor ini bahkan melesat hingga 12,53%.

Meski pertumbuhannya kemudian agak melandai di tahun 2017, yakni sebesar 7,94%, tetap saja pertumbuhannya bisa dibilang cukup kuat. Bahkan, pertumbuhannya masih jauh lebih besar dari pertumbuhan total industri manufaktur besar dan sedang di Indonesia pada tahun lalu, yaitu sebesar 4,36%.

Oleh karena itu, produksi industri farmasi domestik berpotensi besar menyediakan barang substitusi bagi berbagai macam produk impor di sektor ini, sehingga efek inflatoir pun bisa ditekan.



Namun, bagaimana dengan sektor industri lainnya?  Beberapa industri tidak menunjukkan performa semoncer industri farmasi. Sebagai contoh, industri komputer dan barang elektronik, terus melambat sejak memasuki tahun 2014. Bahkan pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, pertumbuhan produksi industri sektor ini mencatakan perlambatan, masing-masing sebesar 13,36% dan 8,85% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Padahal berbagai macam produk seperti laptop, telepon seluler, dan Air Conditioner (AC) merupakan penyumbang besar bagi impor barang konsumsi Indonesia. Pada tahun 2017, impor laptop mencapai US$924,43 juta (Rp 13,4 triliun), impor telepon seluler menembus US$416,72 juta (Rp6,04 triliun), dan impor AC sebesar US$239,41 juta (Rp3,47 triliun).

BACA: Impor Barang Konsumsi Tinggi, Ini yang Paling Deras Masuk RI

Dengan nilai impor sebesar itu, ditahannya impor komputer dan barang elektronik sebenarnya bisa amat meringankan beban neraca perdagangan RI. Namun, dengan produksi dalam negeri yang loyo, nampaknya dampak kenaikan harga mustahil bisa dikendalikan.

Hal yang serupa ditunjukkan oleh bisnis Presiden RI Joko Widodo, yakni industri furnitur. Sempat tumbuh 4,06% di tahun 2015, namun setelah itu pertumbuhannya menurun menjadi 0,57% pada tahun 2016. Pada kuartal II-2018, bahkan pertumbuhannya sudah mencatatkan minus 0,25% YoY.



Bagaimana dengan produk makanan dan minuman (baik olahan maupun belum diolah) yang menyumbang hampir 40% dari impor barang konsumsi nasional? Untuk produk makanan, sepertinya pemerintah bisa bernafas lega. Sempat agak melandai di medio 2015-2016, pertumbuhan industri makanan melesat sebesar 9% di tahun lalu. 

Pada kuartal I-2018 dan kuartal II-2018, pertumbuhan industri sektor makanan pun masih cukup solid, masing-masing sebesar 13,93% dan 8,6% YoY.



Sayangnya, industri minuman tidak bisa mengikuti jejak industri makanan. Selama periode 2015-2017, pertumbuhan industri minuman terus melambat. Bahkan, di tahun lalu pertumbuhannya adalah -2,77%.

Untungnya, di kuartal II-2018, industri minuman masih mampu tumbuh 15,41% YoY. Tapi jangan lupa, bisa jadi pertumbuhan sebesar itu memanfaatkan efek hari raya idul fitri dan puasa di periode Mei-Juni 2018.

Oleh karena itu, pemerintah perlu ekstra hati-hati jika ingin menahan impor minuman. Jika salah gerak, bisa-bisa justru daya beli masyarakat yang menjadi "korban".


(RHG/wed) Next Article Produksi Industri Jerman Lampaui Ekspektasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular