
Perang Dagang dan Kisruh Turki Bikin Cemas, Harga Emas Loyo
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 August 2018 13:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas COMEX kontrak pengiriman Desember 2018 bergerak melemah sebesar 0,42% ke US$1.209,3/troy ounce, pada perdagangan hari ini Rabu (29/08/2018) hingga pukul 13.00 WIB hari ini.
Harga sang logam mulia melanjutkan pelemahan sebesar 0,13% pada perdagangan kemarin. Hari ini, tekanan bagi harga emas datang dari dolar Amerika Serikat (AS) yang bergerak menguat dibayangi kekhawatiran terhadap isu perang dagang AS-China dan krisis ekonomi di Turki.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang dunia, bergerak naik 0,10%, hingga pukul 13.00 WIB hari ini. Indeks ini mampu mencatatkan rebound, pasca kemarin jatuh ke level terendahnya dalam 4 pekan terakhir.
Energi bagi dolar AS datang dari investor yang masih mencemaskan eskalasi tensi dagang AS vs China. Pekan lalu, delegasi AS dan China sebenarnya sudah bertemu di Washington, tetapi minim hasil yang signifikan. Pelaku pasar masih mencermati pengenaan bea masuk baru oleh Washington dan Beijing.
Teranyar, AS memberlakukan bea masuk 25% kepada impor produk China senilai US$16 miliar. China pun membalas dengan mengenakan bea masuk 25% kepada impor produk-produk made in USA senilai US$16 miliar. Kini, kedua raksasa ekonomi dunia itu telah saling mengenakan bea masuk terhadap produk senilai masing-masing US$50 miliar.
Para ekonom telah mengatakan bahwa setiap produk senilai US$100 miliar yang terkena bea impor baru, akan menurunkan perdagangan global sekitar 0,5%. Saat perdagangan global terhambat, maka pertumbuhan ekonomi dunia yang akan menjadi taruhannya.
Tidak hanya itu, kekhawatiran investor terhadap perkembangan di Turki juga kembali muncul. Lira Turki kembali melemah cukup dalam yaitu 2,08% pada penutupan perdagangan kemarin.
Kecemasan terhadap situasi di Turki kembali mengemuka setelah lembaga pemeringkat (rating agency) Moody's menurunkan peringkat utang 20 lembaga keuangan di Negeri Kebab. Moody's menilai situasi di Turki lebih buruk dari perkiraan semula, terutama akibat depresiasi lira yang sangat tajam.
Sejak awal tahun, lira sudah melemah 38,1% terhadap dolar AS. Ini membuat utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak, padahal jumlah utangnya mungkin tidak bertambah.
Tidak hanya itu, Moody's menganggap iklim bisnis (terutama perbankan) di Turki kian tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah intervensi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang terlalu dalam terhadap kebijakan moneter. Erdogan selalu menyatakan bahwa dirinya adalah musuh suku bunga tinggi, sehingga menghambat langkah bank sentral untuk melakukan penyesuaian moneter.
BACA: Turki Gaduh Lagi, Rupiah Melemah Lagi
Selama risiko perang dagang dan kegaduhan di Turki masih ada di permukaan, maka selama itu pula dolar AS akan diuntungkan. Pasalnya, saat terjadi 'huru-hara' di pasar biasanya investor memilih bermain aman dengan meninggalkan aset-aset berisiko di negara berkembang.
Sayangnya, komoditas emas sudah kehilangan daya tariknya sebagai aset safe haven, karena di sepanjang tahun ini harganya sudah anjlok di kisaran 8%. Pelaku pasar lebih memilih mengamankan aset ke dolar AS, karena menjanjikan keuntungan yang lebih besar. Sebagai informasi, Dollar Index sudah naik nyaris 3% di tahun ini.
Saat, greenback menjadi pilihan utama para investor, mata uang ini pun semakin kuat.Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terapresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih mahal, sehingga menekan permintaan sang logam mulia.
(RHG/gus) Next Article China Serang AS Via WTO, Harga Emas Terendah Dalam 2 Pekan
Harga sang logam mulia melanjutkan pelemahan sebesar 0,13% pada perdagangan kemarin. Hari ini, tekanan bagi harga emas datang dari dolar Amerika Serikat (AS) yang bergerak menguat dibayangi kekhawatiran terhadap isu perang dagang AS-China dan krisis ekonomi di Turki.
Energi bagi dolar AS datang dari investor yang masih mencemaskan eskalasi tensi dagang AS vs China. Pekan lalu, delegasi AS dan China sebenarnya sudah bertemu di Washington, tetapi minim hasil yang signifikan. Pelaku pasar masih mencermati pengenaan bea masuk baru oleh Washington dan Beijing.
Teranyar, AS memberlakukan bea masuk 25% kepada impor produk China senilai US$16 miliar. China pun membalas dengan mengenakan bea masuk 25% kepada impor produk-produk made in USA senilai US$16 miliar. Kini, kedua raksasa ekonomi dunia itu telah saling mengenakan bea masuk terhadap produk senilai masing-masing US$50 miliar.
Para ekonom telah mengatakan bahwa setiap produk senilai US$100 miliar yang terkena bea impor baru, akan menurunkan perdagangan global sekitar 0,5%. Saat perdagangan global terhambat, maka pertumbuhan ekonomi dunia yang akan menjadi taruhannya.
Tidak hanya itu, kekhawatiran investor terhadap perkembangan di Turki juga kembali muncul. Lira Turki kembali melemah cukup dalam yaitu 2,08% pada penutupan perdagangan kemarin.
Kecemasan terhadap situasi di Turki kembali mengemuka setelah lembaga pemeringkat (rating agency) Moody's menurunkan peringkat utang 20 lembaga keuangan di Negeri Kebab. Moody's menilai situasi di Turki lebih buruk dari perkiraan semula, terutama akibat depresiasi lira yang sangat tajam.
Sejak awal tahun, lira sudah melemah 38,1% terhadap dolar AS. Ini membuat utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak, padahal jumlah utangnya mungkin tidak bertambah.
Tidak hanya itu, Moody's menganggap iklim bisnis (terutama perbankan) di Turki kian tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah intervensi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang terlalu dalam terhadap kebijakan moneter. Erdogan selalu menyatakan bahwa dirinya adalah musuh suku bunga tinggi, sehingga menghambat langkah bank sentral untuk melakukan penyesuaian moneter.
BACA: Turki Gaduh Lagi, Rupiah Melemah Lagi
Selama risiko perang dagang dan kegaduhan di Turki masih ada di permukaan, maka selama itu pula dolar AS akan diuntungkan. Pasalnya, saat terjadi 'huru-hara' di pasar biasanya investor memilih bermain aman dengan meninggalkan aset-aset berisiko di negara berkembang.
Sayangnya, komoditas emas sudah kehilangan daya tariknya sebagai aset safe haven, karena di sepanjang tahun ini harganya sudah anjlok di kisaran 8%. Pelaku pasar lebih memilih mengamankan aset ke dolar AS, karena menjanjikan keuntungan yang lebih besar. Sebagai informasi, Dollar Index sudah naik nyaris 3% di tahun ini.
Saat, greenback menjadi pilihan utama para investor, mata uang ini pun semakin kuat.Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terapresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih mahal, sehingga menekan permintaan sang logam mulia.
(RHG/gus) Next Article China Serang AS Via WTO, Harga Emas Terendah Dalam 2 Pekan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular